Pemimpin Berhuma Rakyat
“Bekal pemimpin nomor satu bukan profesionalitas. Bukan pula keterampilan manajemen. Ya itu penting. Tapi paling utama adalah rasa tidak tega terhadap penderitaan orang lain. Pemimpin harus penuh kasih sayang dan kesantunan kepada orang lain,” ucap Cak Nun di hadapan pemerintah kota Madiun Kamis siang (26/08). Cak Nun juga menyinggung empat sifat seorang pemimpin yang ideal dijadikan parameter kepemimpinan. Beliau menukil empat sifat Kanjeng Nabi, yakni shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Dalam acara bertajuk Sinau Bareng dan Sosialisasi Ketentuan Cukai itu Cak Nun berpendapat empat sifat tersebut cenderung sinambung. Bukan berdiri sendiri, melainkan merupakan sebab-akibat. Pertama, shiddiq yang diartikannya sebagai kesungguhan. “Bukan kejujuran sebagaimana dipahami sebagaian besar orang. Kejujuran kan output dari kesungguhan. Baru kedua berikutnya amanah. Kalau seseorang sudah sungguh-sungguh dan bisa dipercaya maka dia berposisi tabligh. Tabligh artinya menyampaikan, sedangkan fathanah merupakan kecerdasan hidup,” imbuhnya.
Penjelasan ini memberikan dasar nilai yang hendaknya diterapkan bagi seorang pemimpin. Pun bermanfaat pula dalam rangka sosialisasi yang tengah diselenggarakan pemerintah kota Madiun. Itulah sebabnya, kepemimpinan mesti dijalankan tak sekadar menggunakan pikiran tapi juga hati. Cak Nun menganalogikan pikiran merupakan birokrasi pemerintahan, sementara hati adalah presidennya. “Jadi kita memimpin rakyat itu dengan eksplorasi kasih sayang,” jelasnya.
Kendati acara diselenggarakan terbatas tanpa audiens fisik kecuali via virtual (livestreaming YouTube), khazanah sinau bareng terbabar eksploratif dan kontekstual. Dengan penggalian tema oleh sang moderator, Suko Widodo, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Cak Nun terdorong merespons problem komunikasi maupun sengkarut cara berpikir di masyarakat.
Salah satunya perkara “jarak pandang” yang menurut Cak Nun bukan hanya wilayah penjarakan fisik di era pandemi. Melainkan juga kejelian membedakan antara pemerintah dan negara sampai kedudukan rakyat, masyarakat, ataupun umat. Menurutnya, rakyat merupakan pemegang kedaulatan tapi ironisnya di Indonesia rakyat belum sepenuhnya berdaulat. “Rakyat ini beda dengan umat. Kalau umat dia adalah sekelompok masyarakat yang seperibuan. Misalnya, ibu nilainya Islam. Bagi agama lain tentu juga punya nilai sendiri-sendiri,” terang Cak Nun.
Beliau menegaskan pentingnya “ambil jarak” terhadap berbagai perbedaan itu. “Dalam segala hal, termasuk negara dan pemerintah hingga rakyat sampai umat, harus dilandasi sangkan dan paran secara jelas. Kesadaran hulu dan hilir karena itu sangat penting,” lanjutnya. Mengambil jarak sama dengan berpikir objektif. Tentu saja ambil jarak yang dimaksudkan seyogianya didasarkan atas pertimbangan sangkan dan paran secara bernas pula.
Di samping Wali Kota Madiun maupun Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) kabupaten setempat, kegiatan sinau bareng tersebut juga melibatkan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM). Elemen masyarakat yang mengawal keterbukaan sekaligus distribusi informasi ini dinilai penting peranannya. Pihaknya didorong supaya pandai mengambil jarak sehingga bersikap poros tengah. Cak Nun berpesan agar proses pengambilan jarak hendaknya terukur, seimbang, tepat, maupun jelas sesuai konteks ruang dan waktunya.
Senada dengan pertimbangan itu, Suko Widodo melanjutkan, “KIM harusnya berfungsi untuk ya mengontrol dan mengawasi. Soalnya salah satu yang berbahaya dari komunikasi adalah distorsi,” ucap dosen Ilmu Komunikasi yang juga menjabat Ketua Pusat Informasi dan Humas UNAIR itu. “Apalagi potensi kekacauan itu semakin masif dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi [yang] sekarang semakin pesat. Karenanya KIM harus mengedepankan kalau dalam teori komunikasi disebut two-step flow of communication.”
Acara berlangsung selama dua jam dengan pendalaman topik secara padat dan ringkas. Nuansa sosialisasi yang terkesan kaku dan formal beruntungnya dipercair dengan musik KiaiKanjeng yang jamak memainkan nomor-nomor unggulan. Drs. H. Maidi SH, MM, Memimpin. Pd.,Wali Kota Madiun, merasa bungah atas kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng.
“Kalau tidak ada Covid-19 kegiatan kita kemas yang lebih meriah karena masyarakat tentunya juga ingin melihat secara langsung Cak Nun dan KiaiKanjeng,” katanya. Meskipun demikian, pihaknya telah mempersiapkan acara dengan matang sesuai protokol kesehatan. Seluruh panitia acara sudah dites rapid antigen.
Pemerintah kota Madiun melalui Kepala KPPBC, Iwan Hermawan, juga melaporkan pendapatan cukai tahun 2020 bagi negara mencapai sebesar 176,31 triliun rupiah. Cukai merupakan pemasukan negara terbesar selain pajak. Menurut Iwan, capaian tersebut akan sukar teraih tanpa kerja sama semua pihak. Khususnya menekan angka pelanggaran yang berdampak pada pemasukan cukai. Kerja sama itu diwujudkan lewat pemberantasan cukai bodong maupun cukai palsu.
“Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang melakukan pemalsuan pita cukai untuk meraup keuntungan. Karenanya masyarakat perlu terus dipahamkan terakait apa itu cukai dan bagaimana cara pencegahannya,” ujar Iwan.