Pendakian Ibrahim, Eksperimen dan Eksplorasi Tauhid
Alquran menceritakan kisah Nabi Ibrahim yang ingin memantapkan keimanannya kepada Allah. Kisah ini diabadikan dalam Qs. Al-Baqarah: 260. Pada suatu hari, dengan akrab Ibrahim As. berdialog kepada Allah Swt.
“Ya Rabb, mbok ya tolong saya ini diperlihatkan kuasa Pannjenengan yang menghidupkan dari kematian,” ujar Ibrahim dengan penuh harap. “Loh, kamu ini masih ndak percaya kalau Aku ini Al-Muhyi wal Mumiit?” sahut Allah Swt. dengan heran kepada Ibrahim.
“Bukannya seperti itu, Ya Rabb. Hamba ini sangat meyakini kuasa-Mu, akan tetapi hamba kepengen hati ini lebih mantap lagi mengimani Engkau…,” jawab Ibrahim sambil ketakutan karena di kira su’udhdhon.
“Oh, kalau begitu kamu ambil empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya. Terus letakkan di puncak tiap-tiap satu gunung satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya burung-burung itu datang kepadamu dengan segera,” perintah Allah kepada Ibrahim.
Kemudian Ibrahim menyembelih burung-burung yang ia dapatkan menjadi beberapa potongan. Setelah menyembelih, Ibrahim pun berangkat melakukan pendakian four summits. Namun, jangan dibayangkan pendakian di masa para nabi seperti pendakian masa sekarang di mana harus membayar simaksi, membawa surat keterangan sehat, perlengkapannya harus standar pendakian, dan lain sebagainya.
Keempat gunung tersebut dapat ditempuh dengan persiapan mental, fisik, dan spiritual yang matang oleh Ibrahim. Pada setiap puncak gunung diletakkanlah potongan-potongan burung yang telah disembelihnya. Lalu dipanggillah burung-burung itu dengan “cuitan khas burung manggung” dan akhirnya burung tersebut hidup kembali serta terbang ke arah Ibrahim.
Selain hikmah keagugan Allah sebagai Dzat Yang Maha Menghidupkan Maha Mematikan, saya tertarik mengambil hikmah dari sudut pandang yang lain. Yaitu dari kisah pendakian gunung yang dilakukan Ibrahim. Allah Swt. berfirman kepada Ibrahim As. agar menempuh perjalanan panjang dan mendaki empat gunung bukan hanya sekadar disuruh olahraga atau ber-tadabbur alam seperti orang tamasya. Melainkan, momentum tersebut merupakan bagian eksperimen dan eksplorasi untuk membuktikan kuasa Allah atas makhluk-Nya.
Dari kisah pendakian Ibrahim As. ini, kita diberikan tamsil bahwa mendaki gunung bukan sekadar kategori olahraga yang dikenal khalayak seperti saat ini. Mendaki gunung adalah “kewajiban”. Kewajiban untuk men-tadabburi kauniyah Allah serta bertafakkur atas kemanusiaan. Bahwa kalau kita sampai di puncak gunung, “manusia itu makhluk yang kecil, sing gedhe mung ndase wae”. Apalagi kesombongan yang bisa manusia besar-besarkan di hadapan Allah Swt?