CakNun.com
Kebon (230 dari 241)

Pernyataan Yang Mengerikan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Foto: Adin (Dok. Progress).

Sejak ketika usia 4 tahun saya mulai disuruh qiro`ah di depan umum, diajari oleh Ibu saya paket “Wa biHi nasta’inu ‘ala umurid dunya wad din”. Dan kepada Allahlah kita memohon tuntunan dan pertolongan dalam urusan dunia dan agama.

Paket kedua yang Ibu saya mengajari saya sambil berbaring di mana beliau ngeloni adik saya adalah “Qul shadaqallahu fattabi’u millata Ibrahima hanifa. Wama kana minal musyrikin”. Katakan, benarlah apa yang difirmankan oleh Allah. Maka ikutilah jalan nilai Ibrahim yang lurus menuju Allah. Sesungguhnya ia bukan penyekutu Allah. Saya mempraktikkannya dari Menturo hingga Gontor, meskipun sesampainya di Yogya rusak peralatan qiro`ah di tenggorokan saya gara-gara begadang 5 tahun nonstop di Melioboro, justru di era usia puber saya. Tetapi itu sama sekali tidak mengurangi kedalaman niat pendidikan Ibu saya. Beliau tidak mengajari saya nyanyi, melainkan menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan di dalam jiwa kanak-kanak saya.

اتَعَلَّمَ فىِ الصِغَرِ كَالنَقْشِ عَلَى الحَجَرِ

Pembelajaran di waktu kecil itu bagaikan mentatahkan goresan di atas batu.”

Jadi muatan-muatan yang dibenihkan oleh Ibu itu tidak bisa lepas atau “ucul” ketika saya ikut pawai Paskah di Manila ke arah selatan, ketika saya masuk Ashram Hindu di Chicago, ikut kelas sekte Protestan Sung Myun Moon di New York. Sampai kelak bersama KiaiKanjeng pentas di Synagog Zwolle dan 19 gereja seantero negeri Belanda, juga sejumlah gereja di Skotlandia dan Finlandia. Bahkan ketika saya bertoleransi ziarah ke makam Raja Klungkung Hindu Bali kiriman Mojopahit dan meletakkan kening saya di nisannya, yang saya baca diam-diam adalah Al-Qur`an dan shalawat Nabi.

Bahkan di era 1970-an di tengah acara Misa di Gereja Kotabaru Yogya atas pemintaan Pater Dick Hartoko almarhum, saya meniatinya sebagai “Ud’u ila sabili Robbika bil hikmati wal mau’idlatil hasanah”. Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan bebrayan yang baik. Jemaat di gereja itu lebih membutuhkan Islam dibanding jamaah di masjid, pesantren, atau pengajian-pengajian Islam. Sebagaimana kampanye Golkar mestinya di hadapan massa parpol lainnya, Islam pun kita bawa ke lingkungan yang belum mengenal Islam. “Islam” bermakna penyelamatan. Setiap muslim wajib menyelamatkan manusia lainnya dari api neraka.

Perkara hasilnya, Allah memurahi proses dan ikhtiar manusia.

فَإِنۡ أَسۡلَمُواْ فَقَدِ ٱهۡتَدَواْۖ وَّإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡكَ ٱلۡبَلَٰغُۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ

Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan ayat-ayat Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”

Dan memang di gereja itu saya mengaji qiro`ah. Bahkan di acara pertama KiaiKanjeng di Belanda 2003 yang diselenggarakan oleh Walikota Den Haag, saya royokan sama Islamiyanto untuk melantunkan tilawah Surah An-Nur 35. Acara di Den Haag itu berlangsung 4 jam dan itu ajaib untuk masyarakat modern Belanda yang biasanya beracara paling lama 2 jam. Almarhum Bagong Kussudiardjo seniman besar Yogya bermaksud menciptakan koreografi dengan latar belakang An-Nur yang saya bacakan di Aula TKIT Alhamdulillah Tamantirto Kasihan Bantul ketika ngepyakke Pak Dr. Umar Kayam akan berangkat naik haji.

Meskipun di ratusan acara saya membawakan An-Nur tetapi bisa dipastikan saya bukan Qari` yang baik. Mas Uki Bayu Sejati mengantarkan saya diundang baca Qur`an bergiliran dengan puluhan Qurra` ranking nasional di Masjid Pondok Indah pada suatu Ramadlan. Giliran saya maju pukul 03.00. Sebelumnya terdengar qiro`ah-qiro`ah luar biasa, kemudian dengan tidak tahu diri saya pun membaca An-Nur.

Sampai hari ini saya tidak paham kenapa seusai saya membaca, jamaah yang hadir di Masjid itu spontan bertepuk tangan keras, yang sebenarnya “tidak lazim”. Tapi mungkin itu karena yang saya lakukan adalah menyampaikan firman Allah, cinta, dan kemurahan-Nya. Saya bukan mengekspresikan keindahan vokal, tingginya oktaf suara dan panjangnya napas saya.

Sebagaimana yang Ibu ajarkan ketika balita itu ternyata memang bukan teknis estetika qiro`ah, melainkan penanaman nilai-nilai Al-Qur`an. Sejak itu tanpa saya sadari muatan ayat-ayat yang Ibu saya rengeng-rengengkan itu akhirnya ternyata menjadi mindset kejiwaan hidup saya. Mainstream logika berpikir saya. Hulu hilir akhlak dalam hati saya.

Maka akhirnya semakin saya rasakan bahwa di antara ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur`an yang bagi saya sangat mengerikan adalah:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.”

Itu termasuk ayat-ayat awal yang populer dalam hidup saya sesudah mengkhatamkan Turutan Juz 30.

“Kafir” di dalam ayat itu tidak mungkin kita batasi pada lingkup identitas formal dan “administratif”. Kafir adalah perilaku manusia yang berlawanan arah dengan sunnatullah, iradatullah, dan amrullah. Segala kegiatan manusia di bidang apapun yang secara substansial menentang hukum penciptaan Allah, kehendak dan perintah-Nya.

Siapa saja bisa dengan sangat mudah menemukan contohnya yang memang “pathing tlècèk”, bertebaran di mana-mana. Apalagi kemudian hidup saya “dihajar” dari fase ke fase, dari dekade ke dekade, dari era ke era saya diguyur oleh pengalaman-pengalaman keIndonesiaan, penghayatan kenegaraan dan kemasyarakatan, pembelajaran politik dengan semua multi-relasi bidang-bidangnya. Sejak Sukarno, Hartono hingga Jarkoni. Dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tata nilai masyarakat. Apalagi praktik Negara dan Pemerintah. Di setiap langkah dan tindakan manusia, di setiap kalimat keputusan politik dan perekonomian, sejak dari pilihan ideologinya hingga implementasi lapangan dan pasarnya, begitu mudah menemukan “innalladzina kafaru”.

Yang lebih mengerikan adalah firman berikutnya:

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”

Andaikan sakit jiwa berfokus pada hati, maka kata yang tepat bukanlah sakit hati, melainkan hati yang berpenyakit. Kalau hilang ingatan, yang dimaksud adalah tidak berfungsinya otak sebagai perangkat keras di dalam kepala manusia, yang perangkat lunaknya adalah akal pikiran.

Tetapi sakit jiwa mengandung kasus yang lebih menyeluruh dari peralatan dan fungsi jiwa manusia. Secara keseluruhan di dalam Al-Qur`an yang dimaksudkan dengan hati yang berpenyakit adalah kerakusan keduniawian. Pernyataan Allah berikut ini tidak kalah mengerikan, terutama kalau sampai menimpa diri saya sendiri.

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَيَسۡخَرُونَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۘ
وَٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ فَوۡقَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ
وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Dipertegas oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. pula:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ
إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridho.”

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ،
وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.”

وَيَوۡمَ يُعۡرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ عَلَى ٱلنَّارِ أَذۡهَبۡتُمۡ طَيِّبَٰتِكُمۡ
فِي حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهَا فَٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ عَذَابَ ٱلۡهُونِ
بِمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَبِمَا كُنتُمۡ تَفۡسُقُونَ

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik”.

Mencari contoh kerakusan keduniawian di Negeri modern kita ini semudah mencari rumput di lapangan atau mencari air di lautan. Dan tak ada siapapun, termasuk tokoh-tokoh manusia sehebat apapun, yang mampu berbuat apa-apa, ketika Allah memfirmankan “fazadahumullahu maradla”. Allah menambahkan penyakitnya.

Semoga Jamaah Maiyah dan saya diperkenankan dan dijaga oleh Allah dari inisiatif-Nya sendiri untuk menambah tumpukan dan jenis ragam penyakit di dalam diri manusia, masyarakat dan Negaranya.

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik