Persona (Emha) Non Grata
Allah menganugerahkan banyak sekali fadhilah kepada setiap hamba-Nya. Termasuk kepadaku. Tetapi sangat mungkin kelemahan-kelemahanku membuat limpahan fadhilah itu kurang optimal bisa termanifestasikan.
Mungkin itu kesalahan pribadiku sendiri. Mungkin juga karena sepanjang sejarah, sampai era ultra-modern sekarang ini pun, ummat manusia belum pernah mampu menata sistem sosial yang memungkinkan curahan fadhilah Allah itu teraplikasi dan bermanfaat maksimal sebagaimana maksud dan kadar yang sesungguhnya dimuat oleh iradah dan amr Allah itu ketika menciptakan Adam sampai semua anak turunnya.
Masa kanak-kanakku di pertengahan 1950-an penuh bicara kelakar-kelakar, nakal keterlaluan sampai kadang radikal membakar rumah, berkelahi, angon kambing dan ngarit atau ramban, kèkèhan tanding membelah atau memecah kèkèhan anak-anak lain, tidak mau mengaji dan sekolah, membantah siapa saja, atau mengeksploitasi atau morotin Kakek sambung saya Wak Kajumar atau Pak Haji Umar.
Mungkin bisa diteliti sambungan dan alurnya ke masa dewasaku yang tidak sukses. Gak dadi uwong. Tidak kaya. Tidak punya jabatan. Tidak punya eksistensi dan peran. Bukan sarjana. Bukan pengusaha. Bukan kiai atau ulama apalagi wali. Bukan pejabat. Bukan wakil rakyat. Sekadar menjadi ketua RT atau carik desa pun tidak. Aku bukan apapun dan siapapun. Andaikan tidak ada perlakuan sistem di antara manusia yang mempersona-non-grata pun, faktanya toh Emha Non Grata.
Karena aku hanyalah “average person” seperti itu sangat banyak hal yang aku tidak mampu melakukannya, padahal banyak orang lain bisa melakukannya. Sangat banyak bidang-bidang yang aku tak mampu mengelola padahal banyak orang mampu mengelola. Sangat banyak peluang kemajuan yang aku tidak peka untuk mendayagunakannya, sementara banyak orang sigap memanfaatkannya. Sangat banyak pencapaian prestasi yang aku tidak berdaya menggapainya, sementara banyak orang mampu membawa diri mereka ke sana. Banyak orang pandai, aku tidak. Banyak orang berkuasa, aku tidak. Banyak orang kaya, aku tidak. Banyak orang punya reputasi dan kekuatan serta integritas hidup, aku tidak.
Maka gagasan “Delete Emha dari Media” itu sekadar penegasan formal saja bahwa diriku faktanya tak benar-benar ada bagi Indonesia dan dunia. Atau merupakan semacam kontinuitas yang wajar dan logis saja dari apa yang puluhan tahun sebelumnya saya alami. Itu semacam “penuntasan nasib” saja. Perlakuan “persona non grata” atas Emha sebenarnya sudah lama berlangsung kuantitatif maupun kualitatif dalam urusan puisi dan kesenian di Yogya maupun nasional. Kompas di era 1980-an sangat kentara “meniadakan” saya dari konstelasi perpuisian Yogya di naungan Umbu Landu Paranggi.
Juga perkubu-kubuan peta seniman di Yogya bahkan sampai hari ini. Emha Non Grata juga berlangsung di banyak bidang lain dan skala yang lebih luas. Dalam konteks Ebiet G. Ade. Perintisan talkshow Gardu dan Cermin di televisi sejak di Indosiar. Nasionalisasi tembang Jawa dan Shalawat. Alienasi yang menimpa Dinasti hingga KiaiKanjeng. Sampai juga sejarah Reformasi 1998. Serta banyak wilayah dan konten atau konteks lain yang kini faktanya adalah Emha Non Grata.
Aku meninggalkan media massa nasional mulai 1998, karena berbagai faktor idealisme dan ideologis, di antaranya juga karena banyak kecenderungan Emha toh selalu Non Grata. Aku tidak mungkin ada di ruang lembaga seniman, intelektual, ustadz, kiai dan ulama, ormas Islam. Apalagi perusahaan. Kabinet pemerintahan. Bahkan pun tidak mungkin aku bikin “Warung Angkringan Emha”. Tidak mungkin aku tidak non grata di institusi apapun, apalagi politik, juga keusahaan perekonomian. Saya benar-benar “Gelandangan Di Kampung Sendiri”. Aku teringat Harriet Tubman budak berkulit hitam di Selatan Amerika Serikat yang melarikan diri kemudian secara fisik dan manual berjuang dan berhasil membebaskan lebih 700 budak-budak kulit hitam. Meskipun itu bukan bandingan yang pas untuk saya, karena membebaskan diri saya sendiri saja pun dari “sistem perbudakan” politis, kultural, dan cara berpikir di negeri ini, saya tidak berhasil. Meskipun selalu aku menempuh jalan Nubuwwah memperjuangkan pembebasan perbudakan dalam segala artinya dalam skala nilai-nilai kehidupan manusia, tetapi untuk sekadar menjadi Bilal bin Rabah pun aku gagal.
Di era digital dan ruang maya sekarang ini, ekspresiku, suaraku, ucapanku, wajahku, diperbudak sedemikian rupa oleh siapa saja yang punya akses terhadap kekuasaan media. Dulu “media massa” masih ada regulasi, ada kontrol Negara, ada SIT kemudian SIUPP. Sekarang di “media sosial” siapa saja bisa menjadi “juragan perbudakan” yang kejam, brutal, dhalim. Sangat banyak aktivis-aktivis online Raja-raja Tega.
مَثَلُ مَا يُنفِقُونَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا
كَمَثَلِ رِيحٖ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتۡ حَرۡثَ قَوۡمٖ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ فَأَهۡلَكَتۡهُۚ
وَمَا ظَلَمَهُمُ ٱللَّهُ وَلَٰكِنۡ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ
“Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
Informasi Allah melalui wahyu-Nya seperti itu sangat memelihara kebesaran hatiku dari berbagai beban dunia, siksaan sistem, deraan kekuasaan. Aku tidak terkena oleh “perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri” dan “lalu angin itu merusaknya”. Sebab apa yang akan dihancurkan dari Emha yang toh non grata? Apa yang akan dirusak oleh angin dingin dari ketiadaan eksistensi Emha?
Aku tidak bisa jatuh atau dijatuhkan, sebab aku tidak berada di ketinggian. Aku tidak bisa dibinasakan oleh manusia di dunia, karena hakikatnya aku tidak pernah berjaya. Aku tidak bisa ditindas, karena tidak mengandung keuntungan apa-apa dalam menindasku. Aku tidak bisa dimiskinkan, karena aku tidak kaya.
Allah menuntun agar aku berdoa kepada-Nya:
فَعَسَىٰ رَبِّيٓ أَن يُؤۡتِيَنِ خَيۡرٗا مِّن جَنَّتِكَ وَيُرۡسِلَ عَلَيۡهَا
حُسۡبَانٗا مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فَتُصۡبِحَ صَعِيدٗا زَلَقًا
“Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku kebun yang lebih baik dari pada kebunmu ini; dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan petir dari langit kepada kebunmu; hingga kebunmu itu menjadi tanah yang licin.”
أَوۡ يُصۡبِحَ مَآؤُهَا غَوۡرٗا فَلَن تَسۡتَطِيعَ لَهُۥ طَلَبٗا
“Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi.”
وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِۦ فَأَصۡبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيۡهِ عَلَىٰ مَآ أَنفَقَ فِيهَا
وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي لَمۡ أُشۡرِكۡ بِرَبِّيٓ أَحَدٗا
“Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya tanda menyesal terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.”
Untuk apa aku membolak-balikkan tanganku dalam keadaan menyesal dan bingung? Sedangkan di tanganku tidak ada harta benda, kekuasaan ataupun eksistensi.
Bahkan sejatinya aku tiada. Allah belaka yang sejati ada dan mampu mendampingkan ada di balik tiada. Jadi untuk apa aku mengada-adakan diri di dunia? Allah mengadakanku untuk mensyahadati-Nya. Maka aku pun hanya punya dambaan semoga Ia pun mensyahadatiku, mempersaksikan adaku, karena toh asal-usulnya adalah Ia yang mengadakan.
Sejak kecil aku sangat waspada dan amat hati-hati mensyahadati selain Allah. Kanjeng Nabi jelas bagian dari syahadatainku. Indonesia mungkin kusyahadati sebagai tanah air limpahan-Nya. Tetapi penguasanya? Pemerintahnya? Presidennya?Sampai detik ini aku belum pernah mensyahadatinya dan mereka. Mereka bukan Allah, bukan Nabi dan bukan Ibuku Ayahku, bukan rahmat tanah air dan kehidupan dari-Nya. Maka aku tidak punya kemungkinan untuk menolak Emha Non Grata di pandangan mereka.
Andaikan aku bumi dan tanah, aku hanya bisa berkata: “Injak-injaklah aku semaumu”. Andaikan aku segoro atau samudera aku hanya bisa berucap: “Tumpahkan dan buanglah semua sampah-sampahmu atasku”.