Sekolah Dzikrul Qur`an, Bukan Hifdhul Qur`an
Pantas sekarang ini sekolah untuk kanak-kanak hingga remaja yang paling laris, marketable, digemari dikejar-kejar oleh para orangtua kaum muslimin di era sekarang antara lain adalah Sekolah Tahfidhul Qur`an atau Hifdhul Qur`an. Bisa juga Shammul Qur`an atau Istadzkaral Qur`an. Bahkan bisa Istadhharal Qur`an. Kelas-kelas di mana para “peserta didik” dilatih untuk menghapalkan ayat-ayat Al-Qur`an.
Sampai-sampai Sekolah Taman Kanak-kanaknya Maiyah “TKIT Alhamdulillah” terpaksa menolak murid-murid baru karena orangtuanya mempersyaratkan nanti setamat TK anaknya sudah hapal minimal Juz 30. Syukur lebih dari itu.
Pendidikan Menghapal Qur`an sangat menjadi mesin uang kapitalisme di era milenial sekarang ini. Maka banyak pedagang yang kemudian berpikir terjun di dunia pendidikan. Jelasnya, dunia pendidikan Islam dimasuki dan disubjeki terutama oleh orang-orang yang pandai berdagang.
Potensialitas enterpreneurship seakan-akan merupakan “karomah” zaman modern. Sekolah-sekolah Islam sangat maju dan merebak sangat luas tidak terutama dibangun oleh gairah keilmuan Islam dan Al-Qur`an, melainkan karena sangat subur pasarnya. Bahkan sekolah-sekolah Islam yang semula tidak punya unit tahfidhul Qur`an, mendadak membuka kelas penghapalan itu, sebab memang itulah primadona dunia pendidikan Islam saat ini.
Para orangtua secara sosial budaya mungkin sudah agak mentog dan putus asa memikirkan merosotnya akhlak anak-anak dan kaum muda. Tidak sekadar akhlak dalam arti luas, bahkan unit keadaban atau sopan santun sehari-hari saja sudah semakin lama semakin merosot. Sehingga akhirnya terperosok ke dalam cara berpikir pragmatis: “Yang penting anak saya pinter ngaji dan hapal Qur`an”. Mestinya soal akhlak akan menjadi akibat positif yang otomatis dari kedekatan anak mereka dengan Al-Qur`an.
Sekolah-sekolah modern bukan tidak mengajarkan dan melatihkan keadaban kepada anak-anak didik. Tetapi memang tidak benar-benar ada sambungan antara kurikulum dan formula kependidikan sekolah modern dengan adat budaya masyarakatnya. Apalagi dengan agama. Bahkan pendidikan agama hanya mengajarkan teknik melakukan wudlu dan shalat, tanpa mengelaborasi budaya shalat di sekolahnya.
Ada kemungkinan terjemahan atau kosakata lain dari Tahfidhul Qur`an. Yakni “Istadzkarul Qur`an”. Kalau mau lebih mudah dan pragmatis ya “Dzikrul Qur`an”. Artinya mengingat atau dan menghapal. Karena kalau Tahfidhul Qur`an, meskipun bisa juga berarti “menghapalkan ayat Al-Qur`an”, tetapi saya memilih untuk memaknainya sebagai “Menjaga Qur`an”. Tentu saja menjaga bukan hanya “mushaf”nya, sehingga kalau kita tidak dalam keadaan suci tidak menyentuhnya. Atau kalau membawa Kitab Qur`an kalau bisa dengan sopan santun, misalnya memeluknya di tangan, bukan “nyangking” Qur`an seperti membawa tongkat atau pisau.
Jadi kalau ada Sekolah Tahfidhul Qur`an kurikulumnya adalah mematangkan iman, aqidah, dan akhlaq para muridnya agar Al-Qur`an terjaga dalam perilaku hidupnya. Kalau tujuannya terbatas pada anak-anak bisa hapal ayat-ayat Qur`an, nama sekolahnya ya “Istadzkarul Qur`an” atau “Dzikrul Qur`an” atau divariasikan secara lughawiyah dengan “Tadzkiratul Qur`an”. Terserah selera estetika yang punya sekolahan.
Yang pasti, kedua-duanya, para pembelajarnya, terutama lulusannya, tidak boleh menjadi manusia yang merasa lebih hebat dibanding lainnya. Tidak mentang-mentang hapal Qur`an lantas kita merendahkan orang yang tidak hapal.
Gara-gara hapal Qur`an lantas kita berlaku melebihi Nabi atau Tuhan sendiri. Bahkan terkadang ada narasi-narasi pengajian atau ungkapan-ungkapan doa yang “menceramahi” Tuhan.
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?”
Hapal Qur`an pasti sangat bagus. Tetapi bukan segala-galanya. Yang lebih utama adalah menjaga nilai-nilai Al-Qur`an selama hidup kita.
Tentu ini bukan karena saya sendiri tidak termasuk orang yang berhasil menghapal Qur`an. Melainkan karena rasio atau pertimbangan ‘aqliyah bahwa setiap muslim tidak wajib hapall Qur`an tetapi wajib menjaga nilai Qur`an dalam hidupnya. “Wajib” yang saya maksudkan tidak terutama berdimensi hukum, melainkan berkaitan dengan keselamatan hidup. Kalau kita ingin menjadi manusia “dhalim fidh-dhulumat”, silakan menghapalkan ayat-ayat Qur`an tapi tidak menjaga nilainya dalam kehidupan. Masih mending orang yang mungkin “awam Qur`an” secara literer tetapi hidupnya secara naluri dan akal menjaga nilai-nilai Al-Qur`an dalam hidupnya.
Kalau hapal Qur`an, bisa langsung hilang musnah ketika penghapalnya kejedug bagian belakang kepalanya di aspal atau mengalami stroke. Tapi kalau perilaku Qur`ani, abadi hingga ke sorga.
Di antara komunitas KiaiKanjeng tidak ada yang hapal Qur’an. Juga pathak warak Patangpuluhan dulu dan apalagi gentho-gentho Dipowinatan. Teman-teman saya nDipo dulu ketika saya mulai bergaul, hampir seluruhnya “abangan”. Tapi sekarang sudah “sedikit Santri”. Sudah ada aktivitas Masjid dan Remaja Masjid di Dipowinatan. Bahkan penabuh gamelan Karawitan Dinasti ada yang ajeg adzan di masjid nDipo.
Itu bukan prestasi dan tidak untuk dibanggakan. Itu mungkin sekadar makna kecil dari “ihdinas shirathal mustaqim”. Sebagaimana Gus Nur yang saya kisahkan di tulisan sebelum ini, juga bukan prestasi dan tidak ada yang perlu dibanggakan. Maha Subjek Sejati pada apa yang terjadi pada Gus Nur adalah Allah Swt sendiri.
Dan itu ada batasnya. Setiap pagi ada siangnya. Setiap siang ada sorenya. Setiap hari ada malamnya. Dan tanazzul hikmah atau karomah dan apapun saja dari Allah kepada manusia, ada batasnya. A ada Z+nya. Malam pasti akan tiba pada fajarnya.
سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Pada suatu hari saya sedang diskusi dengan Gus Nur, Ibu saya tiba-tiba datang. Dan berkata: “Nur, kamu hebat ya. Ceramah dan khutbah di mana-mana. Pinter dan hapal Qur`an. Kamu hebat dan enak. Tiap hari berpuasa. Hanya berbuka nasi bugik atau gaplek. Minum hanya segelas air putih. Tapi Ibumu ini susah kalau tiap hari harus menyiapkan nasi bugik. Kalau beras dan nasi gampang, karena semua di sini makan nasi. Untuk cari bugik kadang Ibumu ini harus jauh-jauh ke Ponorogo, Slahung atau Pacitan…”
Gus Nur menangis mendengar keluhan Ibu. Kemudian malamnya badannya demam panas. Beberapa hari kemudian Allah memanggilnya. Menturo “gempa” lagi. Meskipun penduduk yang ada berbuat buruk, merasa tenang hatinya karena tidak ada “Jaksa Langit” lagi.
Sejak itu, sampai hampir 60 tahun hingga sekarang, di samping menyukuri pernah kursus “download” dengan Gus Nur, saya selalu belajar dan mempelajari kalimat Ibu saya itu serta keseluruhan kehidupannya.