CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (24)

Pilihan Nahdlatul Muhammadiyyin

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 11 menit
Dok. NM

Mengapa pada tahun 2000, saya dan beberapa teman yang berasal dari komunitas Muhammadiyah bersedia dan bersemangat aktif dalam pendampingan program pendidikan kesenian di 12 pondok pesantren NU di Yogyakarta? Karena wilayah budaya dan seni merupakan wilayah netral atau wilayah titik temu yang bebas dari virus ikhtilafiyah “feqih” yang sering macam-macam dan lucu-lucu itu. Wilayah kebudayaan dan kesenian yang dalam hal ini masuk dalam format ekspresi keagamaan atau ekspresi keberagaman relatif “aman” untuk dimasuki oleh langkah kolaborasi.

Meski belum sempurna benar, teman-teman Muhammadiyah berusaha untuk lebih atau banyak untuk memilih sedikit demi sedikit dewasa dalam beragama, dewasa dalam berorganisasi dan dewasa dalam bermasyarakat. Teman-teman muda NU yang kebanyakan saya kenal ketika menjadi aktivis media Mahasiswa kampus Arena IAIN Sunan Kalijaga rupanya juga memiliki kedewasaan dalam beragama, dalam berorganisasi dan bermasyarakat. (Ini yang kemudian hari teman-teman NU ini ketika sudah mengalami mobilitas vertikal duduk di PWNU mau menerima program usulan untuk menulis dan menerbitkan Ensiklopedi NU yang disampaikan oleh Buldanul Khuri, generasi kedua Muhammadiyah Kotagede yang sekolahnya mulai dari TK sampai SMA di sekolah Muhammadiyah).

Apalagi waktu sedang masa kejayaan Forum LSM Yogya saya aktif mengikuti pertemuan, sebagai wartawan dan aktivis LSM kebudayaan dan Kesenian. Di forum saya srawung dengan teman-teman lintas ormas, lintas pemeluk agama dan budaya termasuk bergaul dengan teman-teman muda NU sayap LSM yang jumlahnya banyak itu. Oya, saya terlibat di Program pengembangan kesenian LKPSM PWNU ini resminya ditunjuk oleh FKI (Forum Kesenian Indonesia) yang dimotori Sigit Sugito, bukan memakili Muhammadiyah.

Program ini digerakkan oleh LKPSM PWNU DIY yang dimotori Kang Imam Aziz, Jadul Maulana, dan para shohibnya. Dengan dukungan dana dari LSM Kanada. Saya, Zainal Abidin, Mathori A Elwa, dan lainnya membantu teman-teman muda NU seperti Hasyim Turmudzi di bawah koordinasi dari LKPSM PWNU DIY awalnya merumuskan program ini dengan membuat semacam naskah akademik untuk dijadikan pengantar pembuatan proposal. Sebagai Sekretaris Umum LSBO (Lembaga Seni Budaya dan Olahraga) PP Muhammadiyah saya waktu itu biasa dan lumayan terlatih membuat proposal program pendampingan seperti ini.

Saya mencoba menulis narasi pentingnya pengembangan kesenian di pondok pesantren ini. Lalu disempurnakan oleh Cah LKPSM NU (yang kemudian terkenal dengan sebutan LAKPESDAM) dan ketika proposal tembus segera diadakan kondisioning bagi teman-teman yang terlibat. Mulai dari pertemuan para pendamping, fasilitator, organiser dilanjutkan dengan pertemuan dengan pertemuan dengan wakil dari pondok pesantren terpilih, workshop dengan mengundang Kang Acep Zamzam Noor (anak Ketua Umum Syuriah PBNU) dari Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya dan narasumber yang hebat-hebat lainnya.

Setelah “mesin kreativitas” dan mesin manajemen program ini panas mulailah kami masuk pesantren. Ada pembagian tugas yang kemudian ada rotasi penempatan fasilitator dan pendamping ini. Saya mendapat lokasi tugas di kota Yogyakarta (dua pesantren di Krapyak, dan satu di pesantren Nurul Ummahatnya Kang Abdul Muhaimin Kotagede). Setelah itu saya ditugaskan untuk mendampingi kegiatan pelatihan kesenian ini di pesantren Binaul Ummah Wonolelo yang dipimpin oleh Seorang kiai sufi Kiai Ihsanudin, juga di pesantren Al-Mahalli yang dipimpin Kang Kiai A. Mujab Mahalli.

Ketika bergerak di Wilayah kota dan Bantul ini saya menemani Kiai Zainal Arifin Thoha pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari dan pengasuh Komunitas Kutub yang mendidik menulis anggotanya dengan gaya Spartan. Kiai Zainal Arifin Thoha, bendahara Kongres Kebudayaan Pesantren Indonesia pertama ini, adalah seorang sastrawan, penulis, aktivis drama dan pendekar Pagar Nusa yang kreatif. Dia bisa membuat semacam notasi untuk musik rebana. Jenis-jenis pukulan dalam seni rebana dia beri nama dan setiap lagu dia melengkapi dengan notasi ala pesantren ini sehingga mudah diajarkan.

Waktu melatih anak-anak pesantren Binaul Ummah Wonolelo, Kiai Zainal Arifin van Ploso Kediri (untuk membedakan dengan Zainal Abidin van Kanor Bojonegoro) memadu musik dengan jurus pencak silat. Lagu shalawat dipadukan dengan gerakan jurus pencak silat yang bisa dibaca la ilaha illallah muhamnadur rasulullah yang amat indah. Perpaduan langkah dalam pencak silat dengan pukulan, tangkisan, tendangan dan dinamika gerak kuda-kuda tertata apik sekali.

Saya cukup akrab dengan Kiai Zainal Arifin Thoha sejak muda, sejak masih mahasiswa dan belum menjadi Kiai. Dia aktif mengirim karya sastra dan esai di Insani harian Masa Kini dan di lembar budaya Suara Muhamadiyah. Kemudian ketika sudah menjadi Kiai kadang menjadi konsultan kesehatan dengan pendekatan herbal dan spiritual, dia sering bersama saya, Pak Sholeh UG dan Mas Ahmad Munif kampanye sastra pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga menjadi anggota redaksi majalah sastra pesantren Fadhilah. Ciri khas dia kalau mengisi workshop atau menjadi narasumber seminar selalu mengajak hadirin membaca shalawat.

Ketika saya mendapat tugas di empat pesantren di Gunung Kidul saya menemani Zainal Abidin yang keturunan ketiga generasi Muhammadiyah Sanden Bantul yang dibenum di Bojonegoro. Dia aktivis teater dan sastra yang menguasai musik teori dan praktek, dan menguasai banyak (hampir semua) alat musik dan menguasai manajemen pertunjukan.

Untuk masuk ke pesantren-pesantren Gunung Kidul, di Karangmojo, Playen satu, Playen dua, dan Wonosari saya dan Zainal Abidin ditemani Kang Hasyim Turmudzi yang NU poll karena rumahnya di daerah Krapyak dan pernah aktif di PPP mewakili unsur NU. Kang Hasyim Turmudzi orang periang sedang Zainal Abidin pendiam tapi bakat musiknya full. Zainal Abidin mengarang aransemen baru untuk lagu pesantren lama, dan saya nimbrung dengan dengan mengisi lirik lagu atau syair baru.

Selain melatihkan lagu religius baru, Zainal Abidin juga mengenalkan manajemen grup koor, mengenalkan tangga nada, teknik vokal dan memadukan melodi vokal dengan nada perkusi, membenahi teknik tampil di depan publik agar tidak membosankan dan membuat penonton mengantuk (anak pesantren NU waktu itu tidak mengenal tangga nada, teknik vokal untuk keperluan koor dan membangun tangga dramatik untuk sebuah pertunjukan). Zainal Abidin yang pernah aktif di Teater Silanya Sigit Sugito dan pernah belajar entah di mana kemudian mematangkan kemampuan musiknya dengan mengamen dari kampung ke kampung dan membentuk grup ORI (Orkes Ringkes Indonesia) bersama saya dan dibantu oleh Cah Filsafat UGM yang mahir main biola.

Saya dengan ikut menjadi pendamping ini jadi mengenal karakter masing-masing pesantren di Gunung Kidul, mengenal Kiai yang muhlisina lahuddiin dalam mengelola pesantren. Saya sering terharu dengan ketawadlukan mereka. Ada yang seminggu sekali naik Vespa turun ke Krapyak menjadi pengajar di almamaternya dan untuk menutupi kebutuhan Pesantren Bu Nyai dia berjualan tempe kedelai dan makanan di pasar kota kecamatan. Setiap sebulan sekali mengadakan pengajian akbar dan ketika dalam pidato hamdalah dia model khas Muhammadiyah, ketika saya tanya dia mengaku bahwa waktu sekolah menengah pertama dia belajar di sekolah Muhammadiyah sebuah kabupaten di Jawa Tengah.

Ada Kiai yang pemberani dan waktu mendapat mobil dinas dari kantor dia langsung menyopiri mobil itu padahal dia awalnya belum bisa menyopiri mobil babar blas. Dengan bekal niat yang kuat akhirnya selamat sampai rumah. Dia punya usaha perkayuan untuk membiayai pengembangan pesantrennya. Ada Kiai yang kompleks pesantrennya di tengah hutan, mengelola pesantren sambil kuliah S2 di IAIN Sunan Kalijaga. Ada pesantren penghafal Al-Qur’an yang santrinya semua kalangan, termasuk aktivis parkir di terminal Wonosari dan tukang becak. Mereka diajak shalawatan. Kiai ini unik. Waktu belajar dan nyantri di Saudi Arabia dia suka mengunjungi kabilah atau suku Badui atau orang desa di pedalaman dan merekam lagu lagu rakyat berbahasa Arab.

Para santri di pesantren Gunung Kidul ini sangat bersemangat ketika dilatih Zainal Abidin dan saya motivasi bersama Kang Hasyim Turmudzi. Sampai kemudian kami rekaman di studio musik milik SMM Bugisan yang pimpinan studio sekaligus operator studionya bernama mas Maryono yang jebulnya Cah Muhammadiyah dan sekarang aktif di LSBO PP Muhammadiyah dengan keahlian menerjemahkan lagu ke dalam not balok dan not angka, juga mengaransemen lagu. Dengan demikian, rekaman lagu anak pesantren lancar.

Demikian juga pentas seni pesantren sebagai bentuk presentasi hasil program ini. Presentasi dan laporan ke donatur program ini dilengkapi dengan laporan penelitian ke komunitas pesantren yang kemudian dibukukan. Saya ikut ke lapangan sampai kemudian tahu kenapa desa Wonokromo Pleret melahirkan lima seniman atau kiai yang unik-unik. Yaitu Kak Wees Ibnu Sayy yang mengembangkan seni dongeng, Kiai Wachid Elba yang seniman karikatur dan kartun, Nasruddin Anshoriy Ch yang aktif di bidang sastra dan mendirikan Ilmu Giri, Kiai Fuad Riyadi yang asyik nyanyi rock religius, melukis abstrak, dan seminggu sekali memimpin pembacaan SimtudDuror, dan Boy Rivai yang pernah aktif di film dan sekarang membangun Pondok edukasi lingkungan di lokasi gunung dan hutan Watulumbung dekat Parangtritis.

Wonokromo merupakan mata air kreativitas santri karena sejak awal menerima sentuhan Muhamadiyah (ada SD Muhammadiyah di tengah desa, ada pendekar Muhammadiyah disini). Tahun 1920 sudah ada pementasan ketoprak Mesiran, tonil dengan iringan musik modern arkodeon dan biola, tahun 1970 anak mudanya sudah berani mementaskan kisah Ashabul Kahfi persis di depan surau tempat Ayah saya dulu ngaji dan nyantri mukim di rumah Kiai yang pemilik surau dan pesantren.

Ketika menjelang Pemilu muncul musim bentrok fisik dari Wonokromo muncul jagoan tak terkalahkan, ternyata dia belajar karate aliran keras. Perlu ditambahkan, di Wonokromo ada dusun Brajan yang menjadi tempat tinggal Kiai yang penulis yang seniman politik bernama Kang Kiai A Mujab Mahalli, pengasuh pesantren Al Mahalli yang juga menjadi tempat berlangsungnya program pengembangan kesenian kritis pesantren LKPSM PWNU DIY.

Apa kata dia tentang program ini? Kiai yang mempelajari dengan intensif Tafsir Al-Manar Rasyid Ridha Mesir ini berkata dengan nada guyonan, “Kang Mustofa, kalau melatih santri saya jangan kadar kritisnya berlebihan lho. Nanti santri malah berani ngritik kiai. Itu suul adab lho”.

Saya tertawa dan mengingatkan, Kiai yang nakal secara kultural seperti dia boleh dikritik dong. Dia tertawa diikuti pisuhan yang amat sopan.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

No News Means Good News

No News Means Good News

Sebenarnya tak perlu ditagih tentang tulisan ini karena Cak Nun juga sudah lama sekali sejak dulu mewanti-wanti agar selalu menulis, menulis, dan menulis. Begitu ada inspirasi, kalau tidak segera dituangkan dalam bentuk tulisan maka akan kehilangan momentum.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version