Presiden Wajib Memulasara Rakyatnya
Jenazah guru saya Umbu Landu Paranggi terbengkalai beberapa hari di Rumah Sakit karena belum ada keputusan di antara beberapa konsep, kemauan, dan kepentingan, meskipun sama-sama baik.
Hati saya berkata, “Mbok jenazah beliau jangan dipulasara. Jangan disiksa. Jangan disiksa. Jangan dipilara. Jangan disakiti. Beliau berhak untuk sesegera mungkin diistirahkan di wilayah muthmainnahnya Allah. Apalagi riwayat keikhlasan beliau selama hidupnya sebagai manusia murni yang saya tahu luar biasa dan jauh melebihi saya sendiri”.
Tetapi tadi malam saya tiba-tiba menyadari bahwa jenazah beliau memang sedang dipulasara atau diakomodasi oleh proses pemulasaraan. Dalam bahasa Sunda pemulasaraan berarti perawatan, pemeliharaan atau bahasa Jawanya ngopèni.
Sungguh saya tertinggal jauh oleh arus zaman. Di setiap Rumah Sakit memang ada Ruang Pemulasaraan, dan itu bahasa resmi untuk menyebut tempat di mana jenazah dirawat sampai proses pemakamannya. Saya saja yang ketinggalan zaman.
Semula saya pikir kata-katanya adalah Pemusaran. Asal katanya Pusara. Berarti yang dimaksud oleh Rumah Sakit adalah memproses jenazah sampai ke Pusaranya. Ternyata saya salah. Memang benar Pemulasaraan. Asal katanya Mulasara. Dalam Bahasa Sunda berarti perawatan atau maintenance.
Ternyata memang kewajiban setiap manusia adalah memulasara (entah pakai “kan” atau tidak) sesama manusia. Kewajiban Rumah Sakit sebagai institusi kesehatan adalah memulasara setiap pasien. Kewajiban Presiden adalah memulasara rakyatnya. Sebab Allah sendiri adalah Yang Maha Memulasara. Bahasa Arabnya Al-Hafidh, atau terkadang Al-Muhaimin.
Saya salah didik. Sejak kecil saya tahunya mulasara berarti menyiksa atau menyakiti. Ternyata itu bahasa Jawa, yang mengadopsi bahasa Sansekerta. Sedangkan dalam Bahasa Sunda, mulasara artinya maintenance, memelihara atau merawat. Dan KBBI merekrut kata itu dari Bahasa Sunda. Kalau Presidennya orang Sunda tidak ada masalah. Tapi kalau Presidennya orang Jawa, bisa-bisa dia mengalami kerancuan bahkan pembalikan pengertian. Sehingga tanpa sengaja niat dan konsepnya sebagai Presiden adalah mulasara dalam pemaknaan Sunda (merawat), tetapi bawah sadarnya mendorong pemulasaraan (penyiksaan) dalam pengertian Jawa.
Alhasil tadi malam saya mendapat pencerahan bahwa kewajiban Presiden memang adalah memulasara rakyatnya. Di dalam proses bernegara dan menyaksikan dunia politik, saya tinggal melakukan meaning switching. Kalau saya sedih karena Pemerintah menyakiti atau menyiksa rakyat, saya tinggal melangkah ke pemahaman Sunda, bahwa Presiden sebenarnya sedang merawat dan memelihara rakyatnya.
Kalau “aktivisme” atau “progresivitas” saya sedang kambuh, setiap tindakan Presiden saya switch ke Bahasa Jawa: Pemerintah memang sukanya menyiksa rakyatnya. Bahkan dalam sejumlah hal yang menyangkut keputusan Presiden atau tindakan Pemerintah, bisa kita perdebatkan di Medsos. Yang satu bilang itu merawat, lainnya bilang menyiksa. Yang satu yakin itu memelihara dan menyayangi, lainnya bersikeras itu menyiksa dan menyakiti.
Adapun apakah keputusan KBBI untuk merekrut pemahaman dari Bahasa Sunda tanpa peduli pada paradoksnya dengan pengertian Bahasa Jawa, saya tidak perlu berkomentar atau berpendapat apa-apa. Kan mustahil KBBI kok salah. Apalagi kita sudah punya landasan dari Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Apa yang saya tulis ini ibaratnya adalah “Aku Indonesia” sedang bercermin menatap wajahnya sendiri. Beserta guratan-guratan bahagia tapi juga duka derita di kulitnya. Sumringah bercahaya tapi juga kerut merut kelelahan sejarah. Derasnya aliran darah kehidupan yang membayang di balik kulit tuanya. Serta mungkin bercak-bercak kecil cahaya yang memunculkan harapan di antara hamparan kegelapan, keprihatinan, penyesalan, kutukan atas diri sendiri, rasa pahit ketidakputusasaan atas apapun yang merupakan ketentuan dari Tuhan.
Kisah-kisah “Kebon” yang awam, sederhana, konyol, sesekali lucu, mengharukan, mungkin juga remeh temeh dari hidup saya bersama teman-teman yang tidak terbukti punya arti, peran sejarah yang terbengkalai, yang mungkin juga kelak di Yaumiddin kami menerima “Raport” penuh angka paling tinggi 5+, bahkan mungkin banyak yang 5- atau malahan 3 atau 2, persis Raport SMA Muhi saya 51 tahun silam.
Tahun 1969-1971 saya berjalan kaki ke Sekolahan SMA Muhammadiyah I di Ketanggungan dari Kadipaten, ketemu dengan Mahfudh dan Edy Winarto di Notoprajan untuk melanjutkan ke Muhi, memakai celana coklat Pramuka yang dapat di loakan Beringharjo: celana yang sering diejek oleh teman-teman karena warnanya tidak persis seperti yang dimaksudkan oleh aturan Sekolahan. Ditambah saya tidak pernah punya sepatu, hanya sepatu sandal, dan diejek oleh putrinya dr Hardjo tetangganya Pakde Nuri.
Sampai di Sekolah pas nanti ada ulangan pelajaran Kimia Organik dan Anorganik Pak Mursyidi bapaknya Dalipin yang sekarang memimpin CNN Indonesia, juga Goniometri Pak Mas’ud, dan yang mengerikan ulangan Stereometri Pak Samino karena beliau adalah juga seorang pendekar silat. Saya menemukan teman-teman menggerombol latihan dan simulasi mengerjakan soal-soal pelik itu. Bagi saya itu semua adalah alam ghaib, dan saya kagum betapa pinternya Djafnan yang sekarang Prof Dr Nuklir, Dalilah yang berasal dari keluarga sakinah Pekalongan, termasuk Edy Winarto anak Genteng Banyuwangi, yang sehari-hari hampir selalu bersama saya tapi kok dia pinter dan saya buntu bundhel sehingga nilai ulangan saya nanti antara 2 sd 5, sementara Edy dapat 8 atau 9.
Begitu kok saya lulus SMA. Pasti ada penyelewengan politik. Pak Mas’ud Goniometri usul kepada Pak Soegiharso Kepsek Muhi agar Ainun itu diluluskan saja supaya aman dan tidak perlu menambah satu tahun ribut terus dengan dia. Pak Mas’ud kebetulan satu kos dengan saya, Cak Fuad, Cak Mif, Nasrul dan Adil adik saya di Kadipaten Lor 17. Jadi Mas’ud lebih mengenal saya dibanding semua Guru lainnya. Pak Mas’ud sama melaratnya dengan kami kakak beradik. Sejumlah siswi Muhi yang hasil ulangannya dibikin jelek, dimanipulasi oleh Pak Mas’ud diwajibkan kursus di tempat kost kami. Lathifah Hanum Kauman yang kelak menjadi Bu Nurdin datang ke Kadipaten 17, terus Pak Mas’ud acting nggaya. Di tengah mengkursus Pak Mas’ud berteriak memanggil Iftahul Munir adiknya: “Iiiiiip, tolong lihat rebusan telornya sudah matang atau belum?”. Malah yang menjawab adalah Cak Tholib senior kami yang asalnya sedesa denga Cak Nurcholish Madjid di Bareng Jombang, dengan bahasa Jombang: “nDog taèk ta Ud. Dapuramu ae kok mangan endog barang”.
Jadi Pak Mas’ud sudah cukup susah di tempat kost, jangan tambah lagi di Sekolahan berurusan dengan saya. Sebab saya selalu ngèyèl. Celana coklat Pramuka saya dipersalahkan, rambut saya tidak boleh menyentuh telinga, ditambah saya bisa bolos sampai hampir 40 hari gara-gara tiap malam begadang di Sekolah Malam Malioboro dengan Kepsek Umbu Landu Paranggi, yang tidak saya sangka kelak wafatnya beliau melahirkan pencerahan kepada saya tentang makna pulasara.
Kami semua para siswa yang dianggap bersalah macam-macam jenis kesalahannya, dikumpulkan oleh Guru Bimbingan, Pak Yudhiono dan Pak Kastolani. Kami didukani habis-habisan. Rambut saya di kepala sebelah kanan digunting, sepatu sandal saya dituding-tuding. Saya membantah, dan mendebat balik dengan mendaftari kesalahan-kesalahan Sekolah dan Guru-guru. Saya menuntut agar hukuman juga ditimpakan kepada Guru yang terlambat masuk kelas, dan minta agar Guru juga diwajibkan pakai seragam. Teman-teman bertepuk tangan riuh rendah, Pak Kastolani mendatangi saya, menepuk-nepuk bahu saya, Pak Yud pidato panjang lebar dengan wajah dan mata yang 90% menatap ke langit-langit kelas.
Bersekolah itu ternyata belajar bernegara, meskipun ada juga dimensi belajar beragama, belajar bergaul, bebrayan, silaturahmi dan sosialisasi. Malah kemudian saya menjadi Ketua OSIS, mungkin karena konstituen saya meningkat gara-gara mengoposisi banyak hal kepada otoritas Sekolah dan Guru-guru. Rambut saya yang dipotong sebelah kanan, sampai rumah saya ke tukang cukur untuk minta potong rambut saya yang sebelah kiri, persis kadarnya dengan yang kanan. Sampai Sekolah besoknya ditegur lagi kok masih gondrong. Saya jawab “Kan kemarin sudah dihukum dengan rambut saya dipotong”. Karena yang dipotong oleh Guru rambut sebelah kanan kepala saya, maka lantas saya harmoniskan ke tukang cukur dengan memotong yang sebelah kiri.
Saya calon Ketua OSIS pada posisi independen. Jafnan Tsan Affandy diusung oleh Pelajar Islam Indonesia, Busyro Muqoddas diusung oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Karena peroleh suara sangat jauh, saya 260-an, Busyro dan Jafnan sekitar 80-90an, maka Jafnan menjadi Ketua-I dan Busyro Sekretaris Umum.
Saya ditakdirkan oleh Tuhan menjadi anak yang tekun dan rajin. Agenda-agenda OSIS saya laksanakan maksimal, termasuk mengirim peserta Pekan Olah Raga IPM DIY. Tapi kesibukan lomba itu membuat anak-anak banyak yang sering tidak masuk kelas. Saya yang ditegur dan dimarahi oleh otoritas Sekolah. Karena banyak aktivitas OSIS yang berbenturan dengan disiplin belajar dan saya yang harus menjadi kambing hitam, maka pada suatu siang sesudah jam pelajaran terakhir, saya menghadap Pak Sugiharso, saya menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua OSIS, sambil saya robek-robek buku khusus catatan kegiatan OSIS.
Mungkin peristiwa itu lantas saya anggap sebagai petunjuk Tuhan yang mambuat saya tidak pernah menempuh karier politis, administratif atau yang padat-padat struktural. Sampai setua ini saya cair-cair saja dan menyerupai hantu di dalam peta Indonesia, sehingga sejumlah orang di bawah sadarnya menyangka saya bergaul akrab dengan para hantu.
Sebagai hantu saya merasa dipulasara di media online, disop-buntut, dimanipulasi, dieksploitasi, diadudomba. Tapi mungkin sebenarnya yang para maling itu maksudkan adalah pemulasaraan dalam pengertian Bahasa Sunda. Kalau aku melemparkan kejahatan kepadamu, kenapa kau pikir Allah tidak sanggup mengubah kejahatanku menjadi berkah bagimu. Bagaimana caramu tahu bahwa karena melempar kejahatan kepadamu, sebenarnya aku sudah menerima balasan Allah. Entah dalam kehidupan keluargaku, urusan kerjaku, peta sosialku atau di kedalaman psikisku. Bahkan Allah menganugerahkan rizqi kepada siapapun saja tanpa hisab, tanpa kalkulasi sebagaimana yang berlangsung di otak dan intelektualitas manusia.
وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ
“Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Jadi kau dan siapapun saja jangan pernah khawatir atas perbuatan buruk yang menyiksamu dan tindakan jahatku yang menyakitimu. Allah sanggup mengubahnya mendadak atau dengan proses dari pemahaman Jawa menjadi pemahaman Sunda.Sangat jelas pernyataan Allah: Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.