CakNun.com
Kebon (118 dari 241)

Rajah di Rumah Bu Mussolini

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Gambar oleh Adin (Dok. Progress).

Setelah saya mengalami perkenan Allah untuk hidup sudah melewati batas empat tahun melebihi yang dianugerahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw — sehingga saya merasa malu dan pekewuh kepada beliau — saya meneguhkan secara iman sekaligus sacara ilmu bahwa Iblis, Dajjal, Ya’juj Ma’juj, Setan, Jin, dan kelak Imam Mahdi, turunnya kembali Nabi Isa, dan pamungkasnya Kanjeng Nur Muhammad sendiri, bukanlah isapan jempol Agama. Bukan kabar lalu lalang.

Bukan mitologi sebagaimana kebanyakan orang modern menganggap demikian, di bawah sadar atau atas sadar. Tidak sama sekali. Itu semua benar-benar ada, riil, faktual dan berperan sangat besar di dalam kehidupan ummat manusia. Dan sekali lagi, secara iman maupun ilmu pengetahuan.

Saya tidak perlu “ketemu darat” kasat mata dengan Watkun, Tamrih, Wahhar atau Ruha. Atau Darura Daruni di Alas Roban, Panolih di Pecangaan Jepara, atau Logenjeng tetangganya Gus Mus dan Buto Carigis dekat desanya Pak Zawawi Imron. Sebagaimana saya juga mempersaksikan eksistensi kentut siapa saja tidak dengan mata atau telinga.

Ada orang bisa “kasyiful hijab”, menguak batas dimensi, melihat makhluk gaib. Ada opsi lain: makhluk-makhluk gaib itu semua atau sebagian tidak mau atau tidak berani atau tidak bisa menampakkan dirinya di depan mata jasad atau mata batin manusia. Saya sendiri tergolong orang awam yang tidak ada pada saya kemampuan seperti itu. Saya hanya bisa melihat pohon Keningar, tanpa bisa melihat mbahureksanya. Saya hanya berpapasan dengan manusia, tanpa tampak hati anjing atau babinya. Kadang-kadang seperti tergetar oleh gejolak pikiran Dajjal di akal seseorang, atau rasa api Iblis di hatinya. Tetapi itu hanya prasangka karena wacana. Tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai fakta.

لَّا تُدۡرِكُهُ ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَهُوَ يُدۡرِكُ ٱلۡأَبۡصَٰرَۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”

Meskipun andaikan saya mewiridkan ini sehari 1000X, yang tampak oleh mata saya hanya gambar Garuda, Mal-mal gedung raksasa atau kumpulan tikus-tikus got atau anjing-anjing bergonggongan.

Dari waktu ke waktu cukup banyak orang mendatangi saya untuk mengeluh dan minta saya mencabut potensi kasyafnya. Lelah dan tidak kuat karena melihat hal-hal atau makhluk-makhluk atau penampakan-penampakan yang orang lain tidak melihatnya. Ketemu orang kepalanya anjing atau berwajah babi. Tiba-tiba tahu bahwa anak tetangganya akan mengalami kecelakaan kendaraan. Orang di seberang Kali Gede akan didatangi Malaikat Izrail. Bahkan ada teman di Solo yang berdebat dengan Izrail kenapa belum juga mencabut nyawanya, dan dijawab oleh Izrail: “Kalau engkau Allah, tak mungkin kau perintahkan kepadaku untuk mencabut nyawamu. Kalau engkau bukan Allah, taatlah kepada-Nya bersamaku tentang kapan ketentuan matimu”. Sementara ada yang setelah siuman dari koma beberapa hari melaporkan kesaksiannya bahwa saya menawar kepada Allah dipersaksikan oleh Izrail. Memohon agar tidak mengambil sekarang nyawa Ibu La Tappa Pengasuh Maiyah di Tinambung ini karena besarnya peran dan manfaat keberadaan beliau di lingkungannya.

Paralel dengan adegan di mana Sayidina Umar bin Khattab meminta kepada Nabi Muhammad agar diizinkan membunuh Iblis yang sedang bertamu ke rumah Kanjeng Nabi ketika itu. Kalau bukan Muhammad yang bijak, mungkin jawabannya: “Kamu pikir kamu lebih sakti dibanding Iblis?”. Tetapi beliau hanya tersenyum. Iblis kok dibunuh. Sedangkan ia sudah pegang sertifikat dari Allah berlaku hingga hari kiamat.

قَالَ أَنظِرۡنِيٓ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ

Iblis menjawab: Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.”

Dan Allah “menandatangani” visa untuk Iblis itu. Belum lagi Iblis itu mancolo putro mancolo putri. Iblis itu Panembahan Sulat dan Begawannya segala siluman. Ia bisa tampil sebagai apa saja. Meteriil kasat mata ataupun tidak. Umar tahu tamu itu ternyata Iblis juga karena dikasih tahu oleh Rasulullah saw.

Ada yang 40 hari 40 malam diperintahkan untuk tidak makan. Kemudian 40 hari 40 malam tidak boleh tidur. Dan terakhir 40 hari 40 malam harus membisu. Ternyata yang paling berat adalah yang poso bisu. Setelah 2X40 hari ia lulus, lantas ia bisa melihat kegaiban. Bahkan sesekali bisa melihat nasib atau kejadian yang belum terjadi. Mungkin rumah akan kebakaran. Akan ditipu orang. Akan sakit parah. Akan mati. Atau hal-hal yang menyeramkan lainnya. Tetapi ia terikat oleh janji untuk tidak omong.

Mana mungkin manusia mengetahui itu?

وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Allah menyatakan bahwa hal-hal gaib itu urusan Allah. pernyataan-Nya bukan “Aku tidak mengizinkan manusia mengurusi itu”. Dan karena Allah Maha Merdeka, maka terserah Ia akan mencipratkannya kepada siapapun saja.

Sejak kecil saya menyaksikan banyak sekali cipratan-cipratan semacam itu. Dua orang Pendekar Silat bertanding dengan salah seorang bersenjatakan lesung penumbuk padi, lainnya menjebol pohon besar untuk dijadikan senjatanya. Orang bertempur dalam bayang-bayang kegaiban, sulap, magic, siluman, seperti pertandingan antara Prabu Anglingdharma dengan Patih Batik Madrim: ular melawan harimau, air bah melawan api, atau tiwikrama melawan tiwikrama.

Orang menyantet dan disantet. Orang dihajar massa dan tetap hidup asal masih ada air yang disentuhnya. Atau kebal sekebalnya kecuali melawan sehelai daun kelor. Dua Pendekar bertarung di antara dua bukit. Mereka beterbangan dan berbenturan di udara. Sampai-sampai saya gatal menemukan formula solusi sosial-politik: cocoknya dia disantet saja. Tapi jangan santet yang kejam, menyiksa atau mematikan.

Cukup santet yang lucu-lucu saja. Gatal sekujur tubuhnya. Ada percil berloncatan di perutnya. Ada ular kecil keluar masuk lewat tenggorokan dan lubang hidungnya. Atau sekadar matanya melihat segala sesuatu yang selama ini ia tidak mau atau takut melihat.

Seorang Duta Besar di sebuah negeri selatan tinggal sendirian di rumah dinasnya. Tapi tiap malam istrinya datang, membikinkan minuman, mendampinginya tidur dan berbicara satu dua kata dan kalimat. Padahal istri dan anak-anaknya masih di Jakarta. Setelah beberapa kali mengalami, akhirnya pas kami berkunjung pentas keliling di Australia, KiaiKanjeng diinapkan di rumah Dubes itu. Saya dan Bu Novia bahkan tidur di kamar Dubes tempat istrinya sering datang.

KiaiKanjeng terbiasa dengan posisi dan situasi seperti itu. Jeruk tidak makan jeruk. Hantu tidak menakut-nakuti sesama hantu. Ketika KiaiKanjeng di pasar kota dan berbagai tempat di Roma Italia: pencopet tidak mencopet rombongan Pencopet. Kami dipojokkan agar menetralisir komplek bangunan KBRI dari hantu-hantu. Ini bangunan dulu milik Bu Mussolini. Saya menghindar terus karena saya tidak punya pengetahuan dan kemampuan apa-apa bab hantu. Tapi malam terakhir tidak bisa mengelak. Saya mengajak Islamiyanto, Imam Fatawi, dan Yoyok untuk menyerbu langsung lokasi-lokasi yang katanya banyak hantu dan sangat mengganggu bahkan destruktif.

Kami datang, masuk, dan saya tidak bisa melihat apapun yang gaib. Kata Islamiyanto saya dikeroyok dan kepala saya dipukuli dengan pentung. Saya marah. Saya menjadi Standing Commedian. Saya monolog. Monoplay. Saya pidato sak-cangkem-cangkeme. Bikin statement serius kepada mereka. Saya ingin sekali mereka menampakkan diri di depan saya. Saya ingin bertanding entah dengan cara apa. Saya terpengaruh narasi Markesot: “Ayo, rek, mrenéo, katé kremus-kremusan ndas ta, utowo keplèk-keplèkan ndik tembok….”. Sambil kedua tangan saya menjulur dengan gerakan memanggil mereka.

Kemudian untuk prosedur administratifnya, saya tuliskan “rajah”, Islamiyanto yang bertugas memasangnya di gerbang depan, sejumlah pintu dan pojok gedung. Alat rajah itu saya beli di pasar Khan Khalily Kairo Mesir. Asli peguron Mbah Imam Ghazaly yang merintis Ilmu Rajah.

أَمۡ عِندَهُمُ ٱلۡغَيۡبُ فَهُمۡ يَكۡتُبُونَ

Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya?

Mohon ampun. Tidak. Sama sekali tidak ya Allah. Yang hamba tulis selama ini adalah ketidaktahuan hamba.

Lainnya

Exit mobile version