Restu Adam yang Fathonah
Akhirnya saya pergi ke Laweyan Solo untuk takziah Restu Adam. Guru saya, pengingat saya, mentor saya, dan cinta saya. Bersama para punggawa yang pernah merawat Restu Adam, kami berempat menuju Solo. Bakda Maghrib kami ketuk pintu rumah bu Lely – Pak Sigit. Sebuah rumah yang asri di kawasan kampus. Setelah beberapa saat, pintu dibuka. Pak Sigit mempersilakan kami masuk dengan agak terkejut menyambut kedatangan kami. Apalagi Bu Lely yang seolah ada banyak rasa yang ingin beliau ungkapkan dengan kedatangan kami.
“Buanyaaak cerita, Dok. Tetapi bingung mau mulai darimana,” sapa Bu Lely kepada kami berempat. Bu Lely yang masih memakai mukena, tampak wajah duka dan mata yang berkaca kaca.
Saya kemudian membuka dengan kalimat ‘kulo nuwun’ atas kedatangan kami, “Saya beserta para dokter ini yang pernah merawat Restu di RS, bermaksud untuk bersilaturahmi kepada keluarga Ibu.”
“Atas nama tim dokter, para perawat, residen dan siapa saja di RS, kami menyampaikan duka kami. InsyaAllah Restu berada dalam genggaman Allah, dan pasti surga tempatnya. Kami juga minta maaf atas segala kekurangan kami selama merawat Restu. Mohon Ibu dan Bapak bisa memafkan kami.”
Bu Lely dan Pak Sigit pun menyambut kami dan menjawab ‘kulo nuwun’ kami dengan kalimat yang serupa.
“Kali ini Restu menyerah, Dok,”’ lanjut Bu Lely.
Bu Lely melanjutkan, Restu waktu itu bilang, “Bunda…. Aku lelahhhhhh.”
Bu Lely pun memberi semangat kepada anak lanangnya itu, “Ayo kakak semangat.”
Restu menjawab dengan permintaan, “Bunda aku ingin pulang. Nanti aku ingin memberi surprise kepada Bunda dan Ayah. Tetapi syaratnya aku harus pulang dulu (ke rumah).”
Waktu itu Restu terbaring di RS Solo, dengan kondisi perdarahan karena keping-keping darahnya (trombosit) yang sangat sedikit, sehingga terjadi perdarahan spontan.
Akhirnya Restu pulang ke rumah, di Laweyan. Sesampainya di rumah, Restu memberikan ‘surprise’ tersebut kepada ayah dan bundanya.
“Bunda, Ayah, Restu minta maaf atas segala kesalahan Restu. Bunda dan Ayah harus mengikhlaskan Restu. Restu sudah ditunggu Allah. Restu mau meninggal.” Itulah surprise yang diberikan Restu kepada ayah dan bundanya.
Kami semua yang berada di ruangan itu terdiam dan seperti ada yang mengunci mulut ini, sehingga tak bisa berkata-kata. Mata saya mengambang seperti ada kabut di penglihatan saya ini. Demikian pula para punggawa yang datang bersama saya. Mereka hanya bisa terdiam dan saling berpandangan.
Saya teringat kuliah Cak Nun dalam Pasinaon Piwulang Luhur FKKMK UGM beberapa waktu lalu. Tentang sifat Nabi yang Fathonah (cerdas, intuitif, dan mengandung kesadaran/kecerdasan futurologis).
Sosok Restu sudah sampai pada sifat ini. Dia sadar dan dia tahu bahwa ajal sudah dekat. Dia mempersiapkan segalanya.
“Maafin Restu ya Bunda, maafin Restu ya Ayah. Kalau Restu tidak dimaafin, badan ini sakit semua bunda, panas…. (sambil menunjukkan tubuh dari kaki naik sampai dada),” lanjut bu Lely.
Kami pun tambah tercekat dan diam sediam-diamnya di ruang tamu itu. Saya berusaha menimpali untuk memecah kesunyian itu.
“Pasti Sorga untuk Restu Bu…., yakin itu. Lha kalo Restu tidak di Surga, lalu kami kami ini ditaruh dimana?,” lanjut saya.
Kalau seorang Restu sudah sampai pada kesadaran futurologi seperti itu, maka Restu pasti sudah melewati Tabligh, sudah melewati Amanah. Kalo sifat Siddiq-nya Restu sudah saya bahas di tulisan sebelumnya.
Kesadaran akan masa depan itu adalah pemberian Allah. Tidak semua orang memilikinya. Tidak semua orang mendapatkannya. Selain seorang Restu, saya juga menemui sosok yang mempunyai kesadaran yang dianugerahi Allah ini. Orang tersebut adalah yang memberi kuliah di Pasinaon Piwulang Luhur FKKMK UGM itu. Yaitu Cak Nun!
Banyak hal yang saya temui dan saya saksikan bahwa kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini sudah pernah beliau ucapkan dan sudah pernah beliau tulis dalam karya-karya beliau.
Sangat banyak kejadian-kejadian itu dan tulisan-tulisan itu. Tapi kalau mau disebutkan salah satu yang monumental adalah ‘Lautan Jilbab’. Bagaimana naskah tulisannya, bagaimana drama teatrikalnya, dan kita lihat apa yang terjadi sekarang. Hampir semua muslimah kita berjilbab.
Dalam Al-Baqarah 269, Allah berfirman,
يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Kefahaman yang diberikan Allah ini kepada yang Dia kehendaki. Kefahaman apa saja. Kefahaman tentang apa yang akan terjadi. Kefahaman tentang bagaimana kalau kita berhadapan dengan seseorang, serta harus bersikap. Saya mengamati, seorang Restu selalu mendahulukan Bundanya, dalam penyebutan dalam kedekatannya dalam apa saja.
Restu paham betul bahwa sosok ibu menjadi salah satu kunci penentu sukses seseorang dalam hidupnya. Banyak fakta dan kejadian yang saya temui tentang hal ini.
Doa ibu sejati kepada anaknya tidak akan pernah putus. Selalu mendoakan untuk kesuksesan dan kebahagiaan anaknya. Dengan perbuatan dan akhlak yang baik membuat seorang ibu bangga terhadap anaknya. Sehingga sudah seharusnya seorang anak berbakti kepada ibu dan ayahnya. Rasulullah Saw. bersabda :
إنَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ
“Sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah).
Restu, kami bersaksi, kamu adalah anak baik, yang berbakti kepada bunda dan ayahmu. Kamu santun terhadap sesiapapun. Kamu hormat kepada semua orang. Kamu anak shaleh, kamu baik.
Sekali lagi Restu anak baik. Surga pasti di tanganmu.