Seorang Kiai Merdeka Bernama Ahmad Muzammil
Seorang Kiai merdeka bernama Ahmad Muzammil dini hari tadi dipanggil Allah Swt. Ini tentu mengejutkan banyak orang yang mengenalnya, sebagai aktivis NU yang 15 tahun berkhidmat di lembaga Ba’tsul Masail NU Yogyakarta, sebagai narasumber Ngaji Bareng Maiyah menemani Mbah Nun di banyak tempat, sebagai inisiator pengajian salawat di pantai Parangtritis, sebagai pengasuh pesantren Rohmatul Umam di Kretek, Bantul, Yogyakarta. Juga sebagai manusia yang ringan tangan membantu memecahkan berbagai persoalan masyarakat sekitarnya dan Yogyakarta.
Kita semua tentu berhusnudzon kepada Allah Swt yang telah memilih memanggilnya hari ini. Rahasia momentum yang diciptakan Allah Swt ini kita sungguh tidak tahu, paling mungkin kita hanya menebak-nebak dengan tebakan yang sering luput ketimbang tepat.
Yang paling mungkin kita lakukan adalah dengan mengenang jasa dan kebaikan beliau, merawat amal jariyah beliau berupa lembaga pendidikan, tulisan beliau, rekaman pengajian beliau dan kembali mengamini doa-doa beliau.
Untuk memahami dan mengenal karakter seseorang, kualitas serta kapasitas dan integritas pribadi seseorang biasanya saya menelusuri siapa gurunya, di mana nyantri atau sekolah, siapa saja sahabatnya, dan jaringan pergaulan mana saja yang menjadi ruang forum dan ruang edukasi religi, ruang dialog kemanusiaan dan ruang untuk kesuntukan budayanya.
Tentu Kiai Ahmad Muzammil sudah memiliki molekul kesadaran, atom semangat dan DNA kultural tertentu yang menyebabkan beliau kompatibel, terhubung dan lengket dengan dinamika komunitas Maiyah yang diinisiasi oleh Mbah Nun bersama keluarga dan para sahabatnya.
Ada semacam hukum asosiasi kimia jiwa yang oleh Mohammad Iqbal dalam Asrar I Khudi dan Kimyatusy Sya’adah (Imam Al-Ghazali) kondusif untuk mendewakan pribadi dan membahagiakan hidup. Atau menurut Umbu Landu Paranggi, ada gelombang puisi yang sama antara yang dimiliki Kiai Muzammil dengan gelombang puisi Masyarakat Maiyah. Dengan demikian, bisa nyambung, berproses untuk mematangkan nilai utama kehidupan bersama.
Ketika saya membayangkan masyarakat Maiyah dan merasakan denyut jantung rohani masyarakat Maiyah dan mendeteksi arah pergaulan masyarakat Maiyah maka kesimpulannya sederhana. Masyarakat Maiyah adalah masyarakat merdeka. Sudah secara tekun dan penuh disiplin menjalankan dhawuh Pangeran Diponegoro, “Dadiya wong merdika.”
Pangeran Diponegoro sendiri memberi contoh dengan menulis Babad Diponegoro yang ditulis dalam pengasingan yang kemudian diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Dalam babad ini Pangeran Diponegoro menciptakan algoritma perlawanan sendiri, dengan bahasa sastra yang halus dan bermakna seperti berjuta-juta anak panah kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kebebasan yang tertuju ke semua manusia dan alam semesta.
Algoritma perlawanan dari Babad Diponegoro yang juga ditujukan terhadap Belanda sampai hari ini tidak bisa dibantah satu kata pun oleh Belanda. Bahkan Belanda menderita kemerosotan ekonomi sehingga menutup banyak museum, menjual buku koleksi perpustakaan dan menghentikan bantuan dana kebudayaan untuk lembaga kerja sama kebudayaan di seberang lautan.
Dengan mendefinisikan masyarakat Maiyah sebagai masyarakat merdeka, tentu juga terdefinisikan bahwa yang berasal di dalamnya dan cocok srawung dengan warga masyarakat Maiyah adalah manusia-manusia merdeka.
Dengan demikian, jelas Kiai Ahmad Muzammil termasuk manusia merdeka, seorang Kiai Merdeka.
Kalau pendidikan dapat dilihat sebagai proses pemerdekaan pribadi murid atau santri dengan membekali berbagai ilmu alat, maka proses pendidikan yang ditempuh seorang Ahmad Muzammil di pesantren salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo merupakan proses memerdekakan pribadinya.
Apalagi kalau ditelusuri sanad ilmu Asembagusan yang berakar pada guru-guru ulama besar Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan ulama pesantren Sidogiri Pasuruan. Ditambah dengan sanad ilmu Asembagusan yang sampai ke ulama besar yang bermukim di Saudi Arabia.
Penguatan jiwa lewat shalat lail dan shalat tahajud, pelembutan watak lewat menghafalkan dan melantunkan isi kitab Barzanji dan kitab standar lainnya, penguatan iman lewat ilmu tauhid dan praktik penyucian jiwa (praktik sufi) telah memerdekakan dirinya.
Dengan demikian, seorang anak muda kelahiran Madura yang punya budaya merdeka dalam banyak hal ini selesai mondok di Asembagus, tetapi terus nyantri kepada kehidupan, kemudian memilih merantau ke balik cakrawala dan menemukan sepotong bumi di Bantul menyimpan potensi subur untuk ditanami pohon peradaban berupa pesantren.
Pohon peradaban bernama Rohmatul Umam ini tumbuh subur sampai hari ini dan semoga tetap subur sepeninggal pendiriannya. Aamiin.
Selama ketemu dan bertemu dengan Kiai Ahmad Muzammil di pengajian Maiyah, atau ketika bersilaturahmi di rumah dan pesantrennya, atau ketika menghadiri acara-acara yang dia selenggarakan terasa sekali betapa merdeka kehadiran beliau.
Bahkan ketika anak-anak Nahdlatul Muhamadiyyin gelisah ditampung kegelisahan mereka dan diajak berdiskusi untuk memerdekakan jiwa dengan berbagai kemungkinan amal sosial dan penerapan muamalah duniawiyah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk ini Majelis Ilmu Nahdlatul Muhamadiyyin sangat berterima kasih kepada beliau.
Hari ini, Kiai Merdeka bernama Ahmad Muzammil telah dipanggil Allah Swt untuk melangsungkan dialog rindu yang abadi. Kita percaya, Allah Swt mengampuni kesalahan Kiai Ahmad Muzammil dalam hidupnya dan menerima segala amal kebaikannya. Kita semua bersaksi bahwa seorang manusia bernama Ahmad Muzammil adalah manusia yang baik dan menjadi sumber kebaikan bagi kita semua.