CakNun.com

Selalu Ada Celah Untuk Bersyukur

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 4 menit
Image by İbrahim Mücahit Yıldız from Pixabay

Dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi, Jabir Ra. berkata, bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “dzikir yang paling utama (terbaik) adalah laa ilaaha illallah.” Sedangkan doa terbaik adalah kalimat Alhamdulillah (atau di lengkapi dengan Alhamdulillah ‘ala kulli hal).

Kalimat laa ilaaha illallah yang bermakna tiada Tuhan (ilah) selain Allah, atau meniadakan segala Tuhan maupun sesembahan kecuali Allah merupakan wujud pengakuan, penegasan, sekaligus persaksian seorang hamba mengimani Tuhan-Nya. Allah azza wa jalla adalah satu-satunya Tuhan manusia dan seluruh jagad alam semesta.

Dengan rajin berdzikir laailahaa illallah (baik lisan maupun dalam hati) sejatinya itu menjadi upaya kita untuk terus eling, dan ingat Allah. Dengan begitu, tiang tauhid kita kepada-Nya kian kukuh dan teguh. Maka sungguh sangat masuk akal apabila kalimat laa ilahaa illallah disebut sebagai dzikir terbaik.

***

Adapun doa terbaik yakni kalimat alhamdulillah ala kulli hal, yang bermakna segala puji bagi Allah atas setiap keadaan. Atau dibalik. Dalam setiap keadaan apapun kita selalu menghaturkan puja-puji bagi Allah. Ini menarik.

Biasanya kalimat alhamdulillah diucapkan sebagai ekspresi bersyukur. Gembira karena beroleh sesuatu. Bentuknya pun macam-macam. Dari skala besar sampai hal-hal kecil. Semisal memperoleh momongan, mendapat hadiah, dapat rezeki nomplok, menang undian, jadi juara lomba, gaji cair, lolos interview kerja, sampai urusan glègègen selepas makan pun kita mengucapkan alhamdulillah.

Lalu bagaimana jika yang menghampiri kita bukan rasa gembira? Melainkan kesedihan, kesusahan, hingga rupa kemalangan yang serba tidak mengenakkan. Apakah kita tetap mau mengucapkan alhamdulillah?

Kalau doa terbaik itu bernama alhamdulillah ala kulli hal, memuji Allah dalam setiap keadaan, maka kondisi yang serba tidak mengenakkan pun harus tetap diucapi (disyukuri, diterima) dengan memanjatkan kalimat alhamdulillah ala kulli hal.

***

Sementara itu, beberapa waktu lalu saya dihadapkan pada satu momen di mana saya harus pandai-pandai mencari celah untuk bersyukur. Mendengungkan kalimat (doa terbaik) alhamdulillah ala kulli hal dalam keadaan sedang tertimpa “musibah”.

Ketika itu waktu surup menjelang Maghrib, saya mengalami kecelakaan di jalan raya. Kendarai motor cukup pelan, tiba-tiba ada motor dari arah belakang melaju kencang menubruk bagian belakang motor saya. Dan tabrakan pun tak terhindarkan. Duaarrr!

Motor saya ngglasar. Badan tertindih body motor, kaki kiri mencium aspal jalan. Kulit kaki terkelupas, darah mancur bercucuran. Motor yang menabrak saya dari belakang tergelincir nyungsep ke parit.

Dengan tertatih, saya dirikan si kuda besi lalu mendorongnya ke tepi. Lantas duduk di bog (bangku yang terbuat dari cor-coran pasir dan semen) sembari istiqhfar disambung alhamdulillah.

Loh, kok alhamdulillah? Bukankah kecelakaan itu suatu musibah? Iya benar. Kalau dilihat secara singkat, kecelakaan memang pantas disebut musibah. Sebuah kesialan, tragedi, atau bencana. Namun bila dicerna, dipikir baik-baik, lebih-lebih diresapi mendalam, selalu ada alasan untuk saya mengucapkan alhamdulillah ala kulli hal. Sekalipun itu dalam situasi bernama kecelakaan (musibah/ bencana).

Alhamdulillah, untung yang nubruk saya cuma motor. Bukan mobil, bis, apalagi truk tronton.

Alhamdulillah, yang luka dan lecet hanya kaki kiri saja. Anggota badan yang lain tidak apa-apa.

Alhamdulillah, saya hanya alami luka luar. Tidak retak, apalagi patah tulang yang mengharuskan operasi.

Alhamdulillah, bagian motor yang rusak hanya lampu depan dan porstep bengkok. Motor tidak sampai ringsek dan hancur.

Alhamdulillah, motor dan saya ngglasar-nya ke tepi jalan. Coba kalau terpental ke tengah jalan, mungkin berpotensi terjadi kecelakaan yang fatal.

Alhamdulillah, si penabrak motor saya tidak alami cedera serius. Hanya punggung tangannya yang sedikit memar.

Alhamdulillah, saat kejadian kondisi jalan agak sepi. Semisal ramai kendaraan mungkin ceritanya akan lain. Dan saya tak sanggup membayangkannya.

Alhamdulillah, saat tabrakan saya kendarai motor sendiri. Tidak boncengan dengan anak. Padahal 5 menit sebelum kecelakaan saya naik motor berdua dengannya. Syukur alhamdulillah, ia sudah saya antar ke rumah embahnya, sehingga cukup saya saja yang jatuh dan terluka.

Atas alasan-alasan itulah, kecelakaan sore itu tetap saya syukuri dengan mengucap ahamdulillah ala kulli hal. Dalam kondisi sesakit dan sepayah apapun, nyatanya selalu ada celah untuk bersyukur.

Bagaimana mungkin tidak bersyukur, lha wong kita ini sejatinya cuma numpang urip di bumi-Nya Allah. Kita ini tidak ada kemudian diadakan. Kita ini tidak punya dan tidak bisa apa-apa, lalu Allah “pinjami” semua yang kita butuhkan.

Manusia hanyalah makhluk, ciptaan, wayang, objek, yang mana Maha Subyeknya adalah Allah. Objek harus manut sama Subjek. Bukan sebaliknya. Maka terserah dan sakarepè Allah mau nyetting hidup kita seperti apa. Kita cukup ndhèrèk saja. Opsinya cuma itu.

Sebab kalau tidak nurut sama Gusti Allah, ancamannya berat. Sebuah hadits qudsi mengatakan, “Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada ilah selain Aku, barangsiapa tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari bumi-Ku, dan cari Tuhan selain Aku.”

Bayangkan! Seumpama kita protes, nggrundel, marah sama Allah, lalu Allah “tersinggung” dan sampai mengusir kita, lantas mau tinggal di mana kita? Padahal seisi langit dan bumi adalah kepunyaan-Nya. (Lahu maa fis samaawaati wa maa fil ardh, Al-Baqarah: 255)

Maka tak ada cara lain bagi kita selain setia menghaturkan segala puja-puji bagi-Nya. Dalam siang malam, susah senang, panas dingin, sehat sakit, untung rugi, mujur ajur, kaya miskin, tetap doa yang terbaik adalah bersyukur alhamdulillah ala kulli hal.

Dalam praktiknya, tentu rasa syukur tidak berhenti sebatas ucapan. Tetapi lebih dari itu. Yakni terefleksi dalam perilaku yang arif, lapang dada, apresiatif, akomodatif, dan bersemangat melakukan apa yang semestinya dilakukan dalam bingkai kebaikan. (Tetes – Hakikat Syukur, Muhammad Nursamad Kamba)

Gemolong, 23 Februari 2021

Lainnya

Topik