Puncak dari Harapan adalah Keyakinan
Rencana menyelenggarakan kembali Maiyahan Kenduri Cinta sebenarnya sudah digagas beberapa bulan lalu. Penggiat Kenduri Cinta berpikir keras mencari lokasi seaman mungkin. Bukan hanya aman bagi para penggiat, tetapi juga tetangga kanan-kiri. Seperti bulan Maret silam, lokasi yang dipilih tidak berdekatan dengan rumah penduduk.
Awalnya, Kenduri Cinta edisi Juni ini akan digelar di daerah Kampung Makasar, Jakarta Timur dan mengambil waktu malam hari, tetapi situasi terkini di Jakarta berkenaan kenaikan angka positif terjangkit virus Covid-19 naik tajam tidak memungkinkannya. Penggiat Kenduri Cinta kembali berpikir memindahkan lokasi. Akhirnya, lokasi berpindah di Teras Joglo Ageng di bilangan Kemang Jakarta Selatan dan tidak malam hari tetapi siang hari.
Dengan alasan yang sama, publikasi acara dilakukan secara sangat terbatas. Meski demikian, kesungguhan penggiat Kenduri Cinta dalam menyelenggarakan Maiyahan ini sama sekali tidak berkurang. Sejak subuh, sudah ada yang stand by di lokasi acara untuk memastikan persiapan teknis di lapangan.
Yang lebih utama lagi, protokol kesehatan benar-benar diperhatikan oleh mereka. Sejak awal memasuki area lokasi, screening awal dilakukan dengan melakukan cek suhu tubuh, kemudian pendataan untuk kebutuhan tracing. Jamaah yang hadir pun tertib dan selalu taat protokol kesehatan.
Momen Kenduri Cinta di setiap bulan Juni selalu spesial, karena Juni adalah bulan kelahiran Kenduri Cinta. Juni 2021 ini, Kenduri Cinta genap 21 tahun. Juga, Juni punya makna khusus, karena Juni adalah haul Syekh Nursamad Kamba yang pada 20 Juni kemarin tepat satu tahun berpulangnya beliau.
Kesungguhan penggiat Kenduri Cinta dalam mempersiapkan Maiyahan kali ini pun diimbangi Mbah Nun yang berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta PP menggunakan jalur darat. Pilihan jalur transportasi darat dengan mobil pribadi adalah pilihan yang dirasa paling aman. Konsekuensinya, durasi perjalanan lebih panjang Namun, begitulah adanya. Maiyahan Kenduri Cinta dan juga di Simpul Maiyah yang lain sejatinya adalah milik kita bersama. Semua memiliki effort yang tidak ringan. Namun, semua itu kita lakukan demi kebaikan dan kegembiraan bersama, tentunya.
Algoritma Rahmat untuk Pijakan Hidup
Acara dimulai menjelang jam 9 pagi, setelah diawali lantunan wirid dan shalawat, kemudian dibuka dengan sesi mukadimah oleh penggiat Kenduri Cinta. Tak lama kemudian, Mbah Nun bergabung di panggung. “Saya itu seneng ketemu sama Anda semua pagi ini”, Mbah Nun menyapa jamaah yang hadir.
“Anda sama Covid itu di antara Anda sama Covid ada apa saja?”, Mbah Nun melemparkan pertanyaan. Dalam pandangan mainstream saat ini, seolah-olah hanya ada manusia yang tidak berdaya dan berhadapan dengan covid yang sangat berdaya. “Anda kan ber-Tuhan. Anda kan asal-usulnya inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun”, Mbah Nun melanjutkan. Bahkan lebih jauh, sebagai orang Islam memiliki pijakan logic yang jelas melalui laa haula wala quwwata illa billah. Tidak ada kelanjutannya lagi seperti birasulillah, misalnya. Sama sekali tidak. Not even Rasulullah Muhammad Saw. Apalagi malaikat, jin, dan manusia. Tidak ada satu pun yang berdaya kecuali Allah Swt.
Mbah Nun menegaskan bahwa sudah seharusnya kita melibatkan Allah dalam persoalan menghadapi Covid-19 saat ini. Sementara dalam dunia mainstream, tidak demikian. Yang selalu diberitakan hanya sebatas manusia berhadapan dengan covid, mengesampingkan peran Allah itu sendiri.
Di Maiyah, Mbah Nun mengajak jamaah kembali berhitung, kembali menakar diri, kembali melakukan refleksi pada diri sendiri. Karena ada berjuta-juta dimensi dalam kehidupan manusia yang sudah pasti melibatkan Allah. Mbah Nun mencontohkan melalui hal yang sehari-hari kita lakukan, seperti makan misalnya.
Kita sama sekali tidak repot untuk memilah mana yang berupa protein, mana yang berupa vitamin, mana yang berupa kalori dan lain sebagainya. Kita tinggal makan suatu makanan, kemudian tubuh kita mengolah secara otomatis untuk memilahnya di dalam lambung kita. Dan seringkali kita tidak menyadari peran Allah itu dalam kehidupan kita. Dan meskipun berjalan secara otomatis, tidak terjadi mismanajemen sehingga ada yang salah tempat. Ginjal berfungsi sebagaimana mestinya, usus berfungsi sebagaimana seharusnya, begitu juga lambung, liver, jantung, darah dan lain sebagainya. Semua taat kepada sunatullah. Itulah salah satu bentuk Algoritma Rahmat yang ada dalam tubuh manusia.
Mbah Nun menambahkan, karena pada sejatinya manusia itu tidak berdaya sama sekali, pada setiap peristiwa yang dialami, harus kita cari kemungkinannya di antara 4 opsi: diperintah Allah, diizinkan Allah, dibiarkan Allah, atau diadzab Allah. Begitu juga pada saat kita melihat fenomena pandemi Covid-19 ini, harus kita cari presisinya. Apakah Covid-19 ini adalah perintah Allah, apakah atas izin Allah, atau Allah membiarkan adanya Covid-19 ini muncul, atau memang Covid-19 ini adalah adzab Allah untuk manusia? Pada masing-masing lensa sudut pandang itu kita akan mampu menemukan presisi yang lebih detail lagi untuk bagaimana kita menyikapinya.
Jika opsinya adalah diperintah oleh Allah, maka kiita sebagai manusia tidak khawatir sama sekali, karena segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah akan selalu dilengkapi jaminan dan fasilitasnya. Begitu juga jika diizinkan oleh Allah, setidaknya ada klausul bahwa Allah memberi bekal kepada manusia untuk menghadapi peristiwa tersebut. Yang celaka adalah apabila peristiwa yang dihadapi oleh manusia ini memang dibiarkan oleh Allah apalagi sampai pada tahap bahwa itu merupakan adzab Allah.
Mbah Nun mentadabburi surat Al Baqoroh aya 10; fii quluubihim marodhlo fazaadahumullahu marodhlo. Betapa sulit jika kita mengalami seperti yang difirmankan Allah dalam ayat ini. Penyakit yang ada di dalam hati atau diri manusia, justru oleh Allah sendiri ditambahkan penyakitnya. Maka tidak ada daya dan upaya apapun dari manusia untuk berbuat apa-apa pada akhirnya.
Mbah Nun kemudian menjelaskan tiga dimensi langit; harapan, keyakinan, dan kepastian. Posisi kita sebagai manusia berada pada titik langit pertama; harapan. Dengan adanya harapan, manusia memiliki kesempatan untuk tidak berputus asa. Ketika manusia sudah memiliki harapan, maka yang harus dilakukan adalah meyakini. Mbah Nun menjelaskan bahwa pada saat kita berdoa, posisi kita secara dialektis adalah meyakini apa yang kita ucapkan dalam doa bahwa itu akan dikabulkan oleh Allah. Persoalan bagaimana mekanisme Allah untuk mengabulkannya, itu hal yang berbeda tentunya. “Puncak dari harapan adalah meyakini”, Mbah Nun menegaskan.
Yang tidak boleh kita lakukan adalah menapaki langit ketiga; kepastian. Jangan sampai kita sebagai manusia berani-berani memastikan apa yang memang menjadi algoritmanya Allah dalam hidup ini. Jika memang ada klausul maupun ketentuan yang sudah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur`an, maka biarlah itu menjadi hak prerogatif Allah untuk mewujudkannya, bukan hak kita sebagai manusia untuk memastikan itu.
“Jangan sampai kamu melorot dari langit pertama yaitu dari harapan turun ke harapan putus asa, tetapi juga jangan sampai kebablasan hingga langit ketiga yaitu kepastian/memastikan”, Mbah Nun menambahkan.
Terkait pandemi Covid-19 ini, banyak yang mengatakan bahwa Indonesia baru akan memuncaki gelombang pertama dari pandemi ini. Banyak ilmuwan, peneliti, akademisi mengatakan demikian. Sementara, akan ada berapa jumlah gelombangnya merupakan sesuatu yang ghaib bagi kita. Mbah Nun kemudian berkelakar; “Ya kalau cuma dua rakaat seperti sholat subuh masih enak, lha kalau jumlah rakaatnya seperti sholat tarawih?”, kemudian disambut tawa jamaah.
Hidup adalah Untuk Menanam
Hadir dalam Kenduri Cinta kali ini juga Ustadz Noorshofa Thohir, yang Mbah Nun sendiri menyebut bahwa Ustadz Noorshofa seperti Kyai Muzzammil-nya di Kenduri Cinta karena memang latar belakang ilmu pesantrennya cukup kental. Ustadz Noorshofa pada kesempatan ini mengambil hikmah kisah seorang petani dan Raja.
Pada suatu hari, sang Raja berkeliling ke pelosok desa, kemudian bertemu dengan seorang petani yang sudah tua renta. Sang Raja bertanya kepada petani tersebut tentang mengapa ia masih bertani dan menanam, sementara usianya sudah tua dan belum tentu akan merasakan panen dari tumbuhan yang ia tanam. Si Petani tua itu dengan tenang menjawab, “Memang, baginda Raja. Saya sudah tua dan belum tentu akan merasakan panen, tetapi setidaknya saya sudah melakukan berbuat baik dengan menanam benih di ladang ini, Baginda”, jawabnya.
Sang Raja gembira dengan jawaban si petani, dan kemudian memberi hadiah sekantung uang kepada petani. Inilah yang disebut dengan panen sebelum waktunya. Ada algoritme Allah dalam dimensi rezeki berupa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Ustadz Noorshofa menegaskan bahwa tugas manusia memang menanam, terus menanam. Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan oleh Mbah Nun di Maiyah, bahwa menanam adalah tugas manusia sementara panen atau tidak adalah urusan Allah.