Puasa Mengajarkan Pengelolaan Jarak
“Hidup ini kan mengelola jarak. Demikian pula puasa,” tutur Cak Nun di Menjelang Senja edisi kelima (29/04). Jarak ini bisa diartikan harfiah maupun simbolis. Seperti halnya jeda dari subuh ke magrib, jarak yang diambil orang berpuasa antara lain jangan mendekati makanan dan minuman. Dimensi paling dasar tersebut lalu dapat diperluas sekaligus diperdalam. Terhadap amarah, nafsu, sampai anasir psikis lainnya.
Cak Nun mengambil contoh khazanah Jawa seputar sri gunung dan sri kembang. Ungkapan sri gunung menyiratkan jarak pandang terhadap sesuatu yang tampak indah dari kejauhan. Sebaliknya, sri kembang menandakan wujud keindahan dari jarak dekat. Keduanya bersifat relatif, sebagaimana pengelolaan jarak cenderung personal.
Pengelolaan jarak ini penting bagi manusia agar tak gampang kagetan dan gumunan. “Jadi, orang harus pandai-pandai mengambil jarak. Puasa harus kita maknai sebagai upaya mengambil jarak,” imbuh Cak Nun. Beliau kemudian membabar cakupan jarak. Ada jarak ruang, jarak waktu, dan jarak budaya. Mas Jijid menambahkan jarak rasa.
Semua wilayah tersebut semata-mata supaya manusia pandai dan tepat dalam mengalami maupun mengambil keputusan. Misalnya, jarak dalam konteks keluarga. Antara anak dan orang tua hendaknya memahami kapan ia dekat atau jauh selama menjalin komunikasi. Hal ini berlaku pula bagi kehidupan bebrayan seseorang.
Terlalu dekat atau terlalu jauh dalam wilayah interaksi sosial semestinya dikelola penuh sadar. Bila pengelolaan tak menjadi pertimbangan, maka menurut Cak Nun, seseorang akan kehilangan kemampuan presisi. Itulah sebabnya, puasa menyediakan momentum pelatihan selapang mungkin.
“Pelajaran dari Nabi Adam penting dilihat kembali. Ketika Adam di surga, peringatan Allah jelas jangan dekat-dekat dengan pohon itu,” terang Cak Nun. Bahwa peringatan Tuhan tak diindahkan, lalu berakibat turunnya Adam ke bumi, menurut Cak Nun itu sebuah konsekuensi atas perbuatan.
Multimanfaat berpuasa begitu kaya. Seperti kerap disinggung Cak Nun, puasa mengelola wadak dan rohani; lantip membedakan lapar dan kelaparan, kenyang dan kekenyangan. Jarak di antara itu dimungkinkan ketika “sensor roso” diaktifkan: apakah ini terlalu dekat atau malah begitu jauh.
Islam memandang ketepatan dalam pengertian saleh. “Saleh ini merupakan segala sesuatu yang kompatibel dengan keselamatan masa depan dan keabadian,” wedar Cak Nun.
Menurutnya, disharmoni sosial terjadi ketika sekelompok orang tak mengejawantahkan nilai kesalehan. Nilai ini sama dengan ketepatan mengambil jarak, sehingga seyogianya saleh bertujuan untuk mengharmoniskan dan menyelamatkan.
“Ada juga rumus dari Allah bahwa kebaikan seseorang akan menutupinya dari kemudharatannya. Jumlah kesalehan manusia itu bisa ‘mengkafirkan’ (menutupi) keburukan seseorang. Allah menutupi segala keburukan-keburukan manusia karena kebaikannya,” ujar Cak Nun sembari memberikan ilustrasi.
Sore itu Cak Nun mendaftar sejumlah istilah yang acap dipersejajarkan meski memiliki perbedaan muatan makna. Sebagai contoh, bedanya pelit dan hemat; keras kepala dan istikamah; serta legowo dan penakut. “Jarak antara kata satu dengan yang lainnya itu sangat tipis,” tambahnya.
Tiap kata selalu menautkan jarak budaya. Pelbagai bentuk perbedaan makna yang disebutkan Cak Nun sebelumnya mengandaikan pentingnya pemahaman konteks. Jika seseorang sudah terlanjur terjebak pada ketakseimbangan memahami sesuatu, obat hati atau tibbil qulub akan memberikan penerang.
“Dan itu bisa kita pelajari dari mana-mana. Dari tasawuf, hikmah orang tua, dan macam-macam. Yang disebut obat hati itu kan obat dari ketidakseimbangan, obat dari kebanteren (terlalu cepat), obat dari kealonen (terlalu pelan). Supaya kita berlaku tepat dalam hidup maka dibutuhkan presisi. Islam sesungguhnya presisi itu sendiri,” tegas Cak Nun.
Menjelang Senja kali ini Cak Nun mengajak audiens belajar kepada kemurnian mengambil jarak. “Sebetulnya ini kembali ke kesejatian. Makanya puncak berpuasa nanti adalah Idul Fitri. Semoga Ramadhan ini kelak kita bisa memfitrikan diri,” pungkasnya.