Ruang Kedaulatan Maiyah
Di akhir dekade 1970-an sejumlah Ulama memanggil saya untuk “diadili”. Tempatnya di kantor pusat sebuah ormas Islam besar di Jl KHA Dahlan Yogyakarta. Pikiran-pikiran saya yang terungkap dalam berbagai tulisan dianggap “ngawur”. Pengetahuan saya tanpa asal-usul, tanpa disiplin sanad. Guru dan Sekolah saya tidak jelas. Apalagi saya bikin puisi “Tuhan, aku berguru kepada-Mu”. Itu adalah personifikasi atas Tuhan. Mosok Allah kok Guru. Mosok Allah naik sepeda dari rumah ke gedung Sekolah lantas masuk kelas untuk mengajar.
Bagaimana mungkin manusia berguru kepada Tuhan. Mosok Tuhan lebih rendah dari dosen. Beliau-beliau itu tidak tahu atau lupa bahwa mereka adalah juga guru saya. Tidak ada siapapun dan tidak ada apapun yang saya tidak belajar kepadanya. Dari binatang-binatang melata, nyamuk dan lalat, tanah yang pero, kathel atau lumpur. Burung-burung di udara maupun anak-anaknya yang menantikan di sarang. Langit, bumi, angkasa, planet-planet dan rembulan. Tidak mungkin ada ciptaan Allah yang tidak saya pelajari atau saya belajar kepadanya. Apalagi Maha Penciptanya.
Tentulah saya bukan men-tasyabbuh-kan bahwa Tuhan itu seperti Pak Sugiharso guru Mekanika saya di SMA Muhi. Bujangan tua yang naik sepeda kriyet-kriyet dari rumahnya ke Muhi. Berguru, belajar, meguru, melibatkan diri dalam proses pembalajaran, tidak harus berupa sekolah dan kelas. “Tuhan, aku berguru kepada-Mu” adalah mekanisme ‘aqliyah di dalam software batin saya. Dan itu bagian dari perjalanan rohani hidup saya. Dan lagi siapa selain Allah yang
وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ
وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ
إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ
Apalagi:
إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ
Bahkan seluruh pengetahuan dan ilmu yang ada pada segala makhluk ciptaan pada hakikatnya adalah milik-Nya. Kalau aku belajar kepada sesama manusia, meskipun mereka profesor, doktor atau ulama besar, tidaklah ada bandingannya dengan ilmu-ilmu sejati, otentik, orisinal milik-Nya.
Kalau tiba-tiba muncul sesuatu di dalam otak dan hati saya, hadir ide, gagasan atau tetesan apapun di dalam benak saya, siapakah pelaku yang memasukkannya ke dalam akal saya selain Allah? Maka bagaimana mungkin aku tidak mengarahkan hidup saya dengan “Tuhan, aku berguru kepada-Mu”?
Bahkan aku mengetik beribu-ribu tulisan, menerbitkan hampir 100 buku, dituntun menyelenggarakan berbagai gerakan sosial, sama sekali sumbernya bukanlah sekolah, profesor doktor dan ulama siapapun.
Jangan sampai anak-anakku Jamaah Maiyah tak berlatih ambil jarak, maqam berpikir, atau “’uzlah”, seperti ikan hidup sepanjang masa dalam kolam. Ikan di dalam air kolam tidak kagum kepada kolam. Kolamnya sendiri juga tidak takjub kepada ikan. Ikan tidak takjub kepada air yang membuatnya hidup. Apalagi menemukan keajaiban bahwa ia ada dan bahwa ada kehidupan.
Jangankan air dan ikan. Manusia pun bisa terkurung oleh kebekuan pengetahuan seperti itu. Secara positif, bahkan bangsa Indonesia tidak mengerti kebaikan dan keajaibannya sendiri. Karena mereka terbiasa hidup ikhlas, tanpa pamrih, tulus dan tanpa pretensi. Nabi mayoritas penduduk Indonesia adalah Rasulullah Muhammad Saw, yang bersabda:
ورجل تصدق بصدقة فاخفاها حتى لا تعلم شماله ما صنعت يمينه
“Seseorang yang mengeluarkan shadaqah lantas disembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.”
Anak-anakku Maiyah sudah lama “Sinau Bareng” sehingga tahu bahwa tidak ada yang tidak ajaib dalam kehidupan. Dan puncak keajaiban dunia adalah tanah air Indonesia. Penduduk Indonesia tidak pernah bertanya kok ada Indonesia. Kok kau dan aku ada, padahal kita tidak kuasa menciptakan dirimu dan diriku. Pernahkah engkau melakukan suatu pengambilan jarak penerawangan batin dan berpijak pada suatu koordinat kesadaran yang membuatmu mengerti bahwa ide “tidak ada” dan “ada” itu sendiri adalah keajaiban.
Ada dan tiada. Langit dan bumi. Hidup dan mati. Siang dan malam. Istirahat dan jaga. Ruang dan waktu. Dunia dan akherat. Cobalah duduk bersila, syukur bersujud, hati tasya’ur, pikiran tafakkur. Semoga engkau diangkut oleh Malaikat untuk tiba di suatu titik, suatu koordinat, di mana kau tak bisa melihat, mendengar, merasakan dan mengalami apapun saja kecuali menghasilkan ketakjuban yang dahsyat karena semua itu niscaya adalah keajaiban.
Atau kita biasakan anak-anak kita sejak kecil untuk peka dan mencerdasi hal-hal yang dekat saja. Kok ada ide kreatif tentang adanya badan, kepala, tangan, kaki, telinga, hidung, nafas, detak jantung, aliran darah, hembusan nafas, memancarnya air kencing atau nerembesnya keringat. Dan apapun saja. Kalau engkau belum menemukan dan mengalami tasyahhud bahwa itu semua adalah ghaib, maka engkau belum “fana”. Sehingga engkaupun tak memahami apalagi merindukan “baqa`”.
Engkau perlu mengembarakan batin menuju posisi Allah yang (dulu, menurut konsep waktu yang berlaku pada kesadaranmu) sendirian, belum ada apa-apa. Bahkan “belum” itu pun tidak ada. Kalau sesuatu muncul di hatimu, benakmu, pikiranmu, siapakah yang membuatnya muncul? Apakah kau sendiri yang memunculkannya?
Makanya mustahil engkau mengenali dirimu dan kehidupan tanpa pintu gerbang Agama. Makanya tidak berlangsung apapun kecuali Allah meniupkan wahyu-Nya. Kemudian karomah, ma’unah, fadhilah dan ilham.
Aku sendiri legawa untuk percaya, mengakui dan bersedia menjalani ideologi dan paham ilmu apapun yang diproduksi oleh manusia sepanjang sejarah, dengan syarat manusia bisa memprogram keabadian hidupnya. Dengan syarat manusia berkuasa untuk tidak mati. Atau bersedia mati tetapi manusia sanggup mengambil keputusan detik menit jam hari tanggal bulan tahun momentum kematiannya.
Atau bagi kalian itu semua mungkin terlalu esoterik. Terlalu “dunia dalam”. Terlalu “kebatinan”. Atau coba perhatikan dengan saksama hal-hal yang kau bisa ketemu dan bertatap wajah saja. Bagaimana mungkin ada aku kalau tidak berasal dari perencanaan keajaiban. Aku tidak bisa mengadakan diriku sendiri. Aku menjadi Simbah yang kau kenal, apa muatannya kalau bukan keajaiban? Alamilah Maiyahan di mana-mana, apa mungkin kau mengalaminya bukan sebagai keajaiban? Aku menulis hampir 100 buku, apa sumbernya kalau bukan keajaiban. Aku menghidupi anak istri, hidup tenang tenteram dengan keluarga, tidak tergeletak di sel penjara politik, menyalurkan ilmu, kawruh dan berkah, mawengku (memeluk dengan dua tangan cinta) beribu macam manusia dan keadaan-keadaan sosial. Apa itu semua kalau bukan keajaiban.
Kemarin tiga Jamaah Maiyah Mafaza Eropa datang membawa tiga paket antisipasi “majma’al bahrain”. Prinsip Perdikan, Tata Ruang dan Pranatamangsa. Setiap pelaku, penggiat dan Simpul Maiyah berijtihad menemukan ke-perdikan-annya, kemandiriannya, kedaulatan hakikinya. Kemudian menentukan luasan spektrum kosmologi keilmuannya, perspektif dakwah dan jihadnya. Serta mempelajari dan melatih strategi pranatamangsa-nya. Dunia dikuasai oleh Syariat Globalisasi, yang diruangi oleh Demokrasi, dimekanisasi dan diteknokrasi oleh model intelektualisme Barat, serta dipenuhi ruangan itu oleh riuh rendah materialisme, kapitalisme, industrialisme, dan hedonisme keduniawian.
Jamaah Maiyah harus membangun tata ruangnya sendiri, meneguhkan ke-perdikanan-nya serta menjalani pranatamangsa yang terus dihimpun melalui “Sinau Bareng” Maiyah selama bertahun-tahun. Jamaah Maiyah harus melakukan berbagai formula hijrah. Yang awal tulisan ini sudah aku jelenterehkan berbagai probabilitas konteks dan wilayahnya.
Ruang Maiyah ternyata semakin tampak dan terbukti bukan Ruang Indonesia. Apalagi kalau disadari dan disebut dengan Ruang Kedaulatan Maiyah, di tengah suatu entitas manusia, masyarakat, bangsa dan Negara yang tidak mampu menjadi tanah sehat bagi setiap tanaman kebenaran dan kebaikan. Maka kembalilah ke firmah Allah:
وَشَدَدۡنَا مُلۡكَهُۥ وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡحِكۡمَةَ وَفَصۡلَ ٱلۡخِطَابِ
“Dan Kami kuatkan kedaulatannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.”