CakNun.com

Praktikum Kecil Legowo

Amin Ungsaka
Waktu baca ± 4 menit
Mocopat Syafaat Agustus 2019. Foto: Adin (Dok. Progress).

Rahmat Allah berupa mengalirnya tulisan-tulisan Mbah Nun pada seri KEBON sungguh saya syukuri hadirnya. Ibaratnya, setiap bangun pagi, saya disuguhi makanan menyehatkan penuh gizi untuk keseimbangan berpikir.

Selain itu, saya dapat belajar ilmu tua sebelum usia beranjak tua dari sejarah perjalanan hidup Mbah Nun. Harapannya ketika kelak usia saya sudah beranjak tua, ilmu dan pengalaman hidup saya sudah siap berjalan beriringan dengan usia tua saya.

Pada rasa syukur atas rahmat itu, ibarat pendekar silat, setelah membaca jejak kehidupan Mbah Nun, setelah itu oleh Allah saya diajak menemukan konteksnya, belajar mempraktikkan sendiri pada kehidupan sehari-hari: melatih kekuatan otot mental dan sendi pemahaman, belajar kuda-kuda keseimbangan dari hikmah dan nilai pengalaman sejarah hidup Mbah Nun.

Kelak ketika tiba waktunya, saya berharap dapat mempraktikkan dengan luwes dan tepat gerak jurus itu, sesuai gerak jurus yang telah Mbah Nun tuliskan pada seri KEBON setiap hari di caknun.com. Walaupun tidak harus menguasai semua jurus kehidupan, satu jurus sudah lumayan — yang penting digali dan dilatihkan terus-menerus sampai menguasai.

Latihan kecil gerak itu berawal dari suatu siang ketika rekan kerja saya yang sama-sama menjadi penjaga warkop terkena razia oleh Satgas Covid 19 karena kedapatan tak memakai masker.

Rekan saya dikepung. Dengan nada tegang dia ditanya KTP-nya dan alasan kenapa tak memakai masker. Rekan saya yang tiba-tiba gugup karena tak siap mental atas kedatangan rombongan Satgas itu hanya menjawab, bahwa dia tak punya KTP. Lantas oleh Satgas disuruh mengambil Kartu Keluarga untuk pengganti. Tanpa berpikir panjang, berlarilah dia mengambil KK.

Mungkin karena dia salah dan mencari aman dari sanksi yang menantinya, maka kesempatan mengambil KK itu dijadikan alibi untuk kabur diri. Dia lama sekali tak kunjung kembali, walaupun lokasi rumahnya juga lumayan jauh dari warkop jika ditempuh dengan jalan kaki.

Karena lama tak kembali Satgas itu sedikit emosi dan merujuk pada warkop yang kami jaga. Interogasi berganti pada saya dan rekan yang lain, yang kebetulan ada di situ. Saya ditanyai KTP, saya keluarkan dan serahkan pada Satgas. KTP itu dipegang erat sambil bertanya: kenapa saya kok gak mengingat rekan yang tak memakai masker itu?

Kondisi semakin tegang ketika identitas saya ditulis pada form surat pelanggaran Covid 19 berdasar KTP saya. Wah saya ndak terima dong. Karena saya merasa tak bersalah karena memang waktu itu memakai masker. Saya bertanya kenapa saya dinyatakan melanggar protokol Kesehatan Covid, dengan dasar saya tak mengingatkan rekan yang tak memakai masker. Salah satu Satgas yang berang karena kengeyelan saya, hampir mencabut Wifi Device warkop sebagai jaminan atas pelanggaran itu.

Pada situasi itu, saya ingat tulisan Mbah Nun pada salah satu seri KEBON bahwa Tidak ada kuasa atau kemampuan dan kekuatan, kecuali yang bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Karena kalau manusia mengandalkan dirinya sendiri, yang faktual padanya hanya kerendahan dan kekerdilan. Maka dalam hati saya sambat kepada Allah, memohon pertolongan dan jalan keluar.

Bersamaan dengan itu mulut saya tertentu mengatakan bahwa tak setiap saat saya ingat bahwa memakai masker itu penting. Apalagi harus mengingatkan rekan saya yang tak memakainya. Ketidakingatan itu karena fokus saya mungkin pada pekerjaan, sehingga kewajiban memakai masker tak lagi diingat.

“Maka ketika bapak menyalahkan saya, dengan alasan tak mengingatkan rekan saya yang tak memakai masker, itu bukan keputusan yang benar. Harus ada kelegowoan hati untuk bersedia mendengarkan alasan saya, kenapa kok tak mengingatkan rekan yang melanggar itu. Hukuman baru berlaku ketika saya yang telah diingatkan melanggar, baru bisa dihukumi melanggar. Apalagi jika dengan sengaja saya tak membawa masker dan menentang ketentuan protokol kesehatan, sangat pantas kiranya dihukum dan dinyatakan sebagai pelanggar,” saya mencoba menjelaskan kepada Komandan Satgas.

Komandan itu tampaknya legowo atas penjelasan saya, maka penjelasan itu diterima dan KTP saya tak jadi disita, Wifi Device tak jadi dibawa, dan rekan saya selamat dari pencarian Satgas karena peralihan isu yang dikondisikan oleh Allah.

Warkop kembali kondusif, saya bersyukur kepada Allah karena diberi kekuatan mental dan kemampuan berargumentasi menjawab pertanyaan itu, yang tak pernah saya rancang sebelumnya.

Tak lama berselang beberapa lama rekan saya datang cengegesan, menganggap semua yang sudah terjadi itu hanya lelucon. Terlepas dari bahwa dunia hanya senda gurau, tapi kita kan memang harus serius menyikapi senda gurau itu supaya kita tidak disendaguraukan dunia.

Karena kesalahannya, saya dan rekan yang lain kena batunya. Kami yang bertanggung jawab atas dirinya yang melakukan kesalahan — lha kok dia datang cengegesan seperti tak pernah merasa bersalah sedikit pun.

Sikap itu yang membuat rekan yang lain membentak, “Kon iku yokopo seh. Kon seng salah, kene seng tanggung jawab disentaki Satgas. Koen nang endi ae ket mau?” Karena dalam keadaan warkop sudah kembali normal, dia datang seperti menertawakan perjuangan kami membela dirinya yang salah.

Seperti digambarkan Mbah Nun, rekan yang salah itu mengalami ketidaksanggupan untuk bersikap jujur atau berjiwa ikhlas. Sebab kejujuran hati dan kejernihan pikiran tidak berdiri sendiri. Ia butuh landasan atau wadah. Mengakui fakta bahwa tetangga sebelah rumah kita lebih kaya saja butuh tenaga batin dan kekuatan mental.

Mengakui dan mengikhlasi teman kita sendiri, atau siapapun yang bukan kita, yang bertanggung jawab memperjuangkan dirinya, atau menerima perlakuan dari ketidaksanggupan teman bersikap jujur juga memerlukan mental yang kokoh. Tidak mudah bagi manusia untuk di dalam dirinya mencatat bahwa “dia benar, saya salah. Dia salah, saya terima”.

Kemudian kami menyadari bahwa butuh kondisi hati legowo supaya keadaan kembali cair, tensi menurun, menyadari bahwa apa yang diperjuangkan tak selamanya harus dihargai bahkan diakui. Sehingga nyegoro-lah kita untuk mengemballikan semua hal itu kepada Allah, yang umpan baliknya adalah ketenangan dan ketenteraman karena sikap legowo yang kita tegakkan.

Kata Mbah Nun, “iri dengki hasad hasut adalah kutub berseberangan dari energi Ilahi yang menghasilkan legowo dan ikhlas. Kalau saya dan kita hanyalah saya dan kita, tanpa Allah di dalam jiwa kita, tanpa energi Ilahi di kandungan batin kita — tak kan kuat kita mengambil langkah legowo dan ikhlas.”

Perlahan rekan saya yang sebelumnya selalu ngeyel merasa tak pernah melakukan kesalahan (memilih minggat sementara waktu dari warkop itu) mulai menyadari kesalahan dan mau kembali bantu-bantu di warkop lagi.

Sungguh latihan gerak untuk mencapai satu jurus ilmu “legowo” tua dari Mbah Nun membutuhkan tenaga, mental, kejernihan pikiran yang lumayan melelahkan badan, mental, dan hati. Tapi berkat semua itu, saya ketetesan rahmat yang dirasakan Mbah Nun dari sikap legowo itu, “Lega hati saya dan nyaman jiwa saya untuk mempertahankan cinta kepada siapapun yang membenci saya, untuk tidak bergeming tetap menjunjung siapapun yang dulu menterpurukkan, memfitnah dan merendahkan saya.”

Ternyata “legowo” itu bukan pekerjaan ringan atau mudah.

Surabaya, 11 Januari 2021

Lainnya

Membangun Imun Lewat Jalan Iman

Membangun Imun Lewat Jalan Iman

Bencana besar yang dapat merenghut korban jiwa yang masif dalam perjalanan sejarah umat manusia, bukan hanya karena gempa bumi, gunung meletus, tsunami, cuaca ekstrem, meteor jatuh atau perang dunia, tapi juga “wabah virus atau bakteri”.

dr. Ade Hashman, Sp. An.
Ade Hashman