CakNun.com
Kebon (130 dari 241)

“Salamun ‘Alaikum La Nabtaghil Jahilin”

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Mungkin kau tidak sepakat pada pendapat bahwa Indonesia adalah salah satu dari sekian fakta keajaiban dunia. Tetapi seluruh pengalaman hidupku hingga 67 tahun ini sungguh penuh keajaiban. Andaikan kita jumpa darat langsung dan bercengkerama, bisa secara bebas kututurkan keajaiban-keajaiban yang kualami di dan dengan Indonesia.

Bagiku Indonesia sangat mentakjubkan. Bahkan lebih dari itu, banyak hal di Indonesia yang “ajaib”, juga yang “ghaib”. Ajaib berasal dari kata ‘ajib yang pluralnya ‘aja-ib. Peristiwanya “ta’jub” atau takjub. Ajaib adalah sesuatu yang mentakjubkan. Kalau ghaib adalah sesuatu yang hampir tidak bisa dinalar atau tidak ada rasionya dalam peta intelektual manusia. Sesuatu yang ghaib pasti ajaib, tetapi yang ajaib belum tentu ghaib. Sedangkan Indonesia adalah kedua-duanya: ya ghaib ya ajaib.

إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا

Kami telah mendengar bacaan yang menakjubkan.”

Banyak orang baru merasakan ketakjuban ketika atau sesudah membaca Al-Qur`an, sebagaimana tergambarkan oleh ayat di atas. Salah satu sebabnya adalah karena mereka belum perneh melihat Indonesia.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkanmu.”

Ayat ini bisa jadi tidak berlaku untuk dan di serta bagi Indonesia. Karena justru Indonesia inilah yang “mengagumkanmu” itu.

Coba kita universalkan spektrumnya dulu. Kalau pakai pengertian bahwa “ghaib” atau “ajaib” adalah segala sesuatu yang tidak bisa diidentifikasi, dipahami, dan dirumuskan secara nalar, atau oleh akal atau intelektualitas manusia, dengan perangkat rasio sampai ke tingkat padat metodologi akademik. Maka yang terkuat dari kesimpulan saya selama mengalami kehidupan ini adalah bahwa “tidak ada yang tidak ajaib”.

Kalau kau masih berada di ruang “kewajaran” secara habitat materialisme manusia, dan mengidentifikasi bahwa “alam ghaib” adalah alam kubur, dunia mbahurekso, prewangan, Jin, Setan, Iblis, siluman, thèthèkan, druhun dimemonon lèngèng, banaspati, roh halus dan apa saja – maka itu mencerminkan bahwa kau belum berteman karib benar dengan hakikat hidup ciptaan Allah Swt.

Ada lagi pemilahan antara “ghaib” dengan “ajaib”. Di masyarakat modern, orang mengakui banyak terjadi keajaiban, hal-hal kecil maupun besar yang tidak masuk akal. Artinya bagi masyarakat rasional itu semua “ada” meskipun tidak bisa dipahami. Sesuatu yang “amazing”, yang “amazes you”. Tetapi tidak sampai kadar “ghaib”. Kalau yang “ghaib”, disimpulkan dan akhirnya diperlakukan sebagai sesuatu yang “tidak ada”. Bahkan sering kali yang “ghaib” tidak mentakjubkan bagi manusia rasional.

Orang tidak kagum bagaimana ia bisa menjadi ia, bagaimana dahsyatnya seluruh sistem tubunya, bagaimana darah kok mengalir, rasa sakit itu apa, perih atau pahit itu apa. Tuhan sendiri, sejauh pengalaman saya berada di tengah masyarakat modern, tidak pernah mengagumkan bagi masyarakat modern. Sehingga tidak diakui sebagai benar-benar ada. Minimal kebanyakan orang tidak punya keakraban sampai kadar tertentu dengan “adanya dan berperan-Nya Tuhan”.

Seluruh masyarakat dunia tidak pernah benar-benar bergaul dengan Tuhan. Tuhan diposisikan “antara ada dan tiada”. Terutama kaum ilmuwan di dunia pendidikan atau intelektual pada umumnya.

Ada pakar pertanian, teknologi, fiqih atau kehutanan. Tetapi tidak ada pakar ketuhanan. Tentu saja tidak mungkin manusia menjadi pakar ketuhanan, kalau wilayahnya adalah dzatiyah. Tetapi manusia bisa mengenali “gejala-gejala” kehadiran Tuhan, sistem perilaku-Nya, teori sebab-akibat yang dipasangnya dalam kehidupan makhluk-Nya. Tetapi itu pun tidak diperhatikan secara saksama. Para intelektual tidak ada yang meneliti fakta-fakta atau gejala-gejala perilaku, kecenderungan dan keputusan Tuhan.

Tidak ada “breakdown akademik” atas peta perilaku Tuhan dari kaum intelektual. Akibatnya mereka membiaskan banyak hal. Misalnya kegiatan kaum ilmuwan dan akademisi diletakkan di ruang yang jauh berbeda dengan ruang keagamaan dan rohani. Dalam pandangan saya semua orang yang menggeluti ilmu, juga kesenian, adalah rohaniawan. Para antropolog, sosiolog, teknolog, sampai filolog atau matematikawan, adalah rohaniawan. Mereka memperhatikan, meneliti dan menyimpulkan pandangan-pandangannya tentang “rohaninya materi”, “nilai benda-benda”.

Semua ilmu dan cinta itu aktivitas rohani, meskipun objeknya materi. Orang jatuh cinta adalah peristiwa rohani. Bahkan orang memilih benda-benda konsumsi di toko dan Mall, adalah mekanisme rohani, meskipun objeknya materi. Orang berdagang, menjadi pengusaha atau industriawan, juga hukum-hukum pasar, seluruh perhitungannya adalah nilai. Pada hakikatnya menjalani hidup adalah aktivasi rohani. Kalau diteruskan, sesungguhnya manusia adalah makhluk rohani, meskipun harus melalui simbolisme materi.

Tetapi ummat manusia global di seluruh muka bumi sudah terlanjur menyembah materialisme. Dan itu pun bukan menyembah benda-bendanya, melainkan menyembah anggapan-anggapannya terhadap benda dalam kehidupan. Saya kutip ayat sebelum terakhir surat Yasin yang Jamaah Maiyah selalu meneriakkannya bersama di setiap akhir “Sinau Bareng”:

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡ‍ًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya: Apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.”

Terjemahan “amruHu” dalam versi ini adalah “keadaan-Nya”. Tidak pernah ada yang gelisah, gatal atau cemas, apalagi dari kalangan intelektual modern: “amr” itu keadaan, perintah atau urusan? Kalau dalam ilmu bahasa ada “fi’il amr”. Kata perintah. Orang bingung karena kata kerja perintah diasosiasikan menjadi “keadaan”. Dalam ayat itu kata “amruhu” dijelaskan oleh output “kun”. “jadilah”, maka “menjadi”.

Belum lagi kalau pasalnya diperluas: “arada” dengan famili kata “iradah” atau “irodat”. Awam memahami rentang makna ayat itu: “Kalau Allah berkehendak, maka ia tinggal kasih perintah: Jadilah. Maka menjadi”. Eksekusi Allah atas “idza aroda syai`an” adalah memerintahkan “Kun”.

Mungkin Ilmu Titèn dari kebudayaan bangsa Jawa agak berbeda. Karena ilmu titen sangat empirik dan dilakukan oleh semua dan setiap orang. Sehingga mereka terbebas dari batasan-batasan akademik. Orang biasa dan awam tidak “rewel” sebagaimana ilmuwan atau akademisi. Tetapi para ilmuwan tidak juga cukup memberikan wacana tentang bagaimana detail arti dari “amr”, “iradah”, apalagi “qadar”, “takdir”, “qudrah”. Terlebih lagi bedanya dengan “ashaba” dan “nasib”.

Seorang pengarang lagu, Pak Chossy Pratama digugat oleh kaum intelektual Islam karena bikin lagu “Takdir Itu Kejam” karena dianggap menuduh Allah itu kejam. Sebagaimana kasus yang penyimpanan senjata gelap, saya temani Pak Chossy menyelenggarakan konferensi pers untuk “tabayyun”. Sebenarnya dalam forum dengan wartawan itu saya tidak menjelaskan apa-apa secara ilmu. Tapi yang penting hasilnya sesudah itu gugatan dan kasus berhenti. Itu bagian dari keajaiban Indonesia. Boleh ada ledakan masalah besar dan berat, tapi dua hari kemudian seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Jauh sebelum itu ada kasus penelitian Arswendo Atmowiloto yang membuat Kaum Muslimin marah besar. Sebab hasil penelitian itu meletakkan Nabi Muhammad di urutan ke 12 dibanding tokoh-tokoh lain. Pasukan-pasukan Islam membanjiri Jakarta. Dari Surabaya hingga Medan. Grup Kompas menelepon saya, semacam konsultasi darurat, saya menganjurkan Arswendo segera menyerahkan diri ke Polisi. Seorang wartawan anak buahnya Arswendo di Yogya saya evakuasi di rumah Patangpuluhan bersama istrinya dan anaknya. Mereka saya taruh di kamar belakang. Sementara di depan rumah Patangpuluhan sudah berkumpul pasukan Islam menunggu izin saya untuk bergerak.

Kalau saya seorang radikalis yang membela Islam dan Rasulullah secara linier dan padat, maka hari itu orang yang saya lindungi tapi mengkhianati dan mencelakakan saya itu sekeluarganya seharusnya sudah tamat riwayatnya. Tetapi saya sudah mendapatkan titipan embrio Maiyah. Karena ketika kemudian berlangsung Reformasi, saya turunkan Pak Harto, besoknya di hadapan sejuta massa di Alun-alun Utara Yogya, orang yang saya selamatkan itu mem-bully saya, memutar-balik fakta dan menyebarkan fitnah. Di hadapan sejuta orang di alun-alun maupun dalam omong-omong sehari-hari di manapun saja. Tetapi karena saya bukan kader FPI, maka saya memaafkannya, sampai hari ini. Bahkan pengkhianatan dan penghinaannya direngkuh dan terlegitimasi oleh “Amirul Bilad” yang datang ke Padepokannya beberapa hari yang lalu. Semua di KiaiKanjeng dan Kadipiro mematuhi firman Allah:

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat atau batil yang muncul dari orang jahil.”

فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلَامٌ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Maka berpalinglah dari mereka dan katakanlah, “Salam selamat tinggal.” Kelak mereka akan mengetahui nasib mereka yang buruk.”

كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا
وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Karena rasa dengki yang ada dalam diri mereka setelah tampak jelas kebenaran bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapang-dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Kalau seorang manusia dikhianati dan disakiti sampai tingkat “njarem” atau mendalam, tapi dia memaafkan, bersikap sabar dan legawa, apa itu namanya kalau bukan keajaiban? Saya punya contoh sangat banyak di Menturo desa saya maupun di area lumpur Sidoarjo, bahkan kemudian 30-40 tahun di Yogya. Manusia sangat berani berbuat buruk. Gagah perkasa berbuat jahat. La roiba sedikit pun untuk menista dan memfitnah. Maha Tahu dan Maha Adilnya Allah sangat diremehkan oleh sangat banyak manusia, sepanjang yang saya alami. Tetapi toh alhamdulillah sampai hari ini saya memaafkan. Tidak terbit kutukan atau kata-kata buruk dari mulut saya, meskipun sebenarnya Allah “memakluminya”.

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai ucapan buruk, yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kata “kecuali” dalam ayat itu merupakan lubang hak peluang perkenan Allah untuk “berkata buruk”, “mengutuk”, “membalas dendam”, “sepata”, minimal “memaki”. Tetapi ada tawaran Allah yang ternyata itu yang saya pilih. Dan tak lain itu adalah gelombang keajaiban di dalam jiwa saya.

إِن تُبۡدُواْ خَيۡرًا أَوۡ تُخۡفُوهُ أَوۡ تَعۡفُواْ عَن سُوٓءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوّٗا قَدِيرًا

Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan orang lain, maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.”

Lainnya

Pernikahan, Perzinahan, dan Perkosaan

Pernikahan, Perzinahan, dan Perkosaan

Sejak di Menturo hingga Gontor dan Yogya. Sejak di Indonesia hingga Sorsogon Utah Aberdeen Wolongong Zurich Swiss Teramo Nijmegen Leed Athena Hannover, saya niteni atau meneliti seseksama mungkin bahwa perilaku Allah dan hukum sebab-akibat di dalam tata nilai yang Ia terapkan, tidaklah sama dengan yang selama ini kita pahami dari keluarga, sekolah, pengajian, buku-buku atau informasi-informasi pengetahuan yang datang dari siapapun dan di manapun.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version