Puasamu Itu Lebih Baik Bagimu
Pada sesi akhir penyelesaian thesis S3 di bulan Juli 2012, saya aktif berkomunikasi tic toc dengan pembimbing saya, Jacqueline Cloos. Beliau tidak seperti layaknya seorang supervisor yang lain yang mempunyai strata ‘di atas’ dengan yang disupervisi/dibimbing.
Beliau ini lebih merupakan kawan, sahabat, saudara, bahkan saya sangat dekat dengan keluarganya, dengan bapak ibunya, dengan anak anaknya (tiga anak laki-laki, dua di antaranya adalah kembar). Saya bahkan sering diajak mengunjungi bapak ibunya yang sudah sepuh, dan orang tuanya pun (Pak Tony dan Ibu Yocke) menganggap saya sebagai anaknya.
Setiap pertemuan selalu saya dipeluk-peluknya, dan selalu dibilang, “Iki anakku lanang sing wis gedhe.”’ Dan pasti Ibu Yocke menyediakan salad dengan mozarella kesukaanku. Dan kemudian kita ngobrol di ruangan tengah, lalu pasti Pak Tony mengajak jalan-jalan di sebuah ‘taman’ yang sangat besar, dekat dengan ‘sawah’ dan beberapa kandang kuda.
Bulan Juli adalah tengah-tengahnya musim panas di Eropa, dan saat itu pula pas puasa Ramadhan tiba, di tengah bulan Juli. Bisa dibayangkan panjangnya puasa yang mulai dari jam 3 pagi sampai kira-kira jam 22 waktu buka puasa. Bukan hanya panjangnya waktu puasa di musim panas, akan tetapi panasnya memang nggak kira-kira. Bukan panas yang menyengat, tetapi panas yang ‘sumuk’ yang sangat bisa mengakibatkan orang mengalami dehidrasi.
Banyak penduduk di sekitar saya tinggal, di daerah de Pijp, yang berjemur dengan pakaian yang minimalis dan berguling-guling di taman Sharpati dekat rumah saya. Sementara anak-anak kecil bermain air di pancuran di kolam tengah taman. Berita televisi mengabarkan banyak manula di daerah Uni Soviet dan sekitar Eropa yang meninggal karena dehidrasi (kekurangan cairan). Dahsyatnya musim panas di Eropa!
Lalu bagaimana menyiasati puasa yang begini panjang, tidak hanya waktu, tetapi tantangan alam berupa hawa panas yang melanda. Saya sih kalau begini mending keluar rumah terus pergi ke perpustakaan. Ini saya lakukan baik di musim panas maupun musim dingin. Kalau musim dingin saya ke perpustakaan karena di sana ruangannya lebih hangat dibanding ruang kos saya. Karena memang penghangat di perpus lebih banyak dan besar.
Nah, kalau musim panas saya ke perpus karena ruangannya lebih sejuk. Di samping tentu karena fasilitas pencarian literatur lebih tersedia, jaringan internet lebih kencang. Sambil bekerja, analisis data, mencari literatur pembanding dan kemudian menulis tesis, memang terasa waktu berlalu begitu cepat. Perpus yang tutup jam 21:00 tetapi jam 20:45 semua sudah harus keluar ruangan, dan di luar masih terang benderang layaknya sore hari di sini.
Masih sejam lebih menanti waktu berbuka, biasanya saya habiskan dengan menunggu trem no 16 atau trem 24 menuju rumah, dan turun 2 stop sebelum pemberhentian biasanya. Selebihnya saya jalan kaki sampai rumah. Sampai di rumah pun buka puasa dengan air putih, makan camilan kacang bawang bikinan Mbak Warsih yang saya bawa.
Sementara itu, di tempat lain di Stockholm, Mas Iko dan Mbak Anik, cerita tentang seluk-beluk puasa di musim panas yang mereka lakukan, bagaimana sahurnya tentu juga cerita tentang buka puasa yang mereka siapkan, ada persediaan empek-empek bikinan sendiri, ada bakso dan segala amunisi berbuka ala Indonesia. Saya hanya bisa membayangkan.
Kadang saya membayangkan dan bertanya tanya apakah boleh saya tidak berpuasa?
Atau (ini adalah pertanyaan yang tidak bermutu) apakah saya berpuasa mengikuti panjangnya waktu original saya, dimana panjang puasa ‘hanya’ 14 jam instead of 19 jam? Tetapi saya sedang di Eropa. Tapi pertanyaan itu saya tepis sendiri dengan mengingat waktu puasa adalah mulai dari fajar sampai maghrib.
Lalu saya mencari referensi lain, dan dari seorang kawan saya, saya memperoleh QS. Al-Baqarah 2: Ayat 184: “(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Dari ayat itu saya lalu berpikir barangkali saya masih bisa masuk dalam kategori tersebut. Yaitu ‘dalam perjalanan’. Dengan lugu dan mungkin cari-cari pembenaran, saya melontarkan pertanyaan: bukankah saya sedang dalam perjalanan mencari ilmu?
Bukankah saya sedang berada di negeri orang, yang jaraknya berpuluh ribu km dari nDukuh, kampung saya, sehingga mungkin saya bisa disebut musafir, sehingga boleh tidak berpuasa dengan mengganti puasa di hari lain (dan dilakukan/dibayar di tempat lain, di belahan bumi tempat saya berasal) yang tentu waktu puasanya lebih pendek? Walaupun, masa saya menuntut ilmu di Belanda itu berlangsung dalam waktu lama dan saya tinggal di sana, dan karena itu saya tetaplah seseorang yang statusnya mukim (bukan musafir) sehingga logikanya tidak berlaku keringanan tersebut. Tetapi, itulah yang sempat terbersit di kepala saya yang berisi otak dagang manusia. Tapi saya juga berpikir, lha wong sama Tuhan kok berdagang.
Astaghfirullahal’adzim...!! Sama Tuhan kok ‘etung’ (berhitung) nggak mau rugi.
Padahal Tuhan dalam hal memberi kepada kita tidak pernah pakai etung-etungan, seberapa banyak udara yang sudah kita hirup, seberapa banyak sinar matahari yang sudah kita dapat, seberapa banyak fasilitas-fasilitas yang sudah kita dapatkan dari Tuhan? Lha diperintahkan puasa saja kok masih etung? Padahal urusan puasa ini adalah mutlak milik Allah. Maka kemudian saya (dan banyak teman lain) lebih memilih menjalankannya. Cuma 19 jam tidak makan dan minum apa sih beratnya? Dan firman Allah jelas-jelas menjanjikan:
“Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Sampai detik ini pun saya masih mencari makna “puasamu itu lebih baik bagimu”.
(bersambung)