Pengalaman Spiritual Nomo Koeswoyo
Tersimpan nilai ketuhanan di balik lagu-lagu Koes Plus. Karya kreatif memang tak jauh berbeda dengan pengalaman spiritual penulisnya.
Lagu, karakter, dan spirit Koes Bersaudara itu mengekspresikan keindonesiaan. Begitulah ucap Cak Nun di tengah acara Mocopat Syafaat, yang menjelang pukul 21.00 hujan deras mengguyur kawasan Kadipiro dan sekitarnya. “Bahwa kalau ngomong musikus Indonesia yang nasionalis itu ya teladannya Koes ini. Bukan hanya perkara perang saja, namun juga mereka mewakili nilai-nilai Indonesia. Koes Ploes itu ndemenakake.”
Tiap lirik Koes Bersaudara pun menyiratkan dimensi religiositas. Lagu Andaikan Aku Datang Kembali, misalnya, seperti dikatakan Cak Nun sebetulnya merupakan pengendapan spiritual Tony Koeswoyo karena selama hidup merasa kurang dekat dengan Tuhan. Kendati publik umum memahaminya sebagai lagu percintaan, terutama hubungan cinta perempuan dan laki-laki, menurut Yai Muzammil — mengutip hadis qudsi — “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku.”
Kisah di balik lagu legendaris itu didengar Yok sesaat kakaknya, Tonny Koeswoyo, bilang kalau selama hidup ia menyesal telah banyak melangkah melampaui batas kehidupan yang digariskan Tuhan. Rasa sesal itu lalu tertuang dalam penggalan lirik, “…andaikan Kau datang kembali, jawaban apa yang kan kuberi. Adakah jalan yang kutemui, untuk kita kembali lagi…”
Pengalaman rohani yang terejawantah ke dalam baris lirik lagu itu juga dirasakan Yok Koeswoyo. Cak Nun pernah mendapatkan rekaman lagu hasil tangan kreatifnya tapi tak termuat di seluruh album Koes Plus. Isinya adalah terjemahan Al-Fatihah. Ia menyisipkan terjemahan itu ke dalam rekaman tanpa sebelumnya berupaya mengetalasekan identitas keagamaan tertentu.
Lagu-lagu Koes Plus, imbuh Cak Nun, selalu sarat akan pesan-pesan Qurani. Keduanya bersinggungan erat, disadari atau tidak oleh jamak orang.
“Beliau ini,” seraya memegang pundak Nomo Koeswoyo, “masih satu nasab dengan Sunan Drajat.” Keluarga Koeswoyo itu masih keturunan bangsawan di Tuban. Meski mewarisi darah biru, sepak terjang mereka begitu bersahaja. Dari jalur ibu, Koes Bersaudara juga merupakan kemenakan dari Bupati Tuban pada era kolonialisme di Hindia-Belanda.
Saat ditanya oleh salah seorang peserta, Henri dari Rengasdengklok, seputar proses kreatif di balik menulis lagu, Nomo Koeswoyo mengaku dirinya mustahil lepas dari sejumlah tema transendental. “Saya menulis lagu ini setelah mempelajari pelajaran-pelajaran dari-Nya. Kita tidak boleh melupakan Dia. Apa tugas kita di dunia ini kalau tidak mengurusi segala ciptaan-Nya,” jawabnya seraya bertanya balik.
Eyang Nomo mengaku bahwa hidupnya telah pasrah sepenuhnya kepada Tuhan.
Perjalanan spiritualnya memang panjang dan melelahkan. Pencapaiannya sekarang adalah hasil akumulatif masa silam, terutama di saat berusia belasan tahun. “Saya pernah bermimpi ketemu Yesus,” tuturnya membuka cerita. Waktu itu dirinya masih berseragam biru-putih. Duduk di kelas tiga.
Semasa muda hobinya mabuk. Saking banyaknya mengonsumsi minuman keras, Nomo Koeswoyo muda dilarikan ke rumah sakit. Selang beberapa hari ia sudah diperbolehkan pulang. “Saat keluar saya kepengin ketemu pacar. Dia orang Kristen tapi sebelum meninggal alhamdulillah sudah masuk Islam,” kenangnya.
Di masa muda ia mengaku belum dekat dengan Tuhan. Di rumah pacarnya itu ia menyaksikan Yesus keluar dari tanah. Sontak Nomo beliau pun bilang sesuatu. Sebab dirinya baru pulang dari rumah sakit kalimat yang keluar dari mulutnya: “Sembuhkanlah aku.”
Lain hari ia tiba-tiba mendengar suara sangat keras. Entah dari sudut ruangan mana suara itu keluar. Namun, kalimat itu begitu jelas. Ujaran seseorang tak dikenal itu menyebutkan, “Yen pengin waras mangan o iwak asu.” — bila ingin sembuh makanlah daging anjing.
Sampai sekarang Nomo Koeswoyo tak tahu sumber kalimatnya dari mana. Ia pun mengikuti nasihat itu. Menurut Cak Nun, cerita tadi bukan hal penting lagi sang penuturnya. Melainkan “shortcut” informasi yang membawa Nomo muda untuk mencari obat penawar. Sekalipun jenis obat yang dimaksud terkategorikan haram. Namun, itu tak lagi menjadi masalah sebab kondisinya darurat. Yai Muzammil melambari dasarnya lewat penggalan ayat.
Helatan Mocopat Syafaat malam itu diperkaya oleh piweling Nomo Koeswoyo. Kisah demi kisah yang diutarakan menambah khazanah pengetahuan bagi majelis ilmu Maiyah. Belajar kepadanya membuat alur sinau bareng begitu multidimensional. Tak lupa pula juga sangat menggembirakan dengan lagu-lagu nostalgia Koes Bersaudara.