CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (24)

Pilihan Nahdlatul Muhammadiyyin

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 11 menit

Beberapa desa, seperti Wonolelo, sudah saya kenal saat saya muda. Dusun Bawuran misalnya, kakak saya di PGA yang rumahnya depan sebuah masjid. Apalagi wilayah Wetan Opak dan bekas wilayah Kotagede Surakarta (Ska) di Terong sampai Dlingo lengkap dengan pegunungan kapurnya menjadi wilayah jelajah waktu saya aktif di pecinta alam. Hanya desa desa di Sleman dan Kulonprogo yang kurang saya kenal. Oleh karena itu, saya tidak ditugaskan mendampingi pondok pesantren di dua kabupaten ini. Akan tetapi ketika diminta mencari data kesenian religius di Sleman dan Kulonprogo saya jadi lebih mengenal desa santri. Termasuk di Minggir, Plosokuning, Mlangi, Moyudan, Godean, Sentolo, Nanggulan, Wates, dan Lendah.

Saya menggunakan data dari Departemen Agama lalu di-crosscheck di lapangan. Saya bahkan menemukan jalur migrasi lagu pujian atau pengisi waktu sehabis adzan menuggu jamaah kumpul. Ada lagu tertentu yang bergerak dari basis perlawanan pangeran Diponegoro di Magelang yang bergerak ke Kulonprogo, ke timur menyeberangi kali Progo masuk daerah pantai Bantul (bekas daerah perdikan Ki Ageng Mangir), terus ke timur naik ke Gunung Kidul, ke daerah Playen, bablas sampai Ponjong, ke Karangmojo, Wonosari.

Sebagian lagu religius itu ketika di daerah Bantul selatan bergerak ke utara sampai di Wonokromo, Pleret, Jejeran (tempat kediaman Sunan Suprobono, guru Sultan Agung) terus ke utara sampai Grojogan, Singosaren, Kotagede dan bergerak sampai Warungboto. Dari sini bergerak sampai wilayah Pakualaman, dan yang ke timur sampai Piyungan. Saya menemukan semacam sanad dan nasab ilmu dan seni berbasis agama Islam-Jawa yang membentuk peta wilayah budaya seperti ini. Sebagian daerah ini mendapat pengaruh dari Muhamadiyah, sebagian mendapat pengaruh dari NU, sebagian campuran, dan sebagian lagi waktu itu belum digarap Muhammadiyah dan NU dan menjadi wilayah kaum “abangan” yang kemudian afiliasi politiknya cenderung ke PNI dan partai kiri lainnya. Sedang wilayah kultural hijau di atas afiliasinya cenderung ke Masyumi, kemudian ke PPP, Golkar lalu di kemudian hari lagi ada yang menjadi basis PKB.

Intinya, saya merasa berbahagia banget dan beruntung sekali diajak dan dilibatkan dengan kegiatan yang dilakukan LKPSM PWNU DIY ini. Paling tidak saya jadi mengenal peta budaya di DIY, saya bisa belajar kecanggihan teman-teman muda NU dalam mengelola dana dari funding, saya bisa mengenal para Kiai kesaktian mereka dalam pendidikan dan dakwah, juga dalam berpolitik. Saya juga memahami jaringan nasab Kiai, santri dan jaringan sanad ilmu mereka dan saya menyaksikan adanya perubahan yang signifikan pada anak muda NU yang dipacu oleh Gus Dur agar mau melakukan mobilitas vertikal dalam berbagai-bagai hal lewat dinamika perlawanan pada Orde Baru dengan membawa mereka magang di LSM-LSM dengan memanfaatkan duwite Landa.

Jaringan pertemanan di NU muda, tentu jaringan pertemanan di Muhammadiyah muda, ini didinamisasi oleh “dewa” LSM dari Lamongan dan Bojonegoro. Ini semua menjadi bekal penting ketika di tahun 2011 saya dan Kiai Marzuki Kurdi di-dhawuhi Cak Nun untuk memproses dan mengemudikan Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin (NM) dengan penasihat Cak Nun dan Kang Daliso Rudianto.

Ikhtiar mendirikan Nahdlatul Muhamadiyyin lancar dan terasa diberi jalan mulus oleh Tuhan. Di sebuah Pengajian Mocopat Syafaat saya ketemu dan bertemu dengan Mas Harianto dan Mas Teguh Santosa. Keduanya alumni kampus yang mengolah ilmu ekonomi syariah. Harianto berasal dari Lamongan, komunitas Muhamadiyahnya kental. Teguh berasal dari Pekalongan bagian NU. Keduanya bersama-sama menulis buku tentang wawancara imajiner dengan KHA Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari yang ditulis dengan gaya apik dan inspiratif.

Sebelum itu, di sebuah pertemuan di pondok pesantren Nurul Ummahatnya Kang Abdul Muhaimin saya bertemu dengan KH Marzuki Kurdi asal Tuban. Saya segera akrab dengan Kiai Marzuki Kurdi, banyak melakukan dialog intensif dan saling mentertawakan kisah lucu-lucunya aktivis NU dan Muhammadiyah yang kurang memahami ide dan gagasan besar KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan yang asli. Saya dan Pak Marzuki sama-sama punya pengalaman lapangan saat pendampingan dan melakukan advokasi di masyarakat bawah. Dan masih memelihara jaringan dengan simpul masyarakat desa.

Ketika tahun 2010 gunung Merapi meletus Pak Marzuki mendapat amanah untuk memberikan bantuan kambing di daerah korban letusan gunung ini. Kami konsultasi dengan Cak Nun dan akhirnya malah mendapat dawuh untuk mendirikan laboratorium ijtihad Nahdatul Muhammadiyah. Awalnya begitu namanya.

Sebagai Redaktur Pelaksana saya punya semacam “hak prerogatif” untuk memanfaatkan ruang-ruang tertentu di kantor untuk rapat dengan komunitas di luar Muhammadiyah. Ini saya format sebagai sumbangan Suara Muhamadiyah untuk masyarakat umum. Oleh karena itu saya sering melakukan rapat FKY seksi sastra bersama Mas Iman Budhi Santosa dan teman-teman di lantai dua kantor saya, ruang redaksi. Saya juga mempersilakan Rapat panitia Konser Puisi Indonesia di ruang ini. Rapat panitia lomba penulisan puisi yang dibiayai Ernawati Literary Fiundation juga diadakan disini.

Dengan demikian ketika saya mengundang teman-teman penggerak embrio Nahdlatul Muhammadiyyin di sebuah ruangan, tidak ada yang mempertanyakkan. Sejarah berdirinya Nahdlatul Muhamadiyyin diproses di sini. Kemudian saya usulkan agar sahabat Cak Nun bernama Kang Daliso Rudianto dijadikan penasihat bersama Cak Nun. Kang Daliso setuju banget. Lalu proses berdiri dan launching NM dilakukan di pendapa rumah Kang Daliso di Warungboto. Pendapa rumah ini pernah menjadi tempat diskusi teman-teman LPSAS Prospek pasca Reformasi dulu. Dua mantan aktivis diskusi ini, pak Sholeh UG dan Pak Dodi PS ikut terlibat mematangkan berdiri dan hadirnya NM. Demikian juga teman teman dan komunitas Kang Harianto dan Teguh. Teman Kang Daliso juga ada yang siap bergabung.

Sampai kemudian ditemukan tanggal 9 Agustus 2011 yang bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan tahun itu sebagai tanggal launching Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin. Launching diselenggarakan di halaman rumah Kang Daliso. Meriah sekali, dengan penampilan Cak Nun dan KiaiKanjeng yang menyumbang lagu mars Nahdlatul Muhammadiyyin yang apik dan membangkitkan semangat. Launching dilengkapi dengan deklarasi berdirinya NM oleh warga biasa dan tokoh lokal. Itulah masa yang membahagiakan bagi pendiri NM, pendukung NM, komunitas Maiyah dan masyarakat Warungboto.

Begitu launching dan deklarasi, teman-teman NM langsung tancap. Dengan mentor Kang Daliso yang mengenalkan banyak pendekatan yang unik-unik. Kemudian NM melakukan orientasi dan reorientasi medan (agama dan kehidupan), memilih sasaran utama dalam diskusi dan menggerakkan masyarakat. Juga memilih rujukan gerakan.

Sasaran utama dalam diskusi NM adalah muamalah. Kami memilih ini karena merasa sedikit punya bekal keilmuan dan pengalaman lapangan. Kami tidak memilih membahas masalah akidah dan ibadah karena kami belum menemukan metode ijtihad untuk dua masalah mendasar.

Sedangkan untuk rujukan, kami kemudian menemukan tafsir fungsional berbasis konstruksi makna. Ini ditemukan setelah berkali-kali pertemuan membahas aneka macam tafsir Al-Qur’an yang telah dihasilkan oleh para ulama hebat di masa silam. Kemudian kami memilih jalan berbeda, tafsir baru dengan metode di atas sampai kemudian kami menemukan asas kompatibilitas dan aksesabilitas dan relasi-relasi fungsional di dalamnya. Kemudian ikut membuka dan mempraktikkan metode burhani (identifikasi), bayani (klarifikasi) dan metode irfani (konfirmasi) sampai kemudian menukik ke maqhasidul ayat, maqhasidud diin dan menebak maqhasidullah dengan memfungsikan konstruksi Asmaul Husna dalam ayat atau surat.

Agar yang dilakukan NM bisa fokus kami mencari jangkar ide yang bisa difungsikan sebagai rujukan kegiatan diskusi wacana dan aksi praksis di lapangan. Ketemu ayat wama arsalnaaka illa rahmatan lil’alamin. Misi profetik Rasul adalah mewujudkan agama sebagai rahmatan lil’alamin. Ini diterjemahkan secara konseptual dan diterjemahkan ke dalam aksi sosial budaya di lapangan. Beberapa eksperimen dilakukan. Misalnya mengadakan pengajian ukhuwah islamiyah di Piyungan yang didukung komunitas Muhammadiyah dan NU setempat, apalagi Ketua PCM dan MWC NU ternyata kakak beradik. Ikut menggerakkan generasi muda di Kelurahan Wonolelo, bahkan bisa menyelenggarakan kegiatan Milad NM yang representatif. Juga melakukan eksperimen bertani di sawah di lereng Merapi yang hasilnya kurang memuaskan tetapi silaturahminya berhasil.

Demikian juga menemani petani di Kulonprogo yang menemukan fakta para petani lebih suka bekerja di pabrik, dan Alhamdulillah konsolidasi sosial di puncak bukit berhasil dengan ikut mendirikan mushalla yang pemasangan mustokonya dilakukan wakil dari banyak pemeluk agama, meniru langkah Muhammad Al-Amin ketika memasang hajar Aswad yang melibatkan banyak wakil dari kabilah yang ada. Eksperimen yang lain juga dilakukan. Misalnya advokasi budaya di sebuah kampung di Kotabaru Yogyakarta.

Diskusi jalan terus meski tempat berpindah-pindah setelah Kang Daliso makin sepuh dan dia harus tidur sore untuk kemudian bangun dinihari melakukan riyadhah tertentu.

O ya, teman-teman NM juga melakukan eksperimen literasi dengan menerbitkan beberapa buku, melakukan eksperimen riyadhah dengan melakukan ziarah ke makam Syekh Maulana Maghribi, Syekh Bela-Belu, dan makam penting lainnya. Juga melakukan eksperimen spiritual dan mubeng Beteng setiap malam 1 Muharam dan mubeng Beteng rutin lainnya yang dicukupkan berlangsung tujuh kali.

Dengan banyaknya kegiatan ini mesin berpikir dan mesin bertindak teman-teman menjadi hidup dan berputar cepat sampai hari ini.

Meski kondisi pandemi memaksa kami untuk tidak ketemu fisik tetapi kami tetap memelihara kewarasan berpikir, menambah cinta kepada Allah Swt. dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw., mencari celah siasat taktis atau bertindak strategis sesuai dengan kemampuan yang ada.

Untuk memperingati Milad NM ke 10 bulan Agustus ini, ada kemungkinan kami kembali melakukan orientasi dan reorientasi medan perjuangan NM. Juga melakukan remotivasi, revitalisasi kesadaran dan gerakan sekaligus melakukan introspeksi diri dan retrospeksi yang bermakna. Milad NM cenderung bermakna sebagai langkah menyegarkan hal-hal yang mendasar.

Yogyakarta, 2-4 Agustus 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Mbah Nun Sang Guru Kami

Mbah Nun Sang Guru Kami

Bulan Mei adalah sesuatu bagi kami — Jamaah Maiyah. Setiap Mei datang, kami antusias melewatinya: Mei adalah kelahiran Mbah Nun, Sang Guru kami.

Ahmad Syakurun Muzakki
A.S. Muzakki
Exit mobile version