CakNun.com
Kebon (69 dari 241)

Sembahyang Angin dan Lautan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Progress

Datang ke Patangpuluhan seorang sahabat saya yang sedang dirundung duka. Novelnya ditarik dari peredaran dan dilarang dibaca. Filmnya yang berdasar novel itu juga dicekal. Ia diklaim sebagai penganut aliran sesat. Ia dikucilkan di mana-mana, dan mau tidak mau menjadi bertengkar di keluarga dan familinya.

Ia tidak bisa menemukan tempat untuk mengungsi kecuali di Patangpuluhan. Saya menerimanya sebagai sahabat yang kesungguhan hidupnya sangat tinggi. Hatinya baik. Logika penafsiran yang dipakainya bisa dinalar. Ia melakukan shalat lima waktu tidak sebagaimana yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw, tetapi memformulasikan sendiri tata caranya berdasarkan pemahamannya terhadap Al-Qur`an.

Ia shalat berdiri. Kemudian menjulurkan kedua tangannya. Menyilangkannya. Melakukan sejumlah pose gerakan yang menggambarkan hembusan angin dan gelombang lautan. Jadi shalatnya memerlukan tempat yang luas. Andaikan berjamaah, untuk sepuluh orang diperlukan minimal seluas satu kelas di Sekolah. Ia juga menyuarakan bunyi-bunyi dari mulutnya seakan-akan angin sedang bertiup ke sana kemari.

وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا
فَسُقْنَاهُ إِلَىٰ بَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
كَذَٰلِكَ النُّشُورُ

Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.”

Saya mempersilakan dia melakukan shalat dengan caranya itu di ruang depan rumah Patangpuluhan. Semua pintu dan jendela saya tutup. Jangan sampai para tetangga atau siapapun yang lewat atau kalau-kalau ada tamu mendadak akan kaget melihatnya.

Di sela-sela shalat lima waktu kami mengobrol. Saya mendengarkannya sepenuh hati. Saya buka ruang orasi seluas alam semesta. Saya biarkan dia mengemukakan apa saja, tafsir, analisis, logika, teori, metodologi, dan apapun saja tanpa saya bantah sedikit pun.

Kalau dia punya bahan seluas air tujuh lautan, saya wadahi dengan ruang sebesar bumi. Kalau dia mengekspresikan kenikmatan tafsirnya seluas tata surya, saya menyediakan ruang seluas galaksi. Saya mateg aji menjadi Hamengkubuwono, yang menyunggi seluruh galaksi. Tidak sekadar Hamengkubawono, membopong hanya sebulatan bumi. Sebab bumi tidak bisa dipahami tanpa mengerti spektrum tata surya dan skala galaksi-galaksi.

Teman saya yang jujur itu ngudarasa ngunandika berjam-jam, berhari-hari, saya mewadahinya dengan jiwa “bis-shobri was-shalat”, dengan ketahanan mental “bilhikmah wal mauidlatil hasanah”.

Sampai akhirnya habis bahannya. Saya masih siap mendengarkan sampai pun melewati batas waktu alam semesta. Tapi senyap. Ia sudah menumpahkan seluruh yang ada di dalam pikiran dan jiwanya.

Kemudian akhirnya ia berbisik: “Cak, nanti saya ingin shalat malam, tapi Njenengan yang ngimami”.

Lewat tengah malam kami shalat bersama. Dia patuh sebagai makmum. Dia sudah kembali menjadi seperti semula, tanpa saya membantahnya. Dia meletakkan dirinya persis seperti sebelumnya, tanpa saya mengkritiknya, menasihatinya atau apapun.

Beberapa hari kemudian dia balik ke Jakarta. Saya diminta ketemu oleh Kakaknya, Ibunya, dan keluarganya. Mereka menyampaikan kelegaan hati, rasa syukur kepada Allah Swt dan terima kasih kepada saya. Saya kasih tahu mereka bahwa saya tidak pantas menerima ucapan terima kasih itu, karena saya tidak melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Apalagi untuk “mengembalikannya dari ketersesatan ke jalan yang benar”. Saya hanya bersabar mendengarkannya.

Beberapa bulan yang lalu Arif anggota Teater Jiwa pimpinan anak saya Agung Waskito (sekarang almarhum) datang ke Patangpuluhan dengan marah-marah dan membawa pedang untuk membunuh saya. Dia berpendapat bahwa saya tidak membela Agung dalam suatu peristiwa internal mereka.

Memang kemarin sore saya datang ke rumah kontrakan Agung dan menjumpainya bersama Uneng istrinya dalam keadaan stres berat dan bertengkar habis. Saya elus mereka, saya seret dan bimbing ke kamar mandi untuk berwudlu. Kemudian saya ajak dan saya imami shalat Ashar. Kemudian pelan-pelan berdialog dan alhamdulillah segala sesuatunya bisa menjadi jernih.

Tiba-tiba sore itu Arif datang membawa pedang. Kemudian saya merebahkan punggung saya ke kursi bambu di teras Patangpuluhan, dan saya persilakan ia menebaskan pedang ke leher saya. Arif ternyata tidak melakukannya. Ia menjadi gemetar. Pedangnya jatuh ke lantai. Lantas ia mengambilnya kembali dan diserahkan kepada saya.

قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَىٰ نَفْسِي
وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي
إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ

Katakanlah: “Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat”.

Lainnya

Sembahyang Lautan dan Gelombang

Sembahyang Lautan dan Gelombang

Hari ketika saya menulis sahabat sejati Harry Tjahjono, di mana saya menyebut peran sahabat sejati Mas Teguh Esha, sahabat sejati yang lain, Mas Uki Bayu Sejati, mengusulkan agar kami mengunjungi sahabat sejati lainnya lagi yakni Mas Teguh Slamet Hidayat yang dalam keadaan sakit.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version