Rahasia Bumi dan Langit
Omong-omong dengan PM di restorasi Hotel di Gondangdia itu terpotong oleh tamu yang lain. Ia dengan penuh semangat mengajak kami berdua ikut dengannya. Ia seorang Manajer sebuah Hotel di Jl Raden Saleh. Setengah memaksa ia meraih tangan saya dan PM. Kami ke mobilnya dan ia melaju.
“Hanya kepada Cak Nun ini saya tunjukkan”, katanya. Manajer kita ini manusia santun yang pandai sekali membuat seseorang, dalam hal ini saya, merasa seolah-olah dirinya orang penting. Padahal saya tahu itu hanya semacam “ta’ziyah” atau layatan kematian. Ia menghibur saya yang hidup tanpa guna ini dengan menjunjung seolah-olah saya ini berarti.
Sesampainya di Hotelnya, parkir, ke lobi, ambil kunci, kemudian kami ke deretan kamar-kamar di bangunan belakang gedung utama Hotel. Ia membuka sebuah kamar. Selimut di atas kasur ranjangnya belum dilipat. Di atas meja ada dua cangkir bekas minuman dengan lepeknya. Ada juga tergeletak dua koran lama. Sambil mengurut hal-hal yang ia tunjukkan kepada kami, si Manajer bercerita. Menyebut nama.
“Saya ungkapkan ini karena di tangan Cak Nun pasti aman”, katanya sambil menunjuk kursi tempat “memangku”.
Andaikan ketika itu sudah ada smartphone, mungkin naluri saya mendorong untuk memvideokan semua itu. Tapi andaikan saya punya rekaman itu, tidak juga saya bisa apa-apakan. Toh saya tidak punya akun Twitter, Facebook, Instagram atau apapun. Saya sudah menolak “muwashalah medsos” sejak awal sampai hari ini. Memang ada official caknun.com, dikerjakan oleh Markas Maiyah di Kadipiro, tetapi tetap saja lebih banyak wajah atau “tulisan” saya nongol di medsos yang tidak berasal dari Kadipiro. Liar, sop buntut, hasil permalingan, editan adu domba dan macam-macam lagi yang saya menyebutnya “shilatudhdhulmi”: jaringan kedhaliman dan penggelapan.
Tetapi tema yang sama di kamar Hotel Raden Saleh itu seorang dokter dari Makassar bermaksud menitipkan kepada saya selembar foto lelaki memangku wanita, untuk saya simpan sendiri. Tetapi sebelum jumpa saya, ia bertemu dengan seorang tokoh Ketua Majelis, dan foto itu berpindah ke tangan sang tokoh. Besoknya tersebar berita dan foto itu ke berbagai media.
Ini semua saya tuliskan tidak sebagai “ghibah” atau gosip. Melainkan memberikan semacam cermin bahwa kalau saya ini berpolitik, berjuang untuk eksistensi dan karier, dengan orientasi kekuasaan. Maka momentum di Hotel itu akan saya kapitalisasikan sedemikian rupa untuk menghancurkan kredebilitas “lawan politik” saya dan meraih nilai plus untuk saya sendiri.
Saya punya banyak sekali bahan-bahan seperti itu. Yang tidak saya cari-cari, melainkan datang sendiri kepada saya. Tentang istri simpanan seorang tokoh di Kelapa Gading, wanita lain lagi di Gang Pentul Radio Dalam, anak gelapnya di Cilegon. Serta bahan-bahan lain yang dilaporkan, atau tepatnya dikeluhkan kepada saya oleh kakak ipar si Tokoh.
Atau istri-istri simpanan tokoh lain. Perzinahan di tepian Jalan Tol, yang ditangkap polisi tetapi membuat polisi itu menjadi shock dan stres karena sangat terkejut pada hasil tangkapannya. Pengajian yang tertunda 8 jam karena si pemberi pengajian di tengah jalan putar haluan ke Surabaya untuk mendatangi kekasihnya. Tokoh yang dengan beberapa stafnya ke kampung pelosok, menukar seorang gadis dengan motor yang ditinggal untuk orangtuanya. Istri ketiga seorang tokoh lain yang datang mengeluh dan memberikan fotonya bersama suaminya. Serta berbagai macam peristiwa aneh bin ajaib lainnya, yang sampai hari ini saya simpan. Saya tidak perlu membuka rahasia-rahasia itu semua karena toh Allah Maha Mengetahui segala rahasia di langit maupun bumi. Dan Allah pula yang Maha Mengendalikan Nasib semua makhluk-makhluk-Nya.
قَالَ يَٰٓـَٔادَمُ أَنۢبِئۡهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡ
قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
Tapi bagaimana dengan PM? Aman dan terbukti aman juga. PM adalah seorang prajurit sejati. Jiwanya. Meskipun identitasnya sudah desersi. Sekolah militer di Jerman dengan rekan perwira lainnya. Mangalami kecelakaan, sehingga secara prinsip maupun teknis jasad sudah tidak bisa lagi meneruskan fungsinya sebagai prajurit. Ia mau tidak mau harus berhenti. Tetapi temannya tidak, karena kuasa politik sebagai menantu Raja.
PM pakar bom. Di mana saja, di warung atau gardu, asal ada korek api, ia bisa rakit ini itu di sekitarnya dan dijadikan bom. Maka setiap ada peristiwa pemboman di Indonesia, pihak intelijen dan kepolisian langsung mengasosiasikannya ke PM. Padahal ia tidak punya pengalaman sejarah atau latar belakang konstelasi politik dan ideologi apapun yang rasional untuk menggiringnya menjadi seorang teroris.
Peristiwa yang saya kisahkan ini berlangsung pasca Reformasi yang palsu dan digagalkan sejak 20 Mei 1998. Bangsa Indonesia secara keseluruhan tidak punya parameter dan pengetahuan untuk bisa mengetahui yang berlangsung ini palsu atau tidak. Sebagaimana apa yang sebenarnya terjadi pada G.30.S 1965 sampai hari ini ada banyak “madzhab” dalam cara memandangnya. Tidak ada kepastian kebenaran politik Indonesia sampai hari ini. Bahkan hal-hal di tahun 1945 pun, sebagaimana di tulisan-tulisan sebelumnya, tidak ada kepastian dan kesatuan kebenaran tentang itu. Rakyat kita tidak mungkin punya akses informasi tentang itu semua. Mereka hanya bisa ditolong oleh kelas menengahnya, oleh kaum cendekiawan, para peneliti sejarah, yang tidak malas dan punya kepedulian terhadap nasib masa depan bangsanya.
“Fatabayyanu an tushibu qouman bijahalah” yang diwanti-wantikan oleh Allah di Surat Al-Hujurat ini tetap berlangsung sampai sekarang. Kita tidak melakukan “tabayyun”, apalagi sampai level penelitian ilmiah, sehingga bahan-bahan sejarah yang kita produksi sampai hari ini adalah “an tushibu qouman bijahalah”. Menimpakan kepada bangsa kita kebodohan dan pembodohan. Dan belum tiba momentum “fatushbihu ‘ala ma fa’altum nadimin”. Belum tiba saat di mana kita menyesal, karena leher kita sendiri belum tercekik. “Durung kebatek ilate”, kata orang Menturo.