CakNun.com

Requiem Aeternam Yai Muzammil

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit

“Seminggu lalu beliau berlayar ke pulau seberang di Madura, diupload di FB, ternyata tanda pamit beliau ‘berlayar’ beneran,” terang Mas Ahmad Karim di WhatsApp pagi ini kepada saya. Ungkapan “berlayar” sontak mengingatkan kebiasaan saya di media sosial. Manakala berselancar di jagat maya, khususnya Facebook, acap kali status Kiai Muzammil bertengger paling atas.

Mendiang memang cukup rajin membuat konten. Entah berbentuk sapaan, menulis sekelumit pengalaman, opini atas suatu isu, sampai mengaji kitab secara virtual. Ironinya, saya sendiri merasa lebih intens mengikuti jejak digital beliau ketimbang berbincang langsung. Kecuali sesekali bertanya seusai helatan bulanan Mocopat Syafaat perihal suatu ayat yang sebelumnya dinukil.

Dalam penulisan reportase, ketepatan adalah dogma jurnalisme. Malangnya saya lemah mengingat bunyi literal surah tertentu. Meski sudah saya catat sefokus mungkin, nomor surah dan ayat tetap saja meleset dari ingatan. Selain saya tanyakan langsung kepada Mas Helmi, bila sempat mencegat Kiai Muzammil selesai acara, tentu saya konfirmasikan kepada narasumber primer.

Yai Muzammil, begitu saya menyapanya, “Sewaktu kiai bahas majelis ilmu dan takziah itu ayat apa dan bagaimana keterangannya.” Tanpa prolog beliau langsung menukik ke jawaban spesifik. Baru kemudian tafsir atas kutipan tersebut. Saya masih ingat betul bulan November 2020. Mocopat Syafaat membincang tawakal dan kalimat thayyibah.

Kesempatan itu beliau pergunakan untuk memperdalam kedudukan majelis ilmu Maiyah. Menurut beliau, sinau bareng mempunyai derajat amal lebih besar karena bobot keilmuannya. Besarannya seribu kali lipat. Lebih bejibun daripada takziah karena sekadar amal.

“Ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an. Dan kalau di Maiyah, tadi seperti kata beliau (Mbah Nun) katakan tentang produktivitas, maka kita akan ditinggikan derajatnya,” imbuhnya lanjut.

Satu hal yang sangat khas beliau adalah ungkapan penegas di akhir ujaran. Ia kerap memakai “iya kan” sebagai bentuk kalimat tanya maupun afirmasi di penghujung jawaban. Dalam subkajian linguistik kecenderungan demikian disebut pragmatik. Terdapat maksud tertentu di belakang bahasa lisan sang penutur.

“Iya kan” dapat diartikan betapa di belakang maksud tuturan Kiai Muzammil tersembunyi ketegasan sikap, prinsip, dan tekad. Karakteristik tersebut tidak saja ditemukan pada aspek kelisanan, tetapi juga idiosinkrasi tulisan beliau selama ini.

Pada penggalam pertama status Facebook “Ahmad Muzammil” bertanggal 19 Mei 2021 pukul 10.11 pagi beliau menulis: // Ekonomi, itu persoalan utama // Kekuatan ekonomi global Yang serakah tak kenal batas untuk menguasai semua asset ekonomi, itulah persoalan utama //

Status pendek jumlah keseluruhan 104 kata itu menunjukkan kekritisan Kiai Muzammil terhadap wacana determinisme (elite) ekonomi global yang kelak melahirkan problem ketimpangan sosial-ekonomi dan ketergantungan negara kepada oligarki. Perdebatan “furuiyah Islam” pun tak terlepas dari “panggung mereka” — begitu tambahnya.

Kiai Muzammil selanjutnya memungkasi agar diskusi ke depan seyogianya lebih pada kedaulatan dan kemandirian ekonomi. Sebab pelbagai persoalan perbedaaan pemahaman agama di sekelilingnya hanyalah penyerta. Bukan faktor determinan sebagaimana telah disebut Kiai Muzammil di awal. “Tapi ya jangan diskusi saja. Lakukan apa yang bisa kita lakukan,” tutup status itu.

Tulisan delapan hari lalu itu merupakan status terakhir kali Kiai Muzammil. Tanpa disadari mendiang sesungguhnya telah memasuki wacana ekonomi-politik. Suatu topik yang belakangan menjadi diskursus kajian ilmu-ilmu sosial berhalauan kritis.

Pandangan sepintas Kiai Muzammil sudah barang tentu merupakan ungkapan personal. Diperlukan penelaahan lebih lanjut sejauh mana pemikiran beliau mengenai ranah ekonomi-politik. Terlebih bagaimana Islam memandang problem ketidakadilan, kerakusan, eksploitasi, dan seterusnya. Latar belakang pesantren Kiai Muzammil akan sangat kental dalam peninjauan itu.

Hal lain berikutnya yang saya kira penting untuk diteladani adalah Kiai Muzammil adalah individu yang elaboratif terhadap wacana pengetahuan. Pada aras tertentu ia sangat fasih membicarakan kisah cinta Qays dan Laela dalam peradaban Arab Kuno. Sementara di pihak lain, beliau menarik benang merah cerita klasik itu pada tragedi asmara penuh ironi Romeo dan Juliet.

Sepasang kisah pada dua tempat dan waktu yang berbeda tersebut Kiai Muzammil sandingkan dengan “kesetiaan kasih abadi” dalam babad Bangsacara dan Ragapadmi di Madura. Kuburan sejoli itu saling berdampingan dan terletak di Pulau Mandangin.

Uniknya, cerita tentang anjing Ashbabul Kahfi yang tertulis di Al-Qur’an juga mirip dengan riwayat dua anjing bernama Stapluk dan Standuk. Kedua anjing ini milik Ragapadmi dan pusaranya pun berada di sampingnya. Masih berlanjut ke epos serupa, di Madura juga terdapat Potre Koneng yang dikisahkan “hamil” tanpa suami. Riwayatnya serupa dengan Siti Maryam. Bedanya, Potre Koneng “hamil” hamil seusai bersua pemuda tampan dalam mimpi.

Kecakapan lisan memang dikuasai Kiai Muzammil. Ia bisa bertutur satu kisah ke kisah lain dengan menyambungkan kesamaan penokohan, kendati tiap cerita yang dipersandingkan terbentang jarak sejarah, konteks budaya, dan psikologi tokoh. Namun, keterampilan semacam itu dengan mudah beliau utarakan tanpa menimbang kekurangan dan kelebihannya.

Mengelaborasikan sejumlah cerita sukar bagi mereka yang kurang memiliki daya imaginatif. Salah satu prasyarat agar memiliki keterampilan demikian, selain menguasai alur kisah percerita, tentu saja kemampuan benang merah intrinstik. Baru kemudian kompetensi retorik.

Pada Kiai Muzammil itu semua terpenuhi. Saya mengingat betul bagaimana beliau meyakinkan jamaah Maiyah lewat penggalan kisah. Biasanya mendiang izin berdiri, membuka kalimat dengan fragmen cerita, seraya memaksimalkan gestur untuk menegaskan paparan. Kadang kala menyisipkan humor sehingga membuat audiens menimbulkan gergeran.

Kamis, 27 Mei 2021 pukul 02.44 WIB, KH Ahmad Muzammil dipanggil Allah Swt. Beliau berlayar bukan untuk pergi, melainkan kembali kepada Sang Empunya kehidupan. Requiem Aeternam, Yai.

Lainnya

Topik