Shalawat Membuahkan Syafaat
Pengertian takwa paling sederhana ialah menjalankan perintah-perintah-Nya, serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Apa perintah Allah? Beribadah. “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (Q.S Adz-Dzariyaat ayat 56). Baik ibadah mahdloh maupun muamalah. Perihal larangan-Nya, masing-masing kita pasti telah memafhuminya.
Allah Swt memerintah kita (manusia) untuk shalat, tapi Allah sendiri tidak salat. Allah merintah kita untuk berpuasa, Allah sendiri tidak berpuasa. Allah menyuruh kita untuk berzakat, namun Allah pun tidak berzakat.
Satu-satunya perintah Allah, dan Allah turut serta melakukannya adalah bershalawat. Apa dalilnya? Innallāha wa malā’ikatahụ yuṣallụna ‘alan-nabiyy, yā ayyuhallażīna āmanụ ṣallụ ‘alaihi wa sallim ụ taslīmā. “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat senantiasa bershalawat kepada Nabi Muhammad sebagai pemuliaan atas derajatnya. Wahai orang-orang mukmin bershalawat dan haturkanlah salam kepada Baginda Nabi” (Al Ahzab ayat 56).
Kalimat yuṣallụna mengartikan cum menegaskan bahwa Allah dan para Malaikat senantiasa bershalawat kepada Kanjeng Nabi. Senantiasa artinya terus-menerus. Istiqamah. Tidak mandeg. Alias tak putus-putus. Secara gamblang dan terang-terangan Allah beserta Malaikat menunjukkan bahwa “Mereka” bershalawat kepada kekasihnya.
Pada surah Al-Ahzab 56, ada tiga pihak yang disebutkan sebagai subjek atau pelaku. Yaitu Allah, Malaikat, dan orang-orang mukmin (InsyaAllah kita). Tiga subjek tersebut tentu memiliki makna perspektif yang berbeda-beda.
Sebuah tafsir dari Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar (mudarris tafsir Universitas Islam Madinah) yang pernah saya baca menjelaskan makna shalawat dari tiga pihak atau subjek tersebut.
Pertama, makna shalawat dari Allah kepada Nabi berupa rahmat dan ridho. Adapun kedua, shalawat dari Malaikat merupakan doa dan permohonan ampun untuk Kanjeng Nabi. Sedangkan ketiga, shalawat dari orang mukmin adalah wujud doa dan pengagungan. Dengan demikian, seluruh penduduk langit dan bumi sejatinya bershalawat kepada Kanjeng Nabi.
Di situlah letak sakral, vital, dan spesialnya shalawat. Allah ngakon, ning yo nglakoni. Allah dan para Malaikat saja bershalawat, mosok kita endak?
***
Jauh sebelum ber-Maiyah, saya sama sekali tidak akrab dengan shalawatan. Selain faktor kultur keluarga dan lingkungan, secara pribadi saya belum menemukan keasyikan bershalawat, apalagi memetik faidahnya. Bagi saya, shalawat tak ubahnya ritual belaka, atau sebatas formalitas.
Stigma itu berangsur pudar. Setelah hadir dan rajin melingkar di Maiyahan. Paling tidak ada dua “menu wajib” yang selalu dihidangkan dan kita nikmati bersama di forum Maiyahan. Mendaras Al-Qur’an dilanjutkan dengan shalawatan.
Dua persembahan itu (ngaji & shalawat) menciptakan suasana yang khusyu’. Intim, hangat, hanyut, dan menenangkan. Serasa Allah dan Malaikat berbondong-bondong turun bersama Nabi Kinasih membersamai seraya menaburi nur cahaya di sekitar kita. (Sumpah, kami kangen Maiyahan).
Mbah Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah menjelma “instrumen” yang mengantar kita sekaligus membuktikan bahwa shalawat membuahkan syafaat itu nyata. Berlaku di dunia hingga akhirat. Dan begitu ragam bentuk cipratan syafaat (kebaikan, kecukupan, pengampunan, pertolongan, keselamatan, dll) Nabi Muhammad kepada ummatnya.
Shalawat laiknya “proposal” yang kita ajukan kepada Tuhan untuk merayu, mengetuk pintu hati-Nya, supaya Allah meng-ACC permohonan kita. Rahmat Allah akan “tancap gas” dengan lantaran “oli” bernama shalawat. Intinya, kita pengin, butuh, dan bercita-cita apa saja, baiknya didahului dengan shalawat.
Mau buka usaha dishalawati. Mau berkarya, bekerja, berdagang dishalawati. Pengin punya kendaraan, rumah, umroh, haji dishalawati. Berharap dikaruniai anak shaleh, rumah tangga yang sakinah sejahtera pun dishalawati. Hingga upaya kita bertahan hidup dalam cengkraman pageblug coronavirus yang tak berkesudahan ini, shalawat kita jangan sampai kendor.
Sungguh hanya Allah penolong utama hidup mati kita. Dia sama sekali tidak butuh kita, tetapi kitalah yang amat sangat butuh Allah. Begitu pun Rasulullah kekasih kita, terasa berat hati dan tak tega atas penderitaan kita. Rasul sangat menginginkan keimanan dan keselamatan, serta amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Lantas siapakah orang-orang mukmin itu? Adalah di antara mereka yang senantiasa bershalawat dan menghaturkan salam kepada junjungan Nabi agung tercinta, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Shallu ‘ala Muhammad.