Saya Bukan Makhluk Karangan Manusia
Sebenarnya Cak Nur relatif lebih dipahami dan diterima di dan oleh Indonesia dibanding saya. Dalam proses pencitraan umum Cak Nur lebih “berwajah cendekiawan” dibanding “berwajah Islam” apalagi “berwajah NU”. Sementara saya sejak akhir 1969 dan awal 1970-an aktif sebagai seniman di Yogya, sampai lebih 30 tahun masih dicitrakan sebagai “berwajah Islam” di kalangan kesenian dan kebudayaan Yogya. Meskipun mereka mengenal saya dalam kegiatan puisi, sastra, dan teater, tetapi tetap yang tampak utama pada wajah saya adalah Islam. Dan itu menimbulkan bias, memunculkan banyak salah persepsi dan impresi, kemudian saya dipenjarakan di “sel” Kubu Islam.
Saya diperlakukan oleh anggapan-anggapan komunitas kebudayaan sebagai bukan hanya pesaing tapi juga musuh dari sahabat saya sendiri, penyair Linus Suryadi AG. Dan itu tidak berubah sampai Linus dipanggil oleh Tuhan pada tahun 1999 melalui stroke dan gagal ginjal. Linus adalah tokoh di kubu tertentu dan saya disebut berada di kubu lawannya. Manusia ternyata memang punya naluri besar untuk punya watak “kubu-kubuan”.
Suka menggerombol. Kalau sudah naik sepeda atau motor berombongan, cenderung mendominasi jalanan. Kalau sudah ramai-ramai kampanye, maka semua yang lain harus tunduk dan patuh. Sangat senang berkelahi, berantem, asalkan ramai-ramai berombongan, sehingga namanya menjadi “tawur”. Seluruh mekanisme bernegara kita pada hakikatnya masih mengandalkan psikologi tawur dan pergerombolan konstituen.
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٖ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Seakan-akan Allah tidak sakti dan kurang berwibawa, sehingga firmannya yang sangat jelas dan tegas sepeti itu selalu diremehkan dan diabaikan oleh manusia. Jangankan membangun kebudayaan di mana manusia menjaga diri agar wala tafarroqu atau tidak terpecah hubungan dengan Allah. Sedangkan di antara dan sesama manusia sendiri saja mereka sangat senang memecah belah dan terpecah belah. Dari zaman anak-anaknya Nabi Adam hingga Abad Milenial yang manusia mengaku sudah sangat pandai, intelektual, canggih, dan profesional.
Linus didemo oleh gerombolan pembela Islam di Karta Pustaka hanya karena pernyataannya tentang “khitan”. Padahal Linus benar bahwa “khitan” adalah tradisi sejak Nabi Ibrahim yang oleh Rasulullah Muhammad dilegitimasi dan dikukuhkan sebagai bagian dari Syariat Islam. Kemudian tersiar kabar bahwa sayalah yang merekayasa demonstrasi kepada Linus itu.
Kubu-kubu kaum seniman Yogya tidak pernah reda dan berlangsung hingga sekarang meskipun kadar, intensitas, dan ekspresinya berbeda. Dulu saya dianggap tokoh Kubu Selatan, sebab Linus tinggal di Kadisobo Sleman, sedangkan saya di Patangpuluhan Yogya sehingga dinisbahkan sebagai Kubu Selatan. Sekarang ternyata saya adalah Kubu Utara, karena tokoh lain yang dipermusuhkan dengan saya tinggal di Yogya bagian Selatan, bahkan termasuk Kabupaten Bantul.
Linus adalah sahabat saya dalam arti yang sesungguhnya. Saya juga sangat dekat dengan keluarganya, Ibu Bapaknya, kakaknya dan adik-adiknya. Saya sering dolan ke Kadisobo, menginap di rumah keluarga Linus, makan bersama keluarganya, main ke sawah dan mandi telanjang bersama dengan Linus. Ada “Kring” Katolik anak-anak muda Kadisobo yang saya juga akrab dengan mereka. Kalau Linus sakit, sesepuh kami Dr. Umar Kayam selalu memerintahkan kepada saya untuk menemani Linus. Kalau saya yang sakit, Linus tidak mendapatkan perintah yang sama karena menurut Pak Kayam saya tidak perlu ditemani, bisa mandiri dalam sakit saya.
Saya duduk di sisi Linus berbaring sambil mendengarkan bermacam-macam cerita Linus, dari Pak Tuwar hingga Imam Khomeini. Dari Vatikan hingga pendulum Salib yang selalu tergenggam di tangan Linus seperti orang Islam yang memegang Tasbih. Bahkan banyak ustadz atau kiai berceramah atau ustadz wawancara di televisi sambil bertasbih. Sehingga kita tidak tahu konsentrasi beliau ke wawancaranya, komunikasi dan silaturahminya, ataukah ke wiridannya.
Di bulan-bulan terakhir hidupnya, Linus diopname di rumah sakit. Ada sedikit masalah antara istrinya beserta anaknya dengan keluarganya. Sore itu saya bawa istri dan anak Linus untuk menemuinya di kamar opnamenya. Apa pun masalahnya, tetapi pedoman saya adalah bahwa itu adalah istri dan anaknya Linus. Maka meskipun gunung Merapi meletus dan Parangtritis tsunami, istri dan anak Linus berhak bahkan wajib dipertemukan.
Tetapi semua “kepolosan persahabatan” dan “kemurnian kemanusiaan” antara Linus dengan saya sudah selalu kami buktikan bertahun-tahun, tetap saja masyarakat seniman budayawan Yogya memandang saya sebagai “berwajah Islam” dan Linus “berwajah Katolik”. Dan pencitraan itu berlangsung eskalatif pada generasi-generasi berikutnya, persis seperti penelitian “Monyet disiram air dingin” yang pernah saya tuturkan. Situasi itu menimbulkan kegamangan dan bias pergaulan kaum seniman budayawan dengan saya. Bahkan lebih luas dari itu. Secara nasional, meskipun dalam kebanyakan tulisan-tulisan saya tidak menyinggung Islam secara formal, tetap saja di area masyarakat umum saya dicitrakan “berwajah Islam”. Meskipun saya menulis ilmiah, saya tidak pernah diakui sebagai ilmuwan. Meskipun teater dan karya-karya saya selalu inklusif dan pluralis, tetapi tetap saja wajah saya digambar oleh masyarakat sebagai “berwajah Islam”, sehingga eksklusif dan primordial.
Secara keseluruhan, Emha Ainun Nadjib bukanlah sosok seperti yang Allah menciptakannya dan saya mendiri mengekspresikan atau mengejawantahkannya. Emha Ainun Nadjib yang dikenal oleh Indonesia dan dunia adalah seseorang yang “diciptakan” oleh masyarakat. Emha Ainun Nadjib adalah seseorang yang diciptakan, dikarang, direkayasa, diedit, dikanibali, dan dicitrakan oleh kesempitan dan kepentingan-kepentingan dalam negara dan masyarakat. Ditambah oleh efektivitas sebaran media sosial serta kemudahan dan kecanggihan teknologi audio-visualnya, maka yang muncul tiap hari adalah Emha Ainun Nadjib yang diciptakan oleh tuhan-tuhan kepentingan di jagat raya Youtube subhanahu wata’ala.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
Meskipun beribu-ribu kali saya kutipkan peringatan Allah bahwa Ia tidak main-main dalam menciptakan manusia, sehingga jangan berlaku sebagai tuhan-tuhan kecil yang memain-mainkan ciptaan Allah, dan fainnama hisabuhu ‘inda Robbihi, bahwa itu ada perhitungan dan balasannya dari Allah, tetap saja sebagian golongan di antara manusia yang mengarang-ngarang Emha Ainun Nadjib versi editan dan upload-an mereka.
Meskipun selalu sudah saya tegas-tegaskan “Saya ini bikinan Allah, dan hidup saya diperjalankian oleh Allah, hadir di mana, tampil di mana, ngomong tentang apa, nampang di layar internet atau tidak, semua itu asro bi’abdihi lailan” — tetap saja muncul tuhan-tuhan kerdil penuh nafsu dan hidupnya selalu kelaparan dan takut masa depannya akan busung lapar sehingga menjual-jual wajah saya dan omongan saya tanpa legalitas.
Pencitraan masyarakat nasional atas saya juga rata-rata memunculkan Emha Ainun Nadjib “berwajah Islam”. Itu pun tidak untuk disyukuri, melainkan justru untuk ditimpa-timpa oleh pamrih dan nafsu mereka. Tetapi alhamdulillah kaum muslimin sendiri sampai hari ini tidak memanggil saya dengan gelar kiai, ulama, ustadz atau habib. Dan saya berhutang budi kepada Jamaah Maiyah yang memanggil saya dengan “Simbah” atau “Mbah Nun”. Karena pilihan panggilan itu lumayan membebaskan saya dari bias politik, bias penggolongan, bias tafarruq dan budaya macam-macam.
Entah bagaimana asal-usul sejarahnya sehingga Islam kurang bisa membuat masyarakat dunia, juga Indonesia, merasa aman. Islam seperti ancaman bagi dunia terutama modern. Yang salah itu kemalasan masyarakat modern untuk mengenali Islam secara objektif, ataukah umat Islam sendiri yang melakukan banyak kesalahan dalam mengantarkan Islam ke panggung dunia. Sampai-sampai muncul stigma sebegitu serius terhadap Islam. Sampai muncul Islamophobia secara internasional, dan itu secara nasional dan regional sangat mempengaruhi sepak terjang saya di Yogya dan Indonesia.
Efek stigma Islam kepada saya bisa berupa dicurigai, tidak sepenuhnya dipercayai, disalahpahami berdasarkan peta stigma itu. Dalam masalah tertentu dikucilkan, dibuang, disisihkan atau dianggap tidak ada. Dalam konteks lain dimusuhi atau dianggap musuh, dirasani buruk, dinista atau dicelakakan. Sefaktual apapun upaya saya berpuluh-puluh tahun untuk membuktikan kehadiran inklusif saya, universalitas saya, rahmatan lil’alamin saya, bahkan kemurnian kasih sayang sosial saya. Itu semua tidak mengubah atau mengurangi akibat-akibat psikologis, sosial, politis, dan kultural yang menimpa saya
Itu pun ditambah dengan kemalasan meneliti dan mengamati. Orang yang diusir dari gereja, tidak mampu mempersatukan kaum muslimin sendiri, serta kedekatannya dengan non-Islam menghasilkan sakit hati kalangan Islam sendiri dst malah disebut tokoh pluralis, bahkan Bapak Pluralisme, sejajar dengan Martin Luther King. Sementara kita yang di mana-manapun selalu mengiklusifkan dan mendamaikan berpuluh-puluh kasus pertengkaran antara pemeluk agama, bahkan memaknai Islam sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa Al-Qur`an itu “hudan linnas”, petunjuk bagi semua manusia, tidak hanya milik umat Islam — tidak dikenali atau dipahami sebagai penggiat “rahmatan lim’alamin”. Saya selalu dicitrakan “berwajah Islam”, itu pun dalam pemaknaan yang eksklusif dan primordial.
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Allah menganugerahkan al hikmah atau kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah.”
Saya khawatir dan cemas bangsa Indonesia dan kaum muslimin tidak termasuk di antara hamba-hamba Allah yang dianugerahi hikmah sebagaimana yang tertera di ayat tersebut.