Reriungan Seniman Dulur Konco Lawasan
Sekitar seratusan orang seniman beranjangsana di Rumah Maiyah, Kadipiro. Dari perupa, aktor teater, sastrawan, penari, sampai penggiat seni tradisi saling melepas rindu dan nostalgia. Sebagian besar telah menyandang status nenek-kakek.
Sembari menenteng gitar akustik, Aloysius Untung Basuki berjalan pelan menuju titik sorot kamera pendopo Maiyah. Rambutnya dominan warna putih panjang semampai. Meski tak lagi muda tampilannya necis mirip Bob Dylan usia kepala dua: topi baret, celana jeans, kemeja lengan panjang digulung sehasta. Paduan paripurna itu sayangnya minus harmonika. Biasanya dia mengalungkan alat musik tiup tersebut di samping memetik senar.
“Halo mitra kasih. Saya merasa berbunga-bunga karena dipertemukan di tempat ini. Saya terharu sekarang karena teringat masa lalu,” sapanya. Untung Basuki membawa lagu Lepas-Lepas siang itu. Sebagai aktor jebolan Bengkel Teater suaranya bertenaga dan agak serak. Sesekali menunduk saat tiba pada penggalan “tak pernah kubayangkan” lalu kembali tegap sewaktu sampai lirik “derita badan, derita jiwa…”. Sontak audiens lain ikut berdendang bersama.
Usai pertunjukan itu para seniman lain diminta udar rasa. Nama acaranya saja reriyungan. Maka tiap orang dikasih waktu bercerita. Dari membahas persinggungan di antara mereka semasa muda hingga merembuk rencana rutin seperti ini. Keakraban itu menunjukkan guyubnya para seniman yang berlatar belakang lintas bidang dan generasi. Walau masa keemasan karya mereka telah lewat, rentang periode 70-an dan 80-an, pertemuan pagi itu sekaligus menegaskan rasa sumeleh.
“Kita datang karena telah sumeleh. Dalam bahasa Islam itu namanya mutmainah. Maka memahami seniman ya dengan keluasan hati. Dan pertemuan ini benar-benar beragam. Tidak ada kaitannya dengan kesamaan agama. Sebab agama adalah pawon dan yang di depan harus berujung pada kelembutan, kebaikan, dan keindahan,” ujar Cak Nun.
Menurutnya, usia tertua yang datang Minggu (21/11) lalu adalah Azwar AN. Disusul Tertib Suratmo, Fajar Suharno, Cicit adik kandung Harya Suraminata (Hasmi komikus Gundala Putra Petir), Sitoresmi Prabuningrat, Simon HT, Jemek Supardi, Marwoto, Eko Winardi, dan lain-lain. “Namun, ada teman-teman yang tidak bisa hadir sekarang tapi ada secara sukma. Pak Bagong, Mas Willy, Mas Iman Budhi Santosa, dan lain sebagainya,” imbuh Cak Nun.
Mbah Ratmo bungah dapat hadir di tengah para seniman. Dia bersyukur mendapatkan rezeki berupa banyak teman. Ketika memberikan testimoni, suaranya berangsur pelan dan beberapa kali tersedu-sedan. Beberapa kali menuturkan kalau rezeki bukan hanya harta. Melainkan ketulusan pertemanan. “Ketemu ini sudah rezeki. Yang sebelumnya saya kangeni sekarang ketemu. Yang sebelumnya tidak sekarang juga berjumpa,” ucap aktor yang juga pembuat wayang karton itu.
Paseduluran tanpa tepi di antara mereka diharapkan jangan berhenti sebatas perjumpaan normatif. Sitoresmi Prabuningrat berharap agar pertemuan itu dapat memunculkan gerakan solidaritas sesama seniman. Menurutnya, pandemi selama dua tahun terakhir berdampak pada asap dapur tak lagi mengepul. Keadaan tersebut membutuhkan partisipasi bersama. Saling tolong-menolong.
“Kalau setahun atau setengah tahun sekali kita ketemu gini kan jadi nutrisi bagi seniman-seniman Yogya. Saya berharap ini menjadi rezeki bareng. Dan saya merasakan apa yang sekarang dihadapi teman-teman seniman. Soal kemiskinan,” terang mantan istri W. S. Rendra itu. Empati Bu Sito, panggilan akrabnya, terpantik karena pernah merasakan kondisi serupa waktu muda.
Esok hari makan apa harus memutuskan menjual barang di rumah. Bu Sito pernah mengecerkan tirai di pasar Beringharjo. Jarak rumahnya di Ketanggungan dengan kawasan Malioboro terasa dekat. “Padahal jauh tapi kan ada semangat dan kebutuhan,” kenangnya pahit. Desakan ekonomi rumah tangga seperti dialaminya akan terasa ringan bila sesama seniman saling menopang.
Produktivitas dan kebanggan terhadap karya bagi seniman acap kali tak diimbangi dengan besarnya permintaan konsumen. Bu Sito berharap sesama seniman hendaknya “saling mengkaryakan” atau setidaknya melarisi lapak kerabatnya. Prioritas tersebut mesti pula disusul dengan penguatan strategi ekonomi. Rencana teknis akan dibicarakan lebih lanjut.
***
Bayu Saptomo, pembawa acara, mengumumkan waktu istirahat. Tepat pukul 12.00 acara dilanjutkan makan siang. Para seniman diminta mengambil soto kudus yang tersedia di tempat duduk Syini Kopi. Kuliner ini langganan Rumah Maiyah. Tiap acara besar kerap menghadirkan kuliner berkuah itu. Rasanya memang jempolan. Mangkuknya pas. Lebih kecil ketimbang mangkuk bermotif ayam jago. Walau berwadah kecil, menggunakan mangkuk porselen Tiongkok, kuahnya kental dan gurih. Soto berikut tambahan berupa tempe mendoan, sate ayam, serta kerupuk adalah perpaduan paripurna. Bikin nagih.
Satu jam tepat acara kembali dimulai. Cak Nun meminta berpindah posisi. Jika sebelumnya duduk membanjar di titik tengah pendopo, kini beliau membaur bersama seniman lain menghadap keroncong KiaiKanjeng. Audiens pun menyesuaikan diri. Deretan kursi sebelah utara pendopo turut dipindah menghadap timur. Kursi itu dipakai sesepuh yang lebih nyaman bersandar daripada bersila lesehan.
Cak Nun menanggapi harapan Bu Sito sebelumnya. Dia sepakat dengan usulan itu. Cak Nun menggadang agar usai acara sesama seniman dapat mengusung karya bersama. Entah berbentuk solidaritas ekonomi, pertunjukan teater, atau memutuskan pertemuan rutin serupa setiap tahunnya. “Saya sebagaimana awal tadi adanya ming seneng karo seneng dengan situasi sumeleh ini. Semoga pertemuan ini ada jejodohan karya. Semoga lahir sesuatu dari pertemuan sekarang,” tuturnya.
Perjodohan karya, menurut pengamatan Ian L. Betts, menunjukkan kekhasan seniman Yogyakarta. Dia memandang kecenderungan “guyub” seperti itu semenjak pertama kali mendarat ke Indonesia di tahun 90-an. Kehadiran Pak Ian pada acara reriyungan lalu memperkaya perspektif luar. “Orang Jawa seniman Yogya itu mewakili the best of Yogya. Kesenian datang dari rakyat. Dan gerakan Maiyah membuktikan itu. Bukan hanya dialog melainkan juga sejarah, seni, dan politik. Menjadi satu pikiran bersama,” katanya.
Pak Ian tak luput mengisahkan rekam jejak Cak Nun dan KiaiKanjeng di dunia internasional. Pagelaran mereka melampaui sekadar hiburan kesenian. Tapi juga resolusi konflik seperti dilakoni di Belanda tahun 2008 karena perseteruan politik setelah tayangnya film Fitna besutan Geert Wilders, pentolan Partij voor de Vrijheid (PVV). Itulah sebabnya, Pak Ian berpendapat kesenian hendaknya berkesadaran sosial. Sedangkan seniman Yogya, katanya lebih lanjut, memiliki kecenderungan kultural seperti itu.
Kendati setiap perjodohan karya pada prosesnya menuai pergesekan, Marwoto — aktor Ketoprak Humor — menilai itu merupakan bumbu penyedap keguyuban. Beliau menceritakan kenangannya bersama Cak Nun dan seniman lain di Yogya era 80-an. Kisahnya itu membuat perut terkocok. “Siapa yang berani ngompas Cak Nun selain Jemek?” tanyanya mengundang tawa seniman lain. Di balik cerita lucu yang tengah disampaikan Pak Marwoto tersibak harapan bersama. “Ngeten Cak,” jelasnya lebih lanjut, “iki kanca-kanca seniman susah-susah lho. Kita harus bikin kegiatan bareng seperti tadi disampaikan Mbak Sito.”
Gaya plesetan, ece-ecean, sampai pembicaraan serius bercampur aduk. Menurut bapak kandung host kondang Yogya Alit Jabang Bayi itu kekhasan tersebut pembeda antara seniman Yogya dengan kota lainnya. “Yogya ini lain dari yang lain. Beda dengan Jakarta yang eneng e kenceng lan serius. Yogya ki gojekan wis biasa,” imbuhnya. Beliau mengharap Cak Nun untuk mengkoordinasi solidaritas itu. Tak ada figur lain kecuali Cak Nun karena sosoknya amat “disungkani” di antara seniman lain.
Aris Eko Nugroho, Paniradya Pati Kaistimewan DIY yang juga mantan Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kebudayaan) DIY, menyimak dan merespons seluruh pembicaraan sebelumnya. Pihaknya berkomitmen mendampingi seniman Yogya urusan distribusi dana keistimewaan guna meningkatkan produktivitas karya mereka. Prosedur teknisnya akan dirembuk lebih lanjut. Setidaknya acara reriyungan itu bisa membuka kerja sama antara pemerintah daerah dan seniman Yogya.