Sekolah yang Mentasbihkan Alam
Sahabat saya Toto Rahardjo, bukan tanpa dasar dipanggil dengan “Kiai Tohar” oleh kalangan Jamaah Maiyah. “Kiai” bukan wacana Islam. “Kiai” bersumber dari kebudayaan bahasa Jawa yang dipakai untuk menyebut atau menggelari atau memanggil seseorang yang disimpulkan sebagai manusia “Sepuh”. Orang yang tua pengalaman hidupnya, matang ilmu dan pengetahuannya, serta penuh pengayoman sikap dan peletakan sosialnya di masyarakat. “Kiai” bagi masyarakat Jawa adalah seseorang, bahkan suatu eksistensi di tengah mereka yang disimpulkan memiliki kelebihan batin dan keistimewaan sikap hidup dibanding rata-rata masyarakatnya.
Kiai Tohar nongol di Patangpuluhan sekitar pertengahan era 1980-an. Wajahnya, tutur katanya, sikap-sikapnya kepada sesama manusia, sudah sangat dan selalu “sepuh” atau “tua” jauh sebelum usia tuanya. Kiai Tohar faktanya adalah “Kiai Patangpuluhan”. Orang tua yang mengayomi semua komunitas Patangpuluhan. Saya mungkin hanya “sumber energi” mereka, tetapi Kiai Toharlah yang “dikiyaikan”.
Ekspresinya selalu “temuwo”. Tidak pernah berkata-kata dengan volume tinggi. Tidak mungkin berucap kasar. Beliau “glendam-glendem” dan estetika ekspresinya sangat berjodoh atau kompatibel dengan latar belakang “ngapak”-nya dari Lawen Banjarnegara, Jawa Tengah bagian barat. Dan siapa saja yang mengenal latar belakang keluarganya, di mana Bapak beliau adalah Lurah Desa dalam waktu yang lama, Ibu beliau adalah Ibu Jawa sejati, termasuk pilihan istrinya yang juga berwatak sama sangat berjodoh dengan itu semua secara estetika komunikasi, peta budaya maupun perjuangan ideologis mereka.
Bu Wahya istri Kiai Tohar bagaikan “wahyu” Tuhan yang memang secara spesifik dianugerahkan kepada suaminya. Saya dan kami semua bergaul dengan mereka berpuluh-puluh tahun tanpa cacat sedikit pun. Apapun saja yang kami alami tidak pernah menjadi trigger benturan. Ada satu dua perbedaan pendapat. Namun tidak pernah merenggangkan kemesraan komunikasi kami. Kiai Tohar pernah sangat keras tidak menyetujui saya memenuhi undangan Pangdam Diponegoro Jateng Mayjen Suyono pada hari-hari ketika saya dicekal tidak boleh masuk apalagi beracara di Jawa Tengah. Tetapi saya tetap berangkat ke Semarang dengan wacana dan dalil saya sendiri dari Islam. Dan sesudahnya kejadian itu tidak membuat kami menjadi renggang atau terpecah dalam melanjutkan perjuangan kerakyatan yang memang kami teguhi bersama-sama.
Kiai Tohar adalah pecinta rakyat kecil persis Ibu saya sendiri, “Ibuk” Halimah di Menturo. Kasih sayang Kiai Tohar kepada “wong cilik”, kepada rakyat kecil, komitmennya, rasa tidak teganya, saya persaksikan selama puluhan tahun merupakan contoh dari penisbahan Allah sendiri kepada hatinya Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ
حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa oleh hatinya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Di masa kanak-kanak saya hampir setiap sore Ibu mengajak saya berkeliling Menturo, mendatangi terutama para tetangga yang paling miskin hidupnya. Ibu biasanya langsung mengunjungi dapurnya lewat pintu samping atau belakang. Omong-omong dengan Ibu tuan rumah, menanyakan keadaannya, bagaimana membayar sekolah anak-anaknya, masih punya beras atau tidak, pakaian anak-anaknya apa masih bisa dipakai.
Maka di Patangpuluan, yang selalu menjadi “jujugan” rakyat kecil yang mengalami kesulitan, buangan-buangan dari Terminal Bis atau Stasiun Tugu dan Lempuyangan, yang entah bagaimana ceritanya sehingga mereka njujug ke Patangpuluhan, maka Kiai Toharlah pintu gerbang kasih sayang dan pertolongannya.
Seorang pemuda yang usianya menjelang tua dari Surabaya ditampung oleh Kiai Tohar dan dibawa ke Lawen untuk “sekolah alam” dan bekerja di sawah. Juga tetangga saya di Menturo bekerja bikin mebel dinikahkan oleh Kiai Tohar dengan salah seorang gadis Lawen dan mereka berdua langgeng persuami-istriannya sampai sekarang. Markesot datang ke Patangpuluhan, Kiai Tohar yang mengupayakan pendirian Bengkel Motor untuuk kegiatan harian Markesot.
Memang kenyataannya Markesot sama “manusia sejati”nya dengan Kiai Tohar sendiri. Markesot buka bengkel untuk memperbaiki motor, bukan untuk mencari laba, memprovokasi konsumen untuk membeli spare part baru dan dia “mbathi”. Kalau ada motor rusak, Markesot secara sangat jenius memulihkannya, dan bagi dia itu adalah amal saleh, sehingga si empunya motor tidak boleh membayar. “Mosok gitu saja mbayar”.
Demikianlah juga Kiai Tohar sendiri. Seorang pejuang rakyat yang tidak meminta upah atas perjuangannya. Toto tidak makan nasi dan meminum kopi dari hasil kapitalisme perjuangannya. Bersama Bu Wahya Kiai Tohar mendirikan “Salam”, Sekolah Anak Alam, dan tidak melakukannya untuk berdagang. Yang menjadi fokusnya adalah pendidikan anak-anak manusia supaya menjadi manusia. Beliau berdua tidak menyerap perekonomian anak-anak didik dan para orangtua mereka. Padahal setiap Sekolah yang maju dan bisa bersinar membikin bangunan-bangunan besar adalah hasil dari kepandaiannya berjual beli di bidang pendidikan, kecanggihan managemennya di dalam menyerap akses ekonomi masyarakat yang memerlukan “membali” pendidikan bagi anak-anaknya.
Saya melihat tidak kebetulan Sekolahnya Kiai Tohar dan Bu Wahya bernama Salam. Singkatan dari Sanggar Anak Alam. Tetapi memang sifat Allah “As-Salam”, yang maha menyelamatkan, mestinya diejawantahkan oleh manusia-manusia Khalifah menjadi Sanggar Anak Alam. Di seluruh dunia Sekolah dan Universitas adalah Anak Kebudayaan manusia. Tetapi Salam adalah Sanggar Anak Alam. Alam adalah ciptaan Tuhan, budaya adalah bikinan manusia. Sekolah di seluruh dunia adalah bikinan manusia, sementara Salam adalah Anak Alam. Tanazzul dan akselerasi dari konsep Tuhan sendiri.
“Salam meyakini, bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan tidaklah cukup hanya dilakukan di dalam ruang kelas antara guru dan siswa. Maka diperlukan proses belajar yang secara holistik terbangun relasi dengan orang tua murid dan lingkungan setempat. Maka proses belajar merupakan gerakan untuk menemukan nilai-nilai serta pemahaman hidup yang lebih baik ― itulah hakekat dari “Sekolah Kehidupan”. Menciptakan kehidupan belajar yang merdeka dimana seluruh proses pendidikan dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari kesepakatan bersama seluruh warga belajar.”
Salam adalah proses pembelajaran kehidupan agar manusia mentasbihi Tuhan dan mentasbihkan alam ciptaan-Nya.
Salam bukan ruangan yang diisi oleh anak-anak manusia yang pura-pura mencari ilmu padahal keberangkatannya adalah takut tidak makan di masa depan, cemas terhadap penghidupannya, sehingga bersekolah agar mendapatkan kunci untuk mencari lapangan kerja. Mengaku mencari ijazah dan gelar, padahal aslinya mencari pekerjaan. Mengaku mencari pekerjaan, padahal faktanya mencari uang.
Itu bukanlah prinsip dan pendekatan Salam kepada anak-anak Salamnya. Salam sebagai Laboratorium “Sekolah Kehidupan” perhatian utama dititik beratkan pada kebutuhan dasar manusia yakni; Pangan, Kesehatan, Lingkungan dan Sosial Budaya. Maka Salam mengambil tema itu sebagai perspektif yang bisa dikembangkan dalam proses pembelajaran sehari-hari. Dan itu semua adalah kunci untuk membuka kehidupan dan penghidupan di masa depan. Anak-anak Salam tidak dididik untuk mengaku cari ilmu padahal cari ijazah dan gelar. Tidak dididik untuk berlagak mencari ijazah padahal mencari pekerjaan. Juga tidak dididik untuk menipu diri dengan mencari pekerjaan, padahal sebenarnya mencari uang.
Kalau pakai narasi Al-Qur`an: anak-anak Salam diatmosferi oleh suatu habitat kependidikan untuk “yusabbihuna bihamdi Rabbihim”. Bertasbih atau mentasbihkan pujian kepada Tuhan. “Sabbaha lillahi ma fissamawati wama fil ardli”. Tidak secara kognitif atau dogmatis, anak-anak Salam tersituasikan oleh pengalaman keanak-alamannya menjadi manusia yang mentasbihkan pujian kepada Tuhan.
فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Salam membangun ekosistem belajar jauh lebih penting daripada sibuk dengan teknik-teknik belajar yang kini marak sebagai komoditi sekolah bagi para siswa dan orang tua yang keblinger pada dorongan “kesuksesan”.
Tanpa bersolek dengan gincu-gincu keagamaan, tanpa pencitraan tampil sebagai sekolah religius, tanpa mengubah Salam menjadi As-Salam, sebagaimana Sekolah-sekolah Al-Azhar, Al-Izhar, Ar-Rahman Islamic School, dan macam-macam lagi, Salam mengantarkan anak-anaknya untuk jangan begitu saja secara naif dan dungu menerima kosakata “kesuksesan”.
Kiai Tohar yang kesehariannya sepenuh-penuhnya tampak “abangan”, tidak pernah mempretensikan nilai-nilai Islam dalam narasi komunikasinya, tatkala berumroh bersama KiaiKanjeng, dipertunjukkan oleh Allah “kasepuhan”nya dengan Kiai muda Muhammad Zainul Arifin dan Kiai Islamiyanto ke sana kemari berada dalam bimbingan Kiai Tohar. Bahkan almarhum Bapak beliau menemui Kiai Tohar, sehingga beliau mengumrohkan Bapaknya dengan mengambil miqat lagi sesudah umroh untuk dirinya sendiri.
Tetapi jangan lupa, di antara semua cendekiawan muslim, bahkan termasuk para ulama dan kiai-kiai Islam di Nusantara, tidak ada hamba Allah yang begitu terpesona secara keindahan dan terpukau secara “social engineering” oleh Piagam Madinah melebihi Kiai Tohar. “At-Tsaqafah Al-Madaniyah” beserta keteladanan sosial politik, budaya, ekonomi dan tata pengelolaan pemerintahan dari Rasulullah Muhammad Saw, yang bahkan sama sekali tidak menjadi perhatian utama para pemimpin kaum kuslimin di Negeri ini dan di seluruh dunia. Tidak dilirik oleh NU, Muhammadiyah, atau golongan-golongan lain dari kaum muslimin. Kiai Tohar selama di Madinah bahkan melakukan riset serius atas Peradaban Madinah.