Perumpamaan ‘Anjing’ dari Allah
Pertemuan Pak Harto dengan 9 tokoh nasional pada 19 Mei 1998, oleh masyarakat, termasuk oleh kalangan intelektual, dinarasikan sebagai “Pak Harto memanggil 9 orang” atau “9 tokoh nasional yang dipanggil ke Istana oleh Pak Harto”.
Seingat saya sudah berkali-kali saya mencoba membenahi ketidaktepatan narasi itu, tetapi tetap saja merupakan anggapan baku sampai hari ini. Kalau yang pertama, Pak Harto memanggil, wajar dan tidak mengherankan, karena dia memang Presiden yang bisa dan berhak memanggil rakyatnya. Tetapi yang kedua, “9 Orang yang dipanggil oleh Pak Harto”, silakan berlaku benar bagi yang 8 orang, tetapi maaf-maaf tidak berlaku pada yang 1 orang.
Siapa yang saya terima dan saya penuhi ketika memanggil saya, atau memposisikan saya sebagai “pihak yang dipanggil”, selain Tuhan, Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Ibu Ayah dan keluarga inti saya? Itu tidak berlaku untuk Kaisar Jengish Khan, Raja Fir’aun, Presiden Indonesia atau siapapun. Bahkan tidak juga Kanjeng Sunan Kalijaga, Sunan Bonang atau Wali-wali lainnya, termasuk Sultan Agung dan Panembahan Senopati. Kalau saya berziarah ke pemakaman, beliau berdiri dari tempat semedi tahiyatnya, kemudian bergerak menyongsong saya yang sudah ratusan kilometer menempuh perjalanan untuk menemui beliau.
Saya menyapa, beliau menjawab. Demikian juga kalau mereka “menyapa”, saya wajib meresponsnya. Tapi kalau memanggil saya, siapa gerangan engkau? Aku pun tak akan bertakabbur memposisikan diri memanggil para Panjenengan. Aku berposisi sunnah untuk menyapa, dan yang disapa berposisi wajib menjawab atau merespons. Demikian tuntunan Allah Swt.
Kita semua rata-rata pemalas untuk memperhatikan, apalagi mempelajari dan menerapkan tartil tata etika kemakhlukan dalam kuasa Allah semacam ini. Bangsa Indonesia tidak pernah peka melihat di mana koordinat dan level pemerintah, di mana maqam ulama. Di level mana umara dan di lapisan mana ulama.
Jadi saya tidak pernah dipanggil oleh Pak Harto. Kepada teman-teman tertentu saya bilang: “Saya tidak mau dipanggil Soeharto, karena nama saya Ainun Nadjib”. Sebagian ada yang paham sanepan itu, tapi lainnya plonga-plongo saja. Pertemuan Pak Harto dengan 9 orang itu tidak terjadi karena Pak Harto memanggil. Melainkan hasil kesepakatan perundingan sesudah kami berempat menulis surat yang menyarankan agar Pak Harto lengser dengan kebesaran jiwa. Kemudian Pak Harto menelepon Cak Nur dan saya. Kemudian kami menyepakati 9 orang yang diajak berunding. Sebab Pak Harto menyatakan mau mundur “asal ditemani” oleh 9 orang itu, agar peristiwa turunnya Pak Harto tidak membuat keributan nasional.
9 itu jumlah yang memang mengacu kepada Wali Songo. Atau semacam posisi Punakawan (sahabat yang berilmu dan arif bijaksana memelihara kebenaran dalam kedamaian) atau Panakawan (sahabat yang setia memelihara keamanan bersama).
Reformasi 1998 membuat keadaan Bangsa dan Negara Indonesia menjadi semakin buruk dalam banyak hal. Karakter kepemimpinannya, akhlak politiknya, kepribadian dan kebudayaan bangsanya, termasuk kondisi perekonomiannya. Hanya di bidang kemewahan teknologi, yang notabene bukan karya otentik bangsa Indonesia, yang membuat seakan-akan Indonesia mengalami kemajuan.
Akan tetapi bagi saya, Indonesia pasca-1998 adalah masa keemasan bagi lelaku-hidup, pencerminan diri, hikmah, ilmu, dan pelatihan untuk kemenyeluruhan ujian-ujian kehidupan. Pendapatan intelektual dan rohaniah paling puncak pada hidup saya adalah ketegasan ketidakpahaman saya terhadap makhluk yang bernama manusia.
Di luar kasus “dipanggil oleh Pak Harto” di atas, yang juga merupakan panen tafakkur saya di era Reformasi paradoksal 1998 ke atas, adalah rumah dan Sekolahan saya di Tamantirto Kasihan Bantul diancam akan dibakar oleh “para pejuang” pasca pertemuan Pak Harto 19 Mei 1998 itu. Sudah jelas Pak Harto lengser, dan itu aspirasi 100% rakyat Indonesia, dan itu berhasil karena upaya kami berempat, atau saya sendirian ketika “akad nikah”, tetapi saya malah dituduh “orangnya Soeharto” atau “antek Cendana” sehingga rumah saya mau dibakar. Bahkan hampir sejuta rakyat dikumpulkan di Alun-alun Utara Yogyakarta untuk mendengarkan pidato mengecam dan memaki-maki saya dengan tuduhan “antek Soeharto” itu. Oleh orang yang hidup keluarganya di-supply oleh dana jaringan keuangan Pak Harto, bahkan dibikinkan Padepokan megah atas biaya pemerintahan Soeharto. Yang sesudah Pak Harto lengser sampai bertahun-tahun tipologi karakter Pak Harto dijadikan komoditas kapitalismenya di layar-layar televisi nasional.
Tetapi saya yang didemo, rumah sekolahan mau dibakar, dan digelari “Antek Soeharto”. Bagaimana cara saya memahami manusia Indonesia dengan contoh kasus seperti ini?
Andaikan Allah mengizinkan, saya ingin menunjukkan secara fisik dan kasat mata bahwa saya adalah hamba-Nya, saya tidak mau menjadi anak buah siapapun dari semua makhluk di bumi, saya “tidak pethèken” untuk semua kekonyolan, kerendahan, dan kehinaan itu. Dan saya siap membuktikan prinsip serta fakta itu dengan cara, bentuk serta alat apapun, dari pisau, pedang, senjata api, santet, tenung, sihir, atau sampyuh sekalipun.
Tetapi Allah mengunci saya di garis firman-Nya:
وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”
Allah saja bilang itu sungguh berat. Apalagi saya. Sampai hari saya belum diperkenankan untuk “berbuka puasa”.
Kasus Lumpur Sidoarjo. Itu benar-benar ujian nalar yang sangat berat bagi saya untuk memahami manusia Indonesia. Baik rakyat, kaum aktivis kelas menengah atau awak media. 13.256 KK yang rumahnya tenggelam oleh lumpur, saya carikan sedekah untuk membangun rumah kembali dengan biaya 3-4 kali harga rumah dan tanah aslinya, dengan pasal perjanjian bahwa mereka tidak boleh memberikan apapun kepada saya, apalagi prosentase makelar. Dan itu benar-benar sedakah alias infaq. Bukan eksekusi vonis hukum negara. Bukan atas inisiatif atau tekanan pemerintah. Terapi tidak ada institusi modern atau penghuni kelas menengah cendekiawan, atau aktivis “swadaya” masyarakat, terutama media massa yang melihat fakta itu. Saya tidak memimpikan mereka mengapresiasi, tetapi minimal jangan mengarang fitnah-fitnah yang merusak otak manusia, yang anti-logika dan menghancurkan nalar akal sehat.
Saya bisa tahan atas fitnah, tetapi terlalu mendalam kesedihan saya kalau mengalami manusia kehilangan akal. Yang membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk disebut makhluk kelas manusia. Yang bukan batu dan kerikil, bukan pepohonan dan hutan, juga bukan hewan dan binatang, bukan monyet atau anjing.
وَلَوۡ شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ
كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ
ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”