Perlombaan Lempar Mayat
Bersyukur perkelahian saya melawan Djaudan bisa digagalkan oleh Jafnan. Atau ketika saya dihadang oleh delapan anak muda di kampung dalam Tamansari, salah seorang memukul samping kepala saya dan anehnya kepala saya tidak bergerak, apalagi badan sampai jatuh. Sehingga mungkin karena saya mègèk tidak bergeming itu yang menyebabkan tujuh orang lainnya tidak lantas serta merta menawur.
Kemudian saya duduk di bangku tepi jalan depan kios, ambil rokok dan menyulutnya, menghisapnya dalam-dalam kemudian menghembuskan dan mengepulkan asapnya dengan penuh kenikmatan seakan-akan saya barusan dapat hadiah lotre. Membuat delapan pemuda itu tidak bisa memahami bagaimana kok yang barusan dipukul dan terancam oleh banyak orang malah duduk santai dan merokok.
Ketika SMA itu peristiwa yang mirip kejadian di dalam Tamansari itu terjadi juga di Notoprajan. Kelak juga terjadi di benteng Fort Rotterdam Makassar. Kemudian di sebuah toko buku Amsterdam, serta sebelumnya di tengah kota Chicago di tengah perjalanan dari Iowa. Kalau berkelahi di masa angon kambing melawan Margin, Kasdu, dan teman-teman lain di komunitas Langgar, juga kakak saya sendiri Achmad Miftah, itu kemesraan, bukan pertengkaran. Eh, pernah juga saya ceramah di sebuah Asrama Mahasiswa di daerah Sagan Yogya, ada mahasiswa hadirin yang nyeletuk tidak enak, sehingga saya tantang berantem sesudah acara, tapi gagal karena dia tidak bisa menemukan saya. Kedua matanya tidak bisa melihat di mana saya. Kemudian banyak peristiwa lagi di berbagai tempat.
Maka saya bercermin dari keindahan masa silam yang saya kisahkan serba sedikit dan seingat-ingat saya itu dan menemukan betapa lemahnya badan saya, betapa awamnya saya dalam urusan perkelahian, dan betapa tidak beraninya saya melakukan apapun kepada sesama manusia yang bisa menimbulkan benturan. Bahkan saya sangat berhati-hati dan waspada sebelum mengambil keputusan tantang penggunaan satu kata saja. Kalau saya menyakiti makhluk ciptaan, berarti saya menyakiti Penciptanya.
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًاوَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
Itu semua membuat saya kagum kepada Indonesia masa sekarang. Takjub kepada generasi terbaru bangsa ultra-modern ini. Betapa perkasa dan beraninya mereka mengucapkan atau menuliskan kata-kata dan kalimat-kalimat di media-media online yang sangat banyak menyakitkan hati, melecehkan nilai, menghina manusia dan kemanusiaan, mengekspresikan subjektivisme terang-terangan, mengungkapkan kecurangan dan ketidakadilan tanpa filter apapun.
Betapa demokratis dan merdekanya anak-anak dan manusia sekarang mengungkapkan apa saja tanpa ditimbang-timbang bahwa komunikannya adalah sesama manusia, sesama makhluk Tuhan, sesama hamba Allah, punya keluarga, terkadang sudah berusia sepuh, terkadang berposisi terhormat di masyarakatnya. Dan berbagai macam kemungkinan lain yang itu semua membuat manusia punya ukuran sopan santun, parameter budaya, kriteria keberadaban, serta ber-sokoguru akhlaqul karimah.
Seolah-olah mereka adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Seolah-olah mereka sedemikian kuat dan perkasanya, sehingga tidak perlu mengkhawatirkan akibat-akibat kehidupan atau risiko-risiko yang bisa membumerangi hidup mereka dan sanak keluarganya. Sejauh pengetahuan saya, Fir’ aun saja, atau Jengis Khan atau Hitler pun, tidak pernah melontarkan kebusukan-kebusukan seperti itu dari mulut manusia di era yang katanya paling maju dibanding seluruh peradaban manusia lainnya yang pernah terjadi dalam sejarah.
لِّيَجۡعَلَ مَا يُلۡقِي ٱلشَّيۡطَٰنُ فِتۡنَةٗ لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ
وَٱلۡقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمۡۗ وَإِنَّ ٱلظَّٰلِمِينَ لَفِي شِقَاقِۢ بَعِيدٖ
“Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat.”
Di tahun 1965, saya kelas VI SD, tiap pagi disuruh Ayah saya mendatangi tempat-tempat di mana ada mayat orang PKI dikuburkan secara darurat tanpa galian tanah yang cukup dalam untuk memenuhi syarat sebagai kuburan atau pemakaman manusia. Guk Durasa, tokoh PKI Menturo yang oleh Ayah saya diamanati menjadi Ketua Koperasi “Setia Usaha”, diajak naik sepeda dari Menturo ke Jombang untuk “nontok biskop” atau nonton film. Di tengah jalan, pas ditangkis, dia disembelih dan dikuburkan di tempat itu juga.
Sehabis Jumatan semua Jamaah membawa berbagai macam senjata dan benda-benda keras menyerbu ke Bakalan ke rumah seorang tokoh PKI dan menyerbunya, menggebuginya sampah lèdèh luluh lantak. Di Kali Gede, samping Kali Kanal, air mengalir ke arah timur berisi ratusan mayat-mayat orang PKI kampul-kampul, dan kami anak-anak berlomba melempar batu dengan menyepakati sebuah sasaran di antara mayat-mayat itu. Kami dapatkan dan ambil ke tepian sebuah karung yang ternyata berisi ratusan alat kelamin lelaki.
Dua tiga truk berisi orang-orang PKI tiap malam disetorkan ke sejumlah Algojo untuk dibunuh satu persatu. Ada yang ditusuk, ada yang dipenggal, ada yang ditelentangkan dan batu besar ditimpakan ke kepalanya, atau ada yang pakai daun kelor baru bisa mati.
Kita adalah penganut falsafah bangsa “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dan saya menyaksikan di masa kanak-kanak implementasi dari kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban. Di Stadion Taliwangsa Kuala Lumpur sama bersama KiaiKanjeng terjun dari penggung untuk melerai sekitar 300 pengunjung yang tawur. Di Tulangbawang Lampung 1500 KK diusir oleh 4000 KK lainnya dan kami didatangkan untuk mengolah ishlah, tabayyun, dan perdamaian kembali.
Di Sanggau kami hampir terserimpung menjadi “pelanduk di antara dua gajah yang bertarung”, sewaktu-waktu bisa menjadi sasaran anak-anak panah atau tenung, kalau Allah tidak memberi hidayah pertolongan bagaimana memproses perdamaian antara masyarakat Dayak dengan Madura. Di Kedungombo Boyolali saya dengan Kiai Tohar bergerilya kejar-kejaran dengan tentara, tidur di sawah-sawah, berebut perahu nelayan darurat, menegosiasikan akibat-akibat dari penggusuran yang Pak Harto sampai marah dan mengeluarkan kosakata “lingsem” dari khazanah Jawanya.
Di Sampang, Makassar, Mandar, dan tempat-tempat lain saya mengalami keterancaman serius oleh senjata-senjata kekuasaan. Berbagai pengalaman itu membuat saya memilih kelembutan, kesantunan, kebijaksanaan dan kemashlahatan. Dan itu memposisikan saya pada rasa takjub yang luar biasa kepada isi media-media, yang tayang darat apalagi yang online, yang subjeknya adalah manusia-manusia pemberani, perkasa, gagah, merdeka, seakan-akan mereka adalah prajuritnya Malaikat Jibril atau petugasnya Izroil yang dipayungi oleh kemahakuasaan Tuhan.
Sampai-sampai saya dan teman-teman Perdikan bikin drama “Sengkuni”, adiknya si sulung Gendari, satu dari 100 bersaudara putra Prabu Gandara. Gendari dikawin oleh Prabu Destarata Astinapura, kemudian ketahuan ternyata dia janda seekor kambing. Destarata murka. Kerajaan Gandara diserbu habis. Raja dan 100 anaknya ditangkap. Di dalam penjara mereka hanya dikasih jatah makan sebutir beras per orang setiap hari. Pasti akan mati satu persatu.
Sehingga mereka berunding dan menyepakati untuk harus ada yang tetap hidup, dan dipilihlah Sengkuni. Tiap hari butiran-butiran beras dikumpulkan, dimasak untuk makan Sengkuni. Saudara-saudaranya mati kepalaran satu demi satu, dan Sengkuni diizinkan untuk memakan daging mayat saudara-saudaranya supaya bertahan hidup dan kelak meneruskan perjuangan membela martabat keluarga dan Kerajaan. Kemudian tiba saatnya Sengkuni bebas dari penjara, pelan-pelan atas pertolongan Gendari, ia menjadi pejabat penting di bawah Destarata hingga Duryudana.
Sengkuni dikenal licik, munafik, provokator, dan contoh dari politisi busuk. Andaikan saya mengalami seperti yang dialami oleh Sengkuni, dipenjara sengsara dan harus makan daging saudara-saudara saya sendiri, nanti keluar penjara saya akan membawa dendam yang sekesumat-kesumatnya. Tidak hanya kepada Destarata dan Astinapura. Tapi juga kepada kehidupan ini seluruhnya.
Saya akan susun strategi untuk melakukan penghacuran-penghancuran, terorisme sebrutal-brutalnya, karena tidak ada apa-apa dalam sejarah kehidupan ini kecuali kekejaman dan balas dendam. Saya tidak akan berkiprah sekadar manjadi politisi busuk, provokator, hasut sana hasut sini. Karena tingkat penderitaan hidup saya sangat melampaui batas yang bisa ditanggung oleh jiwa manusia.
Maka saya sungguh takjub kepada budaya komunikasi era milennial ini. Kagum kepada isi media-media terutama sosmed. Mereka pernah mengalami penderitaan seberapa perih dan sakit, sehingga merasa berhak untuk membusukkan mulutnya sampai tingkat ekstrem dan melawan segala nilai kebudayaan, kemanusiaan dan peradaban.
Saya menatap cermin, bahkan Sengkuni masih lebih manusia dibanding kita sekarang. Sengkuni masih punya kendali diri, punya self-control, punya dimensi puasa, bahkan punya kemuliaan di sejumlah hal dalam peta dirinya. Aku memohonkan kepada Allah Swt agar anak-anakku di seluruh jaringan dunia Maiyah tidak tergolong di kalangan orang-orang yang Allah menyesatkan mereka, sebagai akibat dari kecenderungan sesat mereka sendiri.
وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ
“Dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ
وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”