Sahabat-sahabat Sorga dan Neraka
Setiap manusia punya sahabat-sahabat sejati, juga teman-teman palsu. Setiap orang mendapatkan aroma sorga dari sahabat-sahabatnya, tapi juga belepotan kebusukan neraka dari bebrayan di sekitarnya.
Saya punya banyak sahabat-sahabat sorga. Ada yang sudah benar-benar berada di sorga atas panggilan Allah, ada yang masih menderita di dunia seperti saya sampai hari ini.
Sejak kecil saya dikelilingi oleh pahlawan-pahlawan kesetiaan, kasih sayang tanpa pamrih, pelayanan satu sama lain, suka duka menjalani perjuangan menegakkan keyakinan dan keindahan hidup. Saya punya teman-teman menggembalakan kambing, kerbau, sapi, kuda. Ada Kasdu. Ada Kasyadi. Ada Kastari. Ada Margin. Ada Guk Urip yang mengajari saya teknik ngarit. Ada Kastari yang kalau berkomunikasi dengan saya tidak memakai Bahasa Jawa atau Bahasa Menturo, tetapi Bahasa yang ia karang sendiri secara spontan, dan saya belajar berimprovisasi meresponsnya dengan kosakata-kosakata yang kami sendiri tidak saling memahami.
Tetapi komunikasi berlangsung dengan baik dan membangun kasih sayang silaturahmi serta kenikmatan persahabatan di antara kami. Kastari mengajari saya tentang salah sangka kebudayaan-kebudayaan manusia tentang bahasa, kata, idiom dan komunikasi teknis kognitf deskriptif, serta tentang bahasa kesucian hati dan kemurnian cinta yang tidak diwakili oleh huruf, suku kata, kata, dan bahasa.
Di komunitas Lenggar Etan saya punya sahabat-sahabat penikmat “rahmatan lil’alamin”. Ada Sukadi, Slamet Jithul, Anwar, Guk Dulkarim, Maskan, Makin, serta senior-senior Guk Lik 1, Guk Lik2, Guk Sulkan, Guk Nain, yang mentransfer atmosfer terbangan dan shalawatan. Itu sekitar 60 tahun yang lalu. Dan sampai hari ini masih ada Markesot, ahli teknologi, pencerdas nilai-nilai, inovator komunikasi dan pakar dongeng-dongeng, juga musuhnya Raja-raja Tikus dan hama-hama tanaman sawah lainnya.
Di kalangan kanak-kanak desa Gontor saya punya teman sejati Ahmad Tauhid dan Imam Budiono, putra Kiai Sufi Gontor Ahmad Sahal, yang menangisi saya tatkala diusir dari Pondok Gontor. Saya juga punya Abbas putra Pak Lurah Gontor yang bermata satu, sekolah tidak naik-naik, dikiaikan oleh penduduk desa dan kalau berdoa dia mengucapkan hafalan-hafalan dari pelajaran Muthola’ah KMI Gontor kelas 1. “Kana rojulun yadhribu kalban”, ada orang memukul anjing. Dan para Jamaah koor: “Aaaamiiin”. Jangan sampai lupa kekasih saya hitam kelam Ismail B Malakalu putra Maumere Flores yang masuk IKIP Malang pakai ijazah teman saya juga Hadziq Adhiem asal Podoroto Kesamben Jombang. Kami bertiga satu klub sepakbola. Ismail striker utama. Saya kiri luar, Hadziq bek kiri. Akhirnya sampai sekarang jadi tokoh di Tambunan Serawak Namanya tetap Hadziq Ismail. Saya buka rahasia saja Si Mutiara Hitam ini yang mengajari saya ngremus silet dan makan bolam.
Di Yogya saya punya Umbu Landu Paranggi yang melibatkan saya di dalam tarikat tauhid murni. Ada juga Linus Suryadi AG penyair Katolik yang dipermusuhkan melawan saya tapi kami tidak pernah bermusuhan sampai meninggalnya di tahun 1999. Saya punya banyak sekali sahabat-sahabat dahsyat di dunia sastra, terutama Mustofa W Hasyim yang indah, beberapa dekade teater Yogya sejak Rendra, Fajar Suharno, Tertib Suratmo, Gajah Abiyoso, hingga Nevi Budianto, Joko Kamto, hingga Agung Waskito, Seteng Yuniawan, Jebeng, Piyel, dan banyak lagi.
Di Patangpuluhan juga saya dikelilingi oleh banyak pahlawan kehidupan. Pahlawan perjuangan. Pahlawan kesederhanaan. Pahlawan Kajujuran. Banyak kalangan yang berasal dari aktivisme mahasiswa maupun dari teater dan kesenian. Ada Yono, Munzir, Imam, Tjipto, Gun Jack, dan banyak lagi. Tidak sedikit yang akhirnya menjadi tokoh yang dikenal secara nasional, tetapi tidak saya sebut namanya di sini karena bukan Pahlawan Idealisme, bukan Pahlawan Konsistensi, bukan pahlawan Keberanian Hidup Lillahi Ta’ala. Sampai kelak di Kasihan, Kelapa Gading. Ada Cak Mustafa Akbar, Mas Ian Leonard Bett, Habib Haidar, Habib-Habib. Bahkan anak-anak Menturo yang memperjuangkan penghidupan. Sampai akhirnya di Kadipiro, kumpulan patriot-patriot Maiyah yang hidup dengan keyakinan dan ketahanan yang luar biasa. Hilman, Wahyudi Nasution, Dwijo, Yusron Aminullah, Helmi Mustofa, Muhamad Salahudin, Eko Penyo, Patub, hingga Pak Harwanto dan Kiai Muzzammil dan akhirnya permanen dengan Syakurun Muzakki sampai hari ini. Tidak mungkin saya menyebutkan nama patriot-patriot KiaiKanjeng satu demi satu.
Saya diajari ideologi kerakyatan dan diajak ke sana kemari membela rakyat kecil oleh sahabat saya Toto Rahardjo sejak kasus Kedungombo, ICMI hingga Reformasi 1998 yang menjadi palsu karena dimanipulasi oleh tokoh nomor satunya. Seorang sahabat sejati lainnya memasukkan saya ke dunia filosofi Wayang. Mengenal para Dalang. Menelusuri hikmat karakter-karakter dalam Ramayana, Mahabharata hingga carangan-carangannya. Namanya Muhammad Zainuri yang semua teman memanggilnya dengan menjunjung perannya dengan Pakde Nuri.
Juga tak akan bisa dilupakan Pak Rahmat Mulyono yang unik dan merepotkan, Pak Harwanto yang segar dan menyegarkan, Pak Ismarwanto Begawan yang tidak kentara karena bersembunyi di balik alunan bunyi serulingnya. Dan banyak lagi pahlawan persahabatan, pahlawan kemurnian bebrayan, pahlawan kesucian hati di tengah kekumuhan kebudayaan, pahlawan kesetiaan, pahlawan ketahanan iman dan keseimbangan, pahlawan nilai-nilai yang terbaik yang dianugerahkan oleh Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya.
Pada suatu siang di warung depan pagar RS Sardjito UGM Yogya Pakde Nuri mengucurkan airmata dan terisak-isak menyatakan ketidakpahamannya tentang kekejaman manusia. “Kowe iki tau salah opo tho Cak kok kudu ngalami nganti koyo ngene”. Pakde bukan lelaki cengeng. Ia pahlawan perjuangan 1966 sebagai kurir perlawanan terhadap PKI. Ia sempat ditangkap dan dihajar sampai semua giginya rontok. Pakde badannya sangat kuat, sehingga kalau ditabrak sepeda motor yang hancur adalah sepeda motornya.
Jari-jemari Pakde Nuri rutin menyentuh, memegang, mengusap dan memakan bagian-bagian penting dari tubuh KiaiKanjeng satu persatu kapan saja pentas di mana-mana. Pakde manusia pengayom. Simon Hate baca puisi di halaman depan THR Yogya. Tiba-tiba hujan turun, dan tiba-tiba Pakde datang membawa payung yang kemudian dilindungkan di atas kepala Simon. Saya miskin semiskin-miskinnya. Ke mana-mana jalan kaki. Kalau tiba-tiba hujan, Pakde tiba-tiba nongol dan mempersilakan saya naik ke boncengan motornya. Yang memberi panggilan Pakde kepada sahabat Muhammad Zainuri adalah adik saya Adil Amrullah. Karena di Jombang kami punya Pakde Nuri, yang Namanya juga Zainuri, yang watak dan peran sosialnya seperti Pakde Nuri Yogya.
Pakde menangis di warung itu karena barusan rombongan Dokter yang memeriksa saya di ruang Radiologi menyatakan bahwa Ilmu Kedokteran tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan saya. Usia saya menurut perhitungan medis paling lama hanya tiga (3) bulan lagi. Karena hypertheroid saya rusak total sehingga badan saya akan memakan lemaknya sendiri dan batasnya paling lama tiga bulan. Dalam gambar rontgen, dari leher saya hingga bawah ada berwarna hitam pekat.
Pakde menangis tersengal-sengal. Padahal ia menyusun sendiri “Syariat Islam” hidupnya. 1- Menjalankan Islam setuntasnya. 2- Mengabdi kepada Allah dalam segala hal. 3- Melayani keperluan perjuangan Cak Nun. Bude Nuri yang menginformasikan hal itu sesudah menemukan buku kecil catatan harian almarhum suaminya.
Theroid hancur saya itu diselidiki oleh teman-teman sebagai ada kaitannya dengan pemerintahan dan Presiden, Sawangan Bogor, rentang Kendal hingga Padangan. Ditambah akibat dari peperangan yang hampir terjadi di Stadion Gajayana Malang dengan suatu kelompok penipu rakyat. Para Dokter RS Sardjito tidak mampu menginformasikan keadaan saya itu, sehingga Dr. Eddy Supriyadi alias sahabat sejati saya yang lain Mas Eddot, yang menyampaikan kepada saya.
Mbak Novia di Kadipiro mendengar informasi dari Sardjito dan tentang konstelasi di belakangnya, berkata: “Kan sudah lumayan jelas masalahnya. Mbok sekarang Ayah ambil tindakan”. Ayah adalah penggilan Bu Novia kepada suaminya.
Maka malam itu juga saya “ambil tindakan”. Besoknya saya diperkenankan Allah merasa segar, dan kemudian yakin bahwa saya akan sembuh dari tremor berbulan-bulan, berat badan turun sampai 26 kg dst. Hari-hari berikutnya badan saya menjadi gemuk. Wajah dan pipi saya membulat “full moon” seperti kebanyakan minum obat alergi.
Sudah pasti muatan hati saya dalam hidup yang berada di usia senja sekarang ini adalah arus besar yang berputar-putar yang berupa rasa syukur kapada Allah yang menyayangi saya dengan menganugerahkan sangat banyak sahabat-sahabat sejati. Pahlawan-pahlawan kemurnian, kesetiaan, dan cinta sejati. Sahabat-sahabat yang membuat saya merasa sudah mencicipi sorga.
Akan tetapi pada saat yang sama di usia senja saya sekarang ini saya dikerubungi oleh manusia-manusia yang tidak pernah bertemu saya, tidak pernah berkenalan, tidak pernah berilaturahmi, tidak pernah mengalami laralapa perjuangan bersama, namun sangat rajin menghadirkan wajah saya, video gambar dan ucapan saya ke Youtube atau aplikasi-aplikasi lain dari media online.
Mereka mengunggah wajah dan omongan saya untuk menghantam Pemerintah, untuk memusuhi sejumlah tokoh, atau justru untuk membela tokoh-tokoh tertentu yang sedang dirundung viral bullying dan trolling. Padahal saya tidak pernah ada bersama mereka. Saya tidak pernah ikut mengurusinya. Saya tidak pernah berkomentar untuk memusuhi atau membela tokoh yang sedang menjadi bulan-bulanan itu.
Saya diperlakukan sebagai benda, sebagai sobekan kertas untuk menambal sobekan-sobekan kertas lain, atau saya menjadi dempul untuk menambal kulit mobil yang peyok. Tiap hari terus-menerus muncul di Youtube pekerja-pekerja Ketok Magic yang memperalat saya untuk memperbaiki mobil orang atau merusaknya, yang saya sama sekali tidak tahu-menahu tentang itu semua.
Saya telah berkisah tentang sahabat-sahabat sorga. Ternyata tidak kalah banyak juga musuh-musuh yang neraka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ
لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ
مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ
قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.
Mereka sangat rajin, penuh semangat dan berhati tenang untuk tak henti-henti mencelakakan saya, ternyata menurut Allah memang karena “Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu”. Dan bodohlah kalau saya mengharapkan pembohongan dan kelaliman itu akan pernah berhenti. Karena menurut Allah: “Apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi”.
Jamaah Maiyah rajin mewiridkan algoritma takdir “In lam yakun biKa ‘alayya ghodlobun fala ubali”. Tetapi mereka ini menjalani yang sebaliknya: “Tidak masalah Allah murka kepada saya dan keluarga saya, asalkan saya mendapat keuntungan dunia dan terlaksana apa yang saya nafsukan, ambisikan dan dengkikan”.