Representasi Kriminalitas dalam Tiga Buku Cak Nun
Terdapat sebuah adagium klasik yang menyatakan damai tak ubahnya kondisi jeda menunggu perang. Andaikata pepatah ini benar maka ungkapan sejarah manusia adalah rentetan peristiwa konflik barangkali cukup tepat. Apa pun jenis friksinya motif genderang perang niscaya turut menyertai.
Namun, genealogi perseteruan tetap lekat akan masalah kejahatan. Disiplin ilmu yang membicarakan kajian tersebut adalah kriminologi (studi kejahatan). Selain ranah kejahatan, kriminologi sesungguhnya masih bersinggungan dengan wilayah sosiologi dan hukum.
Apa yang membedakan kriminologi dengan hukum dan sosiologi? Distingsinya terletak pada keunikan cakupan yang dibicarakan. Meski sama-sama menginduk pada ilmu sosial, kriminologi lebih dekat dan berkelindan dengan kebenaran, pengadilan, moralitas, maupun etika.
Sementara itu, bagaimana kejahatan termediasi dalam esai? Itu persoalan lain yang hendak diperbincangkan di sini.
Penelitian Anas Ahmadi (2019) bertajuk Cak Nun dan Esai Sastrawinya dalam Perspektif Kriminologi cukup unik. Ia menelusuri bagaimana praktik kriminal dibicarakan dalam esai Cak Nun. Anas hanya mengambil sejumlah esai yang dimuat dalam tiga buku Cak Nun: Slilit Sang Kiai (1991), Arus Bawah (1994), dan Gelandangan di Kampung Sendiri (1995). Ia menilai esai-esai Cak Nun di sana mengandung kadar kriminalitas yang diungkapkan secara sastrawi.
Anas merinci lima bentuk kejahatan yang tertuang dalam karya Cak Nun. Pertama, kejahatan perusakan lingkungan. Kedua, kejahatan manipulasi angket. Ketiga, kejahatan pembunuhan. Keempat, kejahatan prostitusi. Kelima, kejahatan kerah putih. Semua itu merupakan dimensi kejahatan vertikal, yakni mengarah pada pemerintah terhadap rakyatnya.
Kecenderungan pemerintah kepada rakyatnya, seturut dengan argumen Bohm (1982), sebagaimana juga dinukil Anas, menunjukkan betapa sumbangsih kejahatan kaum borjuasi terhadap kaum proletarian lebih dominan. Kendati sekilas terkesan linier, faktor kepemilikan alat produksi menjadi determinan. Relasi hegemonik terjadi manakala salah satu pihak memiliki otoritas penguasaan terhadap lainnya.
Sastra menjadi medium diskursif untuk membentangkan masalah kriminalitas. Dalam kalimat Anas, “Sastra menyuarakan hati nurani yang terbelenggu, kriminalitas yang tak diperbicangkan oleh media, dan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat” (hlm. 11). Selain Cak Nun, Rendra merupakan sastrawan yang giat mewacanakan kriminalitas dalam karya-karyanya. Salah satunya diungkapkan melalui Potret Pembangunan dalam Puisi.
Slilit Sang Kiai
Esai ini begitu ikonis. Menceritakan seorang kiai alim yang tersandung masalah di alam kubur sehingga belum mengantongi tiket masuk surga. Seluruh dosanya diampuni kecuali satu. Ia pernah mengambil potongan kayu kecil untuk mengambil sisa makanan yang menyelip di sela-sela giginya. Nahasnya, peristiwa “remeh” itu justru membawa malapetaka di kemudian hari.
Pada penghujung cerita, Cak Nun memungkasi esainya. “Para santri turut berduka. Kemudian membayangkan alangkah lebih malangnya nasib sang kiai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar kayu gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan” (hlm. 18). Penutup tersebut menunjukkan sebuah ironi kejahatan yang dilakukan seseorang. Jika yang sepele pun bermasalah, bagaimana nasib pembalak hutan?
Anas berpendapat kasus kiai yang terhalang di alam kubur karena problem selilit sama halnya dengan perilaku kriminal pejabat tatkala mengeksploitasi hutan. Terlebih pejabat bersangkutan menebang atas dalih kepemilikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal, apa yang dilakukannya adalah terang-terangan perusakan lingkungan hijau. Perilaku itu disebut sebagai sebuah kejahatan terhadap lingkungan (green criminology).
Tindakan skala massal bila dilakukan pejabat tetaplah terlegitimasi. Itulah sebabnya, Anas memandang bahwa mereka merupakan sosok yang tak tersentuh (untouchable). Mereka bagian inheren dari kaum borjuasi yang memiliki “kuasa dan legalitas” (hlm. 15).
Masih dalam buku yang sama, Anas juga menemukan bentuk kejahatan berupa pemanipulasian angket. Tindakan itu kemudian melahirkan falsifikasi dan fabrikasi penelitian. Sudah barang tentu ia tak dapat dipertanggungjawabkan, baik ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. Cak Nun dalam esainya menyebut “angket mengisahkan kejahatan yang berkait dengan angket” (hlm. 64).
Kejahatan berbingkai dalam angket yang dimaksudkan bukan pada diseminasi hasil akhir. Melainkan proses, cara, atau metode pengisiannya keliru. Kesengajaan itu dilakoni agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan kepentingan “pemain angket” (hlm. 16)—bisa korporasi, kepentingan media, atau pemesanan lembaga tertentu.
Gelandangan di Kampung Sendiri
Buku kumpulan esai ini jamak menyodorkan “kejahatan kerah putih” dalam berbagai konteks. Anas menyebut esai di antaranya berjudul Lingsem, Sunyi Kopra di Pulau Kei, Buruh 1, Buruh 2, Buruh 3, dan Balada Farida dan Mbah Jiwo. Paling menarik, bagi saya, adalah kriminalitas yang dikemukakan Sunyi Kopra di Pulau Kei.
Tulisan itu membentangkan problematika “tegangan poros atas dan poros bawah” yang berangsur menuai ketimpangan. Hal itu terjadi karena pemerintah cenderung menyedot hasil bumi secara serampangan tanpa mempertimbangkan efek sistemik di kemudian hari. Akibatnya, distribusi keadilan tak merata, masyarakat praktik naik pitam.
Ilustrasinya digambarkan gamblang oleh Anas. “Pemerintah pusat bergelimang harta, sedangkan masyarakat di daerah bergelimang kemiskinan. Ironis memang, tetapi faktanya demikian” (hlm. 18). Kejadian di Pulau Kei (Maluku) dinilai persis seperti yang terjadi di Papua. Adanya Freeport menjadi bukti betapa pengerukan total atas sumber daya alam telah berlangsung bertahun-tahun.
Pengerukan Freeport di tanah Papua menuai kecemburuan bagi masyarakat setempat. Mereka bukan bagian dari pihak yang diuntungkan. Terlepas program pilot Corporate Social Responsibility yang digelontorkan, penduduk sekitar tetap mendapatkan getahnya. “…masih saja seperti itu dari dulu sampai sekarang, kelaparan, buta huruf, ringkih, dan belum menikmati hasil kerukan wilayahnya sendiris secara optimal,” tulis Anas (hlm. 18.).
Arus Bawah
Selain dua buku sebelumnya, Arus Bawah agak berbeda. Ia diberi nama “novel-esai” yang riwayat publikasinya pernah bertengger di Harian Berita Buana edisi 28 Januari sampai 31 Maret tahun 1991. Anas memilih bagian Budaya Politik Pra-Wayang dan Monopoli dan Distribusi Wahyu 1500 Dukun sebagai studi kasus yang dianggap mewakili segmen paling kuat yang memunculkan kejahatan.
Pada bab itu Cak Nun membincang warga desa Karang Kedempel. Di tempat itu segala sesuatu harus satu suara atau tunggal. Bahkan urusan tafisr tak boleh heterogen. Penguasa memiliki otoritas untuk mengendalikan, mendisiplinkan, serta menyeragamkan. Gambaran desa Karang Kedempel sebetulnya memperlihatkan otoritarianisme Suharto. Azas tunggal berlaku pada waktu itu. Pegawai Negeri Sipil pun harus memilih partai pendukung pemerintah Golkar.
Anas mempunyai catatan khusus soal ini. Orang mendaftar pegawai negeri waktu itu konon harus menyelipkan kata “saya penganut pohon beringin” bila pihaknya ingin diterima. “Jika tidak demikian, jangan harap bisa tembus PNS. Sungguh luar biasa apa yang disebut dengan kejahatan tunggal. Jika ada yang berbeda, hancurkan, bubarkan, bila peru digilas ataupun glangsing” (hlm. 19).
Penguasa di dusun Karang Kedempel bersifat “adikodrati” atau perwakilan “tangan Tuhan” yang absolut. Maka azas tunggal sudah seperti konstitusi hukum yang tak dapat diganggu gugat. Lebih lanjut, perkara demikian diproyeksikan dalam segmen Monopoli dan Distribusi Wahyu 1500 Dukun. Cak Nun sendiri menggambarkan situasi monopoli yang gamblang sebagai berikut.
“Salah satu bias dari teori Lesan Pembakar adalah anggapan bahwa Raja sebagai wadah pemusatan kekuasaan kosmis pastilah merupakan manusia yang paling sakti. Kekuasaan politik yang digenggamnya adalah manifestasi dari kesaktiannya” (hlm. 137).
Jika ditilik secara kritis, kesaktian yang dimiliki sang raja ditempuh lewat pengerahan sejumlah dukun, selain juga menguasai medan militer, ekonomi, dan politik praktisnya. Segala bentuk penguasaan total semacam itu memperkokoh kedudukan raja di hadapan rakyat. Ia bukan lagi pelayan rakyat, melainkan sebaliknya.
Penelitian Anas cukup meyakinkan dengan interpretasi data sekaligus tetap berpegang pada landasan konseptual mengenai kriminologi. Namun demikian, metode “kriminologi-kualitatif” (hlm. 14) yang dirujuk sebagai bentuk interpretasi induktif kurang konsisten ditempuh. Pasalnya, Anas tak mengikuti alur penarikan simpulan “dari aspek khusus menuju ke umum” sebagaimana ditandaskan pada subbagian metode.
Ketidakajekkan itu menimbulkan kepemahaman (verstehen) atas data dan pembahasan kurang maksimal. Inkonsistensi tersebut dapat berimplikasi pada apa yang dinilai sebagai perilaku kriminal tak berangkat dari data, tetapi struktur berpikir peneliti. Akibatnya, data tak dimaknai apa adanya, sesuai logika literer Cak Nun dalam tulisannya.
Di luar kritik tersebut kajian Anas tetap penting dikemukakan. Apalagi ia membuka lembaran penelitian baru yang jarang dipakai ketika mengulas karya-karya Cak Nun. Khususnya bidang kajian interdisipliner seperti kriminologi, kebahasaan, dan kesastraan.