Sangkaan Jahiliyah
Semua kesulitan, masalah, bencana, timpaan kehancuran, dalam skala kecil maupun besar, pintu solusinya dari Allah hanya satu kata. Tinggal pilih salah satu di antara bangunan thariqah dari Allah yang mendasar: Iman, Islam, Ihsan, Taqwa, dan Tawakkal. Atau yang lebih praktis ya Sabar dan Shalat. Setiap kata merupakan pintu bagi kata lainnya. Kita tidak bisa menyebut salah satu tanpa bertransformasi, berdialektika atau berkomprehensi dengan empat kata lainnya.
Ia gerbang yang bisa dimasuki oleh empunya masalah, kemudian bekerjasama dengan empat dimensi lainnya. Saya sebut pintu solusi. Pintunya. Bukan solusinya. Sebab solusinya ada di tangan Allah. Kita hanya memasuki pintu itu untuk berjuang, berharap, bersujud, mengemis-ngemis agar tiba di garis atau titik solusi.
ثُمَّ أَنزَلَ عَلَيۡكُم مِّنۢ بَعۡدِ ٱلۡغَمِّ أَمَنَةٗ نُّعَاسٗا يَغۡشَىٰ طَآئِفَةٗ مِّنكُمۡۖ
وَطَآئِفَةٞ قَدۡ أَهَمَّتۡهُمۡ أَنفُسُهُمۡ يَظُنُّونَ بِٱللَّهِ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ ظَنَّ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِۖ
يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ ٱلۡأَمۡرِ مِن شَيۡءٖ قُلۡ إِنَّ ٱلۡأَمۡرَ كُلَّهُۥ لِلَّهِ
يُخۡفُونَ فِيٓ أَنفُسِهِم مَّا لَا يُبۡدُونَ لَكَۖ يَقُولُونَ لَوۡ كَانَ لَنَا مِنَ ٱلۡأَمۡرِ شَيۡءٞ
مَّا قُتِلۡنَا هَٰهُنَاۗ قُل لَّوۡ كُنتُمۡ فِي بُيُوتِكُمۡ لَبَرَزَ ٱلَّذِينَ كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَتۡلُ
إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمۡۖ وَلِيَبۡتَلِيَ ٱللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمۡ و
لِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمۡۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
Kemudian setelah kamu berduka cita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan berupa kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu atau hak campur tangan dalam urusan ini?”. Katakanlah: ”Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu atau hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh atau dikalahkan di sini”. Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.
Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah. Jadi ketika manusia memproklamasikan kemandirian, kedaulatan, hak asasi, bahkan ilmu dan teknologi beserta segala kemampuan yang menyertainya, sesungguhnya itu berlaku hanya dalam lingkup tertentu yang sangat kecil dan terbatas. Kalau kita menyangka bahwa manusia sungguh-sungguh bisa membangun, menyelesaikan, memulihkan, mengatasi, menyembuhkan atau apalagi menyempurnakan, Allah menyebut itu adalah “Dhonnul Jahiliyah” atau Persangkaan Jahiliyah.
Ayah saya dipanggil oleh Allah pada 19 Agustus 1973. Kakak sulung saya belum rampung kuliah. Kakak lainnya di tengah semester tujuh Fakultas Farmasi UGM Yogya mendadak hari itu juga harus pulang ke Menturo. Ayah kami membawa Sertifikat tanah dan rumah Menturo, harta terakhirnya, untuk diuangkan di sebuah Bank Sidoarjo. Pulang ke Jombang angkotnya kecelakaan terguling. Ayah kami meninggal, Sertifikat ada di Bank dan uang di saku Ayah hilang.
Sudah 1-2 tahun terakhir keluarga kami bukan jatuh miskin, melainkan faqir. Melarat semelarat-melaratnya. Hutang berlapis-lapis kategori jumlah nolnya dalam jumlah yang mustahil dilunasi dengan kapasitas ekonomi kami meskipun 15 bersaudara. Kakak kedua saya diperintahkan pulang ke Menturo dan harus langsung meneruskan pengelolaan SDI dan SMP “Mansyaul Ulum” dalam kondisi faqir.
Harta kami tinggal sehelai tikar dan satu bantal yang dipakai tidur oleh Ibu dan adik bayi terkecil kami. Bagian-bagian dari bangunan rumah dijual, termasuk meja kursi, almari, rak, semua kayu dan apa saja untuk mempertahankan hidup. Kami semua yang bersekolah di Yogya berhenti hari itu juga. Adik-adik belum tahu nasibnya. Tetapi andaikan kami ber-15 siap bekerja entah apa, tidak akan mampu juga menghimpun biaya untuk membayar bertumpuk-tumpuknya hutang kami.
Sampai beberapa tahun sebelum itu Ayah berpenghasilan lumayan. Ia Sekretaris sebuah Pabrik Beras. Tetapi kesalahan pemilik Pabrik dan Ayah kami adalah karena mereka dikenal sebagai bagian dari satu golongan di antara Kaum Muslimin. Bung Karno tidak berpihak ke golongan itu, bahkan ia membubarkannya. Maka golongan Islam lainnya yang memusuhinya, bekerja sama dengan PKI, menghancur-leburkan semua eksistensi dan aset golongan yang dibubarkan itu. Dicari-carikan perkara, Pabrik ditutup dan pemiliknya diperkarakan dan masuk penjara. Semua jatuh menjadi faqir miskin, termasuk Ayah saya.
Kaum muda milenial hari ini mungkin tidak akan pernah tahu betapa mengerikannya atmosfer Ashobiyah di antara kelompok-kelompok Kaum Muslimin. Ashobiyah adalah semangat membela atau menolong berdasarkan spirit golongan atau fanatisme kelompok, tanpa peduli kenyataan bahwa yang dibela itu melakukan kedhaliman separah apapun.
Rumusan Rasulullah Saw:
أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ
“Engkau menolong kaummu atas kezaliman yang mereka lakukan.”
Dan itu tidak hanya berarti penghancuran atas eksistensi golongan yang dimusuhi, melainkan sampai juga keseluruhan nasib orang-orangnya. Sesungguhnya saya sekeluarga sangat mengalami penderitaan dan trauma oleh akibat-akibat Ashobiyah antar Kaum Muslimin yang membengkak mulai tahun 1957 dan berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun outputnya tidak separah yang kami lakukan di era 1960-1970an, tetapi jiwa Ashobiyah itu tetap tertanam dengan mendalam dan akut dalam jiwa Kaum Muslimin Indonesia.
Tetapi anak-anakku tahu, mengerti dan mengalami sendiri bahwa selama kita ber-Maiyah, tak sepercik pun hal itu pernah saya ungkapkan. Bahkan yang saya gelombangkan di Maiyah adalah sebaliknya, yakni karakter Nubuwah meneruskan pola pengelolaan sosial Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Mempersatukan, memadukan, mengharmoniskan, pemersaudaraan atas semuanya, bahkan tidak terbatas hanya Ummat Islam. Sehingga kita menyebut semua yang bermaiyah bersama kita adalah “Al-Mutahabbuna Fillah”. Sebab itulah fakta utama Islam yang ditanam dan disebarkan oleh Rasulullah Saw. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persatuan dan melarang perpecahan.
Di panggung dan area Maiyah saya tidak pernah mengizinkan kesengsaraan keluarga dan penderitaan masa silam saya bocor dari ekspresi saya. Apalagi memakainya sebagai dendam untuk membangun dan membesarkan golongan dan pengikut saya. Maiyah menghindari segala potensi perpecahan di kalangan Kaum Muslimin bahkan bangsa Indonesia. Sampai-sampai Maiyah melarang dirinya untuk menjadi Ormas atau bentukan-bentukan formal administratif atau padatan-padatan apapun saja.
Ashobiyah dalam mentalitas dan kejiwaan Kaum Muslimin Indonesia itu sesungguhnya mengakar dan merambahkan potensi perpecahan dan penghancuran multidimensional. Tidak sekedar bergiliran mempersaingkan kekuasaan dan jaringan kekuasaan Negara. Tapi merembes ke semua aspek kehidupan. Kalau berterus terang, kondisi Ashobiyah itu membuat kita semua bukanlah penerus perjuangan Kanjeng Nabi, melainkan kitalah kaum Jahiliyah yang sangat membutuhkan dan hanya bisa diselamatkan oleh kehadiran Kanjeng Nabi.
Bagaimana caranya keluarga kami menggeliat bangun atau bangkit dari kehancuran dan kefaqiran sepeninggal Ayah Muhammad Abdul Lathif di tahun 1970? Jawabannya adalah awal tulisan ini: Iman, Islam, Ihsan, Taqwa, dan Tawakkal. Atau riyadlah-nya: Sabar dan Shalat. Ya hanya itu. Sama sekali bukan jawaban profesional di mana kami bekerja keras, bikin usaha-usaha atau total mencari uang untuk dihimpun membayar hutang.
Tolong saya jangan ditagih untuk mengisahkan romantika dan dialektika, atau detail kesengsaraan yang kami alami dari terpuruk menuju kebangunan kembali. Saya tidak berkecenderungan untuk ngundat-undat, merajuk, ngalem atau playing victim. Dialektika antara lima kata itu sajalah yang akhirnya mengentaskan kami semua dari jurang yang sangat dalam. Allah membuktikan ayat di atas bahwa Innal amra kulluhu lillah. Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah. Semenir pun Allah tidak main-main dengan firman-Nya.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ
إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
Anak-anakku Maiyah mestinya sudah hapal firman bahwa Allah tidak main-main ini.