Puasa, antara Peristiwa Iman dan Ilmu
Menjelang hari pertama awal puasa Ramadlan beredar di media sosial video Mbah Nun yang menjelaskan argumentasi bagaimana kita menyambut datangnya bulan Ramadlan. Video itu tampaknya diambil dari acara Kenduri Cinta beberapa tahun yang lalu.
Inti dari argumentasi yang disampaikan Mbah Nun adalah tidak ada manusia yang suka berpuasa. Aslinya ya nggrundel dalam hati: enak-enak bisa nyruput kopi di pagi hari, kenikmatan itu ditunda beberapa jam hingga waktu maghrib tiba.
Aslinya, kalau mau jujur, kita menjalani puasa bulan Ramadlan dengan sikap terpaksa. Kalau diberi pilihan atau tidak diwajibkan puasa kita akan memilih tidak puasa. Ini manusiawi karena naluri (al-gharizah) dan hawa nafsu setiap manusia adalah suka makan dan gemar kuliner.
Jadi, mari bersikap jujur dengan keterpaksaan ini. Namun, keterpaksaan itu tidak lantas membuat kita mbalelo terhadap perintah Tuhan. Berhubung yang memerintahkan kita puasa adalah Allah, kita manut, tunduk menjalaninya. Dengan sikap iman dan ilmu keterpaksaan diolah menjadi keikhlasan. Di sanalah terbit cahaya kemuliaan.
Pada konteks ini puasa adalah peristiwa iman yang dijalani secara total. Yang dipanggil Allah adalah orang yang beriman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Siapakah orang beriman itu? Adalah siapapun yang pasrah sumeleh (taslim) menerima syariat Tuhan lalu mengikatkan diri dalam komitmen dan kesungguhan menjalani perintah. Walaupun terdapat gradasi kesadaran, mozaik sikap mental dan maqamat ruang nilai antara muslim dan mukmin, kita tidak hendak berdebat tentang keduanya. Kendati, kita juga bisa bertanya, misalnya, mengapa di Al-Qur’an tidak ada panggilan: Yaa ayyuhal ladziina aslamuu, wahai orang-orang muslim.
Siapakah yang menampung dan siapakah yang ditampung? Mukmin meruangi muslim ataukah muslim menampung mukmin? Pada sisi apa keduanya bertemu dalam irisan yang bersinggungan?
Pertanyaan tersebut monggo ditadabburi, minimal direnung-renungkan sesaat setelah buka puasa sambil menikmati segelas kopi. Akurasi dan ketepatan jawabannya akan mempengaruhi peta kesadaran untuk apa kita berpuasa. Puasa Ramadlan dijalani dengan kesadaran sebagai manusia mukmin atau manusia muslim?
Pertanyaan itu tidak menyertakan kenyataan bahwa sikap mental manusia pasar dan manusia politik kerap mendominasi sikap kita menyambut datangnya bulan Ramadlan. Karena, faktanya, metode puasa tidak berlaku dalam alam berpikir manusia pasar dan manusia politik. Keduanya tidak mengenal imsak, alias los gas pol merakusi dunia dan kekuasaan.
Kalau kita harus menyebut pamrih puasa, satu-satunya yang berhak menentukan hanya Allah. Yang lain tidak. Kita ikuti saja dhawuh Allah yang menyatakan la’allakum tattaquun, semoga kamu bertakwa. Supaya kita dapat kepastian perlindungan dari-Nya, perlindungan pada dimensi vertikal dan horizontal.
Bagi manusia pasar dan manusia politik, puasa bulan Ramadlan bukan peristiwa iman dan ilmu, melainkan peristiwa ekonomi dan peristiwa kekuasaan.
Kita mengerti betapa kacau argumentasi berpikir manusia modern memahami laku puasa. Mereka sembunyi di balik eksklusivisme ubudiyah. Marhaban ya Ramadlan tidak diucapkan sebagai sikap keimanan yang autentik, melainkan diluncurkan sebagai tagline untuk meraih simpati potensi pasar. Akibatnya, anggaran belanja selama bulan Ramadlan meningkat pesat.
Rasulullah menyatakan: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dua kalimat, iimaanan dan ihtisaaban, tidak jauh pemaknaannya dari peristiwa iman dan ilmu. Iimaanan adalah peristiwa iman, patuh tanpa reserve menjalani perintah-Nya, betapa pun awalnya adalah keterpaksaan.
Ihtisaaban adalah upaya menghitung (muhasabah) yang dilandasi ilmu agar yang dikerjakan selama bulan Ramadlan dan tentu saja pasca Ramadlan memiliki akurasi dan ketepatan mata pandang membidik ridlo Allah.
Jagalan Jombang, 17 April 2021