CakNun.com

Rumah Cak Nun dalam Sketsa Romo Mangun: Sebuah Anomali

Andhika Yopi Setyawan Putera
Waktu baca ± 4 menit
Penerapan Tektonika Arsitektur YB. Mangunwijaya Dalam Perancangan Rumah Tinggal Emha Ainun Nadjib

Sebuah karya arsitektur sangat berkaitan dengan cara berpikir maupun kesadaran-kesadaran yang tertanam dalam benak si pelaku, seperti halnya produk-produk budaya peradaban manusia lainnya. Kejujuran dalam arsitektur dapat dirupakan melalui ditampilkannya ciri khas sebuah material bangunan serta interaksinya dengan material lain, di mana perpaduan tersebut memberikan kesan nilai estetis serta menyiratkan pesan yang ingin disampaikan sang kreator bangunan.

Material bangunan tidak sekadar membawa fungsi, namun juga sarat dengan makna dan estetika. Gaya seperti ini dapat ditemui pada karya-karya arsitektur Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang populer dikenal sebagai Romo Mangun. Keberadaan alam dan manusia di lokasi bangunan yang didesain menjadi bagian penting dalam proses penciptaan karya-karya arsitektur Romo Mangun, sehingga bangunan tersebut memiliki jati diri yang juga merefleksikan lingkungan di sekitarnya.

Tulisan karya Lintang Rembulan, Hardiyati dan Ummul Mustaqimah yang berjudul “Penerapan Tektonika Arsitektur YB. Mangunwijaya Dalam Perancangan Rumah Tinggal Emha Ainun Nadjib” berfokus kepada bagaimana gaya arsitektur Romo Mangun tersebut, yang juga bisa diistilahkan sebagai tektonika dalam arsitektur, diterapkan pada rencana pembangunan rumah tinggal Cak Nun.

Dalam karya tulis tersebut dijabarkan bahwa rumah tinggal bagi Cak Nun bukanlah sebuah bentuk pencapaian diri melainkan pemenuhan kebutuhan yang diusahakan, sehingga ia haruslah dibangun secara efisien dan hemat serta sesuai fungsi dan kebutuhan penghuninya 1. Rumah tinggal, yang dipandang merepresentasikan tubuh manusia, semestinya bisa mendukung terciptanya keharmonisan antara fungsi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan publik, sebagaimana sosok seorang Cak Nun yang dalam kesehariannya kerap berinteraksi secara intens dengan masyarakat umum, tidak hanya dengan keluarga Cak Nun sendiri.

Berkaca dari fakta tersebut, tata bangunan dibagi menjadi tiga “ruang” yang masing-masing ditujukan untuk memenuhi fungsi kebutuhan privasi, semi sosial, dan sosial. Ruang privasi menjadi tempat bagi Cak Nun berinteraksi dengan keluarga di mana gugus bangunan didesain dalam ukuran kecil serta berorientasi ke dalam untuk menimbulkan nuansa yang lebih intim sembari memaksimalkan pencahayaan alami. Ruang semi sosial yang memiliki area paling luas difungsikan menjadi “rumah” bagi kegiatan Cak Nun dan kolega bersama dengan masyarakat, sementara ruang sosial menyediakan ruang interaksi bagi penduduk sekitar maupun tamu-tamu.

Seluruh bangunan pada tiga “ruang” tersebut didesain mengikuti kontur tanah di mana struktur atas yang ringan bertumpu pada struktur penopang yang lebih berat sebagai salah satu bentuk mitigasi gempa. Arah angin, tingkat pencahayaan serta keberadaan vegetasi juga merupakan faktor yang sangat menentukan pada desain bangunan. Karena itu, bambu sebagai salah satu material bangunan yang dipilih memiliki peran yang cukup dominan dalam desain Romo Mangun ini, mulai dari konstruksi atap hingga kuda-kuda bangunan. Struktur, material, persambungan, juga sengaja diekspos sehingga tampak bagaimana detail tiap elemen serta keharmonisannya dalam satu kesatuan bangunan.

Dari karya ketiga penulis tersebut, bisa cukup tergambar titik-titik persambungan pemikiran-pemikiran Cak Nun dengan konsep arsitektur khas Romo Mangun, yang mungkin dalam dunia arsitektur di era sekarang dianggap usang dan tidak keren. Bangunan modern di Indonesia banyak yang terasa miskin nuansa khas Indonesia namun malah kaya akan pencampuradukan yang tidak karuan serta salah kaprah, seakan-akan terlepas dari akar budayanya dan terasing dari alam sekitarnya. Ketika berbicara karya arsitektur ala Indonesia di abad ke-21, yang nyata disajikan di hadapan mata adalah motif kawung atau megamendung yang ditempel di pilar, atap maupun dinding gedung-gedung bertingkat nan megah.

Lanskap dan vegetasi sebuah lahan proyek diratakan begitu saja demi tegaknya menara-menara gading, juga bahkan tak jarang menegasikan keberadaan penduduk yang sudah lebih dulu tinggal di situ, tanpa ada ikatan apa pun dengan tetangga-tetangganya selain transaksi ganti rugi. Bangunan dengan sentuhan estetika khas Barat begitu mendominasi struktur-struktur masif bahkan teradopsi hingga ke bangunan rumah tinggal di kampung-kampung.

Arsitektur masjid sulit untuk beranjak jauh dari kubah dan ornamen berbentuk segi enam, padahal apa yang tidak Islami dari konsep tumpangsari dan bentuk nanasan? Bukankah semestinya ada penerjemahan baru terhadap ruh dari gaya arsitektur suku-suku bangsa di nusantara, sehingga muncul desain baru yang kemudian diterapkan pada bangunan-bangunan besar bertingkat yang dahulu belum atau jarang ada? Tidak sekadar mengadopsi bentuk dan elemen, tetapi justru memahami berbagai nilai dan metode dari entitas budaya lain dan memberi bentuk baru atas interpretasi nilai-nilai yang menjadi pembentuk produk-produk budaya di nusantara.

Sayangnya proses take and give budaya yang terjadi di bumi nusantara kini cenderung nirpemahaman yang mendalam dan utuh. Pertanyaan seperti mengapa sebuah gaya arsitektur dari sebuah entitas bangsa memilih bentuk dan elemen ataupun teknik membangun yang sedemikian rupa, enggan untuk digali. Asal dia bisa melambangkan prestasi-prestasi hidup si empunya gedung, atau menimbulkan decak kagum dan viral di khalayak umum, maka tak ada salahnya bangunan kantor bupati didesain mirip dengan Gedung Putih yang ada di Amerika sana. Bangunan pencakar langit di Indonesia pun nyaris mustahil dibedakan dengan saudara-saudaranya di belahan bumi yang lain, sehingga jika langit ibu kota diabadikan dalam gambar, muncullah kesan bagi yang melihatnya bahwa Indonesia telah sah masuk ke dalam liga negara-negara maju.

Mungkin itulah interpretasi bangsa Indonesia di abad ke-21 terhadap kata maju. Segala yang tampak instagramable walau entah fungsinya apa, dijadikan patok kesuksesan bangsa ini. Menginterpretasikan kembali, apa itu bangunan modern khas Indonesia seakan-akan adalah pekerjaan yang luar biasa berat. Lebih mudah meng-copy-paste Arc de Triomphe ketimbang menggali lagi konsep bangunan Joglo dengan Pendapa-Pringgitan-nDalem-nya.

Cara berpikir macam Romo Mangun, yang mengasingkan arsitektur dari sifat narsis serta egois dan bahkan lebih memilih kata “Wastu” untuk merepresentasikan segala kerja-kerja arsitektur 2, atau kejujuran cara pandang Cak Nun atas kehidupan, yang terefleksikan pada pemaknaan Cak Nun atas sebuah rumah tinggal, sepertinya adalah sebuah “anomali” bagi sebagian manusia modern di Indonesia. Padahal urgensi penerapan pola pikir seperti itu tidaklah sesederhana karena adanya dorongan perlunya melestarikan budaya bangsa dan semacamnya, melainkan sebuah akibat dari adanya kesadaran siapa itu manusia sejatinya dan peran atau posisi apa yang dianugerahkan oleh Sang Arsitek kehidupan. Karenanya, arsitektur juga adalah cermin sikap hidup, yang memunculkan keindahan melalui kebenaran, yang menyandingkan fungsi “guna” dan fungsi “citra” yang tidak melulu berfokus pada manusia namun juga alam tempat ia berada 3.

Lainnya