Sastra Liman Mensyukuri Rahman Rahim Cinta
Cak Nun menyampaikan komentar betapa puisinya lahir atas kesadaran hulu dan hilir. Sejumlah sajak yang terangkum dalam antologi ini memiliki riwayat dan cerita masing-masing
Sudah lama Cak Nun tak menerbitkan buku kumpulan puisi. Di tengah super produktif melahirkan esai, bukan berarti beliau vakum menulis sajak. Aktivitas kepenyairan masih terus dilakoni di sela-sela kesibukan.
Setahun pandemi belakangan ratusan puisi terlahir dari pena kreatifnya. Buku Rahman Rahim Cinta (Noura Books, 2021) merupakan kumpulan160-an puisi Cak Nun yang kini telah tersajikan kepada sidang pembaca luas.
Sastra Liman edisi bulan April lalu menggelar acara bertajuk Mensyukuri “Rahman Rahim Cinta: Puisi-Puisi Emha Ainun Nadjib” di Pendopo Rumah Maiyah, Kadipiro. Helatan itu ditayangkan virtual melalui kanal YouTube CakNun.com.
Selain menghadirkan tiga penanggap, Cak Nun, Budi Sardjono, dan Sutirman Eka Ardhana, acara tersebut juga menampilkan para pembaca sajak: Joko Kamto, Eko Winardi, Dinar Saka, Nora Septi Arini, dan Bu Fafa.
Cak Nun menyampaikan komentar betapa puisinya lahir atas kesadaran hulu dan hilir. Sejumlah sajak yang terangkum dalam antologi ini memiliki riwayat dan cerita masing-masing.
Tiap riwayat mempunyai cerita tertentu. Puisi adalah sublimasi atas pergumulan batinnya selama ini. Bukan mengherankan bila sebagian besar puisi menggambarkan peristiwa kontekstual sepanjang Corona menjangkit.
Hulu dalam puisi berupa fragmen pengamatan sang penyair. Sedangkan ketika ia terejawantah ke dalam bahasa maka lahirlah hilir berupa sajak. “Kesadaran hulu dan hilir dalam puisi saya kira penting,” ujarnya. Sejauh mana puisi mampu mengilustrasikan “dunia dalam” dan “dunia luar” penyair dibabar Cak Nun lebih lanjut.
Tentu saja penilaian kualitas sajak, lanjutnya, bergantung kepada interpretasi pembaca. Cak Nun membebaskan tiap orang untuk mengapresasi sekaligus memberi makna terhadap puisi-puisinya.
Tak ada protokol baku bila menyangkut evaluasi maupun kritik dalam puisi. Ada dimensi akademis bahkan cakupan pembacaan reflektif. Pembaca mempunyai otoritas memilih di antara sejumlah opsi.
Pak Budi Sardjono selaku Pimpinan Redaksi Majalah Sastra Sabana menawarkan corak tanggapan berbeda. Membaca puisi-puisi Cak Nun, menurut penulis novel biografi Selendang Kilisuci (2021) ini, semestinya memperhatikan latar belakang penyair. Pertimbangan itu dipakai agar meraih keutuhan pembacaan. Pak Budi sesungguhnya telah merambah ke dalam pola psikologi pengarang.
Ia mengaku sudah mengenal Cak Nun sejak tahun 70-an. Pernah menyaksikan beliau menulis dengan mesin tik kurang-lebih dua jam di kantor majalah Basis di kawasan Kotabaru. Saat itu Cak Nun menulis tanggapan khusus kepada salah satu koran yang mengutip namanya.
Semakin lama dan intens bergumul, Pak Budi mengambil satu kesimpulan. “Memahami Cak Nun dan puisi-puisinya harus dilihat dari perlambang buah, ular air, dan julung wangi,” tuturnya.
Ketiga amsal tersebut dinilainya bukan klenik. Itu merupakan kecenderungan individu yang ditinjau dari aspek weton seseorang. Melihat dimensi ini, sambung Pak Budi, maka pembaca akan mengetahui siapa sebenarnya Cak Nun. Pengetahuan akan ketokohan penyair mendorong pembaca lebih menangkap makna sajak yang dihasilkan.
Sementara itu, Pak Eka cenderung menampik pandangan tentang kevakuman Cak Nun dalam menulis puisi. Ia tak percaya kalau setelah antologi puisi 99 untuk Tuhanku, Cak Nun absen menulis sajak.
Sebelum menulis puisi, hidup Cak Nun sudah memuisi, dan kenyataan itu disaksikan Pak Eka semenjak era 70-an. Beliau merupakan salah satu sesepuh yang ikut berproses dalam Persada Studi Klub di bawah asuhan mendiang Umbu Landu Paranggi.
Pukul 22.00 tepat acara ditutup. Sebelum dipungkasi, Pak Joko Kamto membacakan puisi berjudul Rahman Rahim Cinta bagian pertama dan kedua. Salah satu kutipan di dalamnya begitu gamblang membincang cinta.
Cinta bukan kata yang kau pungut suatu siang dari tepian jalan
Dari puisi penyair yang tertulis di sobekan kertas koran
Cinta bukan rerasanan yang tercantum di footnote kaum ilmuan
Atau dari surat cinta seorang pemuda kepada perawan
Lantas kau ambil, kau bawa pulang dan kau jadikan hiasan
Bahkan kau jadikan komoditas untuk meraih kepentingan