Rekam Jejak Kajian Seputar Maiyah
Semenjak Januari silam rubrik Akademika kini telah menghasilkan 21 ulasan. Bahan tulisan itu meliputi penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi, maupun artikel ilmiah lepas yang dipublikasikan di jurnal atau buku prosiding. Temanya beragam. Dari membincang Maiyah sebagai gerakan sosio-kultural, telaah karya-karya Cak Nun, resolusi konflik di balik musik KiaiKanjeng, hingga persoalan moderasi beragama, politik identitas, dan Markesot menurut pendidikan konseling.
Dari tema ke pilihan topik penelitian itu memperlihatkan minat para peneliti tentang Maiyah. Mereka berlatar belakang lintas-disiplin keilmuan, yang sebagian besar merupakan jamaah Maiyah. Meskipun jamaah dalam pengertian ini tak sebaku kepemilikan kartu anggota, sebab Maiyah sendiri bukan merupakan kategori organisasi formal. Jamaah Maiyah adalah mereka yang paling tidak bersinggungan langsung melalui simpul ataupun sekadar mengikuti helatan acara secara virtual.
Terlepas motif dan latar belakang peneliti, banyaknya kajian akademik tersebut menunjukkan kecenderungan menempatkan Maiyah sebagai objek. Pemosisian ini dianggap wajar bagi wacana produksi pengetahuan di perguruan tinggi yang berupaya mengejar objektivitas. Hemat saya, di sinilah letak persoalannya.
Menempatkan Maiyah sebagai objek berpretensi membuat jarak. Kendati luaran yang dikehendaki adalah hasil yang objektif, ilmiah, sistematis, dan rasional pretensi semacam ini mengandaikan peneliti berada “di luar” dan objek kajian berposisi “di dalam”. Dalam diskursus metodologi penelitian di Indonesia pola seperti ini telah dianggap sebagai acuan, patron, bahkan kiblat penulisan ilmiah. Corak penelitian yang demikian sangat bias positivisme.
Sebaliknya, para peneliti yang hasil penelitiannya telah diperbincangkan di Akademika hampir tak memperlihatkan sisi “subjektif yang berkesadaran”. Dengan kata lain, Maiyah sebagai topik pembahasan tak perlu dilepaskan dari preferensi peneliti yang pada dasarnya memiliki pertautan erat sebagai jamaah. Kehendak terlibat dari, dalam, dan melalui ini akan menghasilkan kajian yang reflektif sehingga berdampak pada penggalian secara mendalam.
Mitos penelitian yang wajib mengarah pada klaim objektivitas semestinya segera dipertimbangkan ulang. Pada disiplin eksakta kehendak mencapai objektivitas barangkali masih wajar. Sebab unit analisis yang ditelaah bersifat statistik atau sesuatu yang dapat terkuantifikasi. Namun, bila data yang akan ditelaah meliputi fenomena sosial berikut variabel aneka rupa manusia di dalamnya, maka penggunaan metodologi yang bias positivistik praktis terkesan simplifikatif.
Agar persoalan di atas terlihat gamblang, mari kita bandingkan pertanyaan penelitian berikut. Pertanyaan pertama: apakah jamaah Maiyah berbeda dengan jamaah Nahdlatul ‘Ulama, Muhammadiyah, tarekat, atau organisasi masyarakat lain? Adakah penanda normatif yang membedakan jamaah Maiyah dengan komunitas berbasis Islam lain?
Pertanyaan ini mengandaikan suatu konstruksi ideologis yang memosisikan Maiyah pada tipologi tertentu secara tunggal, monolitik, dan distingtif. Dengan kata lain, pertanyaan di atas menjejalkan suatu konsep teoretis tertentu kepada Maiyah. Ia mengabaikan Maiyah sebagai entitas yang dinamis, aktif, serta partisipatif di dalam mendefinisikan dirinya sendiri.
Titik berangkat pertanyaan tersebut alih-alih menjelaskan Maiyah secara mendetail, kenyataan selama proses pembahasan malah justru mengikuti tipologi yang telah ditentukan di awal. Maiyah sekadar dianggap sebagai objek afirmasi ataupun konfirmasi peneliti. Ibarat pemaksaan sepihak, pertanyaan itu tak ubahnya “memperkosa” objek melalui wacana-wacana yang diklaim otoritatif.
Gambaran atas pertanyaan ini sama dengan realitas sosiologis yang didekati dengan pertanyaan ideologis. Maiyah sebagai fenomena sosiologis memiliki unikum masing-masing. Bahkan kalau kita menengok lebih jeli, apa yang disebut sebagai Maiyah akan mengarah pada sejumlah ranah yang antara lain ditandai oleh pengartikulasian sejumlah simpul di berbagai daerah. Mengusung pertanyaan ideologis seperti dikemukakan sebelumnya akan mempersempit dan memiskinkan aneka ragam manusia, peristiwa, dan ekspresi kultural di dalamnya.
Selain artikel ilmiah yang telah diulas di rubrik Akademika, kebanyakan penelitian yang masih berada di arsip masih memperlihatkan corak serupa. Hal ini semata-mata adalah problem metodologis. Kesadaran akan pemilihan metodologi yang tepat akan membawa hasil penelitian secara komprehensif. Walaupun di antara pemilihan metodologi dan hasil penelitian masih terdapat persoalan lain: penguasaan sumber data, kejelian menganalisis, kemampuan abstraksi, generalisasi, elaborasi, dan lain-lain.
Tesis Latief S. Nugraha yang berjudul Strategi, Agen, dan Posisi Emha Ainun Nadjib di Arena Sastra dan Arena Sosial (2015) menarik dipakai sebagai rujukan untuk menggambarkan keterlibatan Cak Nun di dua ranah. Latief memfokuskan pada arena sastra dan arena sosial melalui perspektif Bourdieusian. Strategi rekonvensi yang diperoleh Cak Nun diakumulasikan dan dipertahankan bukan hanya berkat wilayah kesusastraan, melainkan juga gerakan sosial dan politik, meskipun arena sastra merupakan titik pijak permulaannya.
Proses memasuki dua ranah itu secara simultan membuat Cak Nun memperoleh legitimasi dari berbagai pihak, yang atas investasi modal sosial, simbolik, kultural, dan ekonominya tersebut beliau juga berhasil melewati serangkaian trajektori. Pengakuan publik terhadap predikatnya sebagai sastrawan, meski belakangan tak seaktif menulis karya sastra sebagaimana era 70-an dan 80-an, Cak Nun tetap dipandang merupakan bagian dari kategori sastrawan. Ia masuk hulu-hilir ke banyak ranah, mencapai sekaligus memperluas rekognisi, sehingga menurut temuan di atas Cak Nun mampu menyeimbangkan antara prinsip otonom dan heteronom.
Hasil pelacakan Latief atas arsip rekam jejak kehidupan Cak Nun yang multidimensi itu membuat penelitian ini memiliki daya tawar yang relatif otoritatif. Setidaknya penelitian tersebut menguraikan pendulum atas “tonggak-tonggak” tiga zaman yang direpresentasikan oleh nama Emha, Cak Nun, dan Mbah Nun sebagaimana sekarang dikenal luas.
Saya berpendapat hasil penelitian seperti itu sukar diperoleh bila (a) kurang memiliki persinggungan dengan sumber arsip primer, (b) bukan merupakan insider jamaah Maiyah, dan (c) lemah penguasaan konsep teoretis serta topik kajian. Kajian yang dilakukan Latief mampu mengatasi ketiga persoalan itu. Suatu privilise yang dimanfaatkan betul bagi peneliti.
Kerja akademik seperti itu membutuhkan keuletan di atas rata-rata. Namun, di tengah zaman serbamedia seperti sekarang, tatkala sumber informasi berlimpah serta tersedia “tinggal klik” peneliti seharusnya merasa diuntungkan. Setidaknya rubrik Akademika menjadi tolok ukur sejauh mana penelitian tentang Maiyah digambarkan. Walau tak menggambarkan hasil keseluruhan, rubrik ini dapat dipandang sebagai jendela untuk penelitian lebih lanjut.
Puluhan ribu lingkaran Maiyah dihelat semestinya memicu peneliti untuk melakukan kajian yang belum banyak diulas. Di sini pentingnya kebaruan (novelty) yang ditawarkan peneliti. Bukan hanya mengulang rumusan pertanyaan yang serupa sehingga melahirkan hasil yang dapat diprediksi sebelumnya. Kita dapat memulainya dengan masalah sebagaimana telah disinggung sejak awal: metodologi.
Bukankah kehadiran Maiyah juga mencerminkan metodologi dalam memandang sesuatu?
Dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, pendidikan cara berpikir serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.