Pemberontakan di Sorga
Apakah keluarga Menturo itu dilimpahi karomah atau fadhilah khusus sehingga istiqamah menyelenggarakan dan mengistiqamahi Forum massal Padhangmbulan sampai 30 tahun, dan itu tidak pernah terjadi di manapun dan di zaman atau era siapapun?
Jawabannya: tidak.
Apakah mereka itu keturunan beberapa Nabi sekaligus, atau dzurriyah Kanjeng Nabi tapi dalam alur nasab yang mencembung kemudian sekian abad kemudian mencekung kembali dan mengerucut ke keluarga Menturo, sehingga Luthfi Jamaah Maiyah membikin narasi wirid khusus untuk mereka atas jasa-jasanya terutama lahir dan menyebarnya barokah Maiyah?
Jawabannya: bukan.
Apakah masyarakat dan kaum muda Dipowinatan itu hebat dan begitu penting? Tidak. Apakah proses Teater Dipo dan Teater Dinasti hingga Perdikan Teater itu bagian penting dari regenerasi kebudayaan dan kreativitas bangsa Indonesia? Tidak. Apakah Pak Kanjeng hingga KiaiKanjeng itu monumen yang harus dihormati dan dicatat? Tidak. Apakah laralapa sejarah kecil hidup saya dari Menturo, Gontor, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan hingga Kadipiro itu mengandung alur wacana ilmu dan kebijaksanaan hidup yang bisa menjadi kolam, danau atau bahkan lautan ilmu untuk diciduk dan diminum?
Tidak.
Kalau saya dan teman-teman itu yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka pasti dan wajib jawabannya adalah: Tidak. Ribuan kali saya mengemukakan bahwa mangga manis itu tidak hanya bergantung pada mangganya, tapi juga pada lidahnya. Ada mangga yang tidak manis karena mangga itu memang kecut. Ada juga mangga tidak terasa manis karena lidah orang yang memakannya tidak bisa merasakan manis.
Segala sesuatu dalam kehidupan ini bermakna atau tidak bergantung pada kemampuan setiap orang untuk memaknainya, tergantung kesadaran untuk berterima kasih dan seberapa mendalam rasa syukur pada mereka yang dilimpahi.
Setiap keluarga sebanyak 13.256, memperoleh tiga kali lipat dari harga tanah dan bangunan rumahnya. Yang bersikap kooperatif dan sabar terhadap sistem dan irama pembayarannya, mendapat lima kali lipat. Sebagian kecil lainnya, yang saya nilai setia dan ikhlas, saya upayakan mendapatkan enam kali lipat. Tidak ada yang oleh Negara cq pengadilan tertinggi Mahkamah Agung dinyatakan bersalah atas tenggelamnya 13.256 rumah itu oleh luapan lumpur. Pihak yang dijelek-jelekkan, disalah-salahkan, didhalimi dan difitnah, saya sejukkan hatinya dan atas hidayah Allah legowo membangunkan rumah kepada belasan ribu penduduk itu dan menghabiskan hampir 11 Triliun Rupiah.
Tetapi yang terjadi di dalam komunikasi lokal hingga nasional atas kejadian itu adalah fitnah, manipulasi data, pengingkaran fakta, dengki, hasad, kebohongan, dan kedhaliman. Baik dari kalangan tokoh, kelas elit dan menengah, media massa, kaum Ulama dan cendekiawan, bahkan juga Pemerintah. Alih-alih ungkapan terima kasih, atau sekadar pengakuan, apalagi rasa syukur.
Sampai saya bersumpah bahwa kasus lumpur itu akan merupakan ujian bagi Negara Indonesia untuk jaya atau hancur. Kalau tidak benar sikap dan akhlaqnya, maka memang tidak pantas akan selamat masa depannya. Dan memang itu yang terjadi. Kesadaran untuk berterima kasih tidak merupakan mainstream, dan kesadaran untuk bersyukur sama sekali tidak viral.
Demi Allah, kalau kelak para pelaku kedengkian dan kekufuran dalam kasus lumpur itu ternyata kelak menjadi penghuni sorga, saya tidak jamin akan tidak melakukan pemberontakan dan besar-besaran. Kalau selama di dunia kita masih bisa legowo dan mengalah, karena masih ada harapan sorga. Tetapi kalau di sorga pun berlangsung fakta yang menurut saya itu adalah ketidakadilan, saya tidak tahu bagaimana caranya untuk tidak gugat dan memberontak.
Sokoguru penyair Indonesia menulis:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Mangga ini manis atau tidak, separonya bergantung pada lidah yang memakannya. Tokoh ini tokoh itu, orang ini orang itu, siapapun pelaku sejarah, apapun yang dilakukannya, bermakna atau tidak, separonya bergantung pada pemaknaan yang dilakukan oleh orang lainnya, yang segenerasi ataupun sesudahnya.
Maiyah bermakna atau tidak, ia berdiri tidak sendiri. Ia bergantung pada yang memaknainya atau tidak memaknainya. Kehidupan ini bukan makhluk hidup. Yang hidup adalah manusia. Kehidupan adalah kematian, kecuali manusia memaknainya.
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kewajiban elementer dan mendasar bagi setiap manusia dan suatu bangsa adalah jangan sampai “tak tahu diuntung”. Di dunia, yang meskipun remeh ini, jangan sampai ada anak yang tidak menyadari betapa jasa Ibunya atas kehidupannya. Jangan ada anak yang tidak menghayati betapa kedua orangtuanya susah payah membesarkannya. Anak yang tidak punya rasa terima kasih di dalam hati dan pikirannya terhadap kasih sayang, kerja keras dan semua perjuangan Ibu-Bapaknya?
Bahkan tidak terbatas pada Bapak Ibu atau orangtua biologis.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ
إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “husy!” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Itu mestinya berlaku untuk suatu bangsa dalam mengelola sejarahnya. Jangan sampai ada Indonesia yang tidak mengapresiasi sejarah masa silamnya. Jangan sampai ada Indonesia yang pengurus pembangunannya tidak belajar kepada dan belajar dari, serta menghormati dan menggali nilai-nilai dari nenek moyangnya.
Jangan sampai ada Indonesia yang pada hari ia memerdekakan dirinya ia langsung mengingkari dirinya. Jangan ada Indonesia yang menumbuhkan dirinya tidak lagi sebagai Indonesia, tetapi menjadi bangsa Barat, Bangsa Cina dan Bangsa Arab. Itu pun bukan “menjadi” melainkan memperbudak dirinya. Bahkan dengan pembudakan diri selengkap-lengkapnya. Dari konstitusi dan filosofi kenegaraannya, hingga orientasi kebudayaannya, bahkan membiarkan kepercayaan dan agamanya diracuini oleh Tuannya dari mancanegara.
Jangan sampai berlangsung Indonesia yang “Tak tahu diuntung”. Yang hidup semena-mena. Berlaku semau-maunya. Kesana kemari seenaknya udel-nya. Melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan apapun saja kecuali nafsunya sendiri. Yang menghina mayoritas di antara bangsanya sendiri, misalnya Jawa, yang mengkontribusikan “kesadaran sangkan paran”. Yakni kawruh asal-usul dan tujuan. “Min aina wa ila aina”. Seolah-olah itu adalah klenik atau khasanah kebatinan. Padahal itu landasan sangat rasional dan faktual bagi ilmu dan pengetahuan untuk setiap dan semua manusia.
Jangan sampai ada Indonesia yang merendahkan Mataram, Majapahit, hingga Kalingga dan Medang Kamulan. Jangan sampai ada pemimpin Indonesia yang kalah mulia dari Ratu Shima atau Sultan Agung Hanyakrakusuma. Jangan sampai ada Indonesia yang melecehkan nenek moyangnya. Yang dari hatinya muncul ucapan “Uff!” atau “Husy!” atau “Prèk” kepada hikmah masa silamnya.
Indonesia adalah tanah air dengan penduduk yang mampu menaklukkan keruwetan menjadi bersahaja. Bangsa Indonesia bukan penyembah kecanggihan kecuali diolah di tangannya sehingga menjadi kesederhanaan.
Manusia Indonesia mengerti bahwa mereka sangat diuntungkan oleh asal-usul penciptaan. Mereka menikmati kangkung dan ayam, tetapi tahu bahwa tidak mampu menciptakan keduanya. Bahkan belum tentu punya gagasan rintisan untuk menjadikan tidak ada menjadi ada kangkung dan bayam. Andaikan mereka yang berperan jadi Tuhan, yang menciptakan makhluk, mereka tidak mampu menentukan ragam pluralitas alamnya. Ada malaikat, ada jin, setan, manusia, binatang, tetumbuhan, batu dan debu-debu. Andaikan subjek Indonesia yang menciptakan manusia, tidak akan punya gagasan tentang bentuknya, ragam organ-organnya. Apalagi mengkonsep dan menyusun cara kerjanya. Lebih-lebih lagi keindahannya.
Di antara bangsa-bangsa di muka bumi, bangsa Indonesialah yang paling punya sejarah dan pengalaman untuk menghayati betapa semua ciptaan Allah tidak hanya sangat indah, tetapi juga fungsional dan efektif. Siapapun yang secara detail dan dengan mata kelembutan memperhatikan sekadar jari jemari tangannya, bahkan sekadar seekor semut, kutu atau serangga terkcil pun saja, sesungguhnya mustahil tidak lantas merasakan ketakjuban atas itu semua.
Bahkan semua isi alam semesta, semua yang dilakukan oleh ummat manusia, indah atau tidak indah bergantung pada pemaknaannya. Apakah kita “mencari yang buruk dari yang baik-baik” ataukah “mencari yang baik dari yang buruk-buruk”. Semua bisa mengukur dan menilainya: arus yang mana yang berlangsung dalam perikehidupan nasional kita, gejala keras yang bagaimana yang berlaku di media-media, di medsos, dengan ragam wadah-wadah komunikasi dan interaksinya.
Andaikan Indonesia bisa melakukan penelitian dengan metodologi yang landasannya seperti itu. Kemudian mengasumsikan, menghipotesiskan atau menyimpulkan apakah bangsa Indonesia hari ini “tak tahu diuntung” atau sebaliknya. Padahal jelas bangsa Indonesia adalah kumpulan hamba-hamba Tuhan yang paling memiliki landasan pengalaman, ilmu dan kawruh untuk tepat pijakan koordinat semestawinya untuk menghayati dan mengucapkan:
ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”