Pemberi Pengaruh Bangsa Kerjanya Tuat-Tuit
Saya selalu terkagum-kagum setiap mendapati istilah “pegiat media sosial”. Pegiat kok media sosial? Makhluk apakah gerangan?
Saya bukan ahli Bahasa. Saya juga bukan ahli apa saja. Kalau harus diklasifikasikan, paling mentok saya termasuk dalam kuadran orang yang mengerti sedikit tentang sedikit hal. Termasuk dalam berbahasa. Maka kekaguman saya pada istilah pegiat media sosial setidaknya mewujud atas dua keadaan. Pertama, istilah tersebut tentu lahir hanya karena ketinggian mutu budaya serta kecanggihan berbahasa yang otak saya tak bisa turut menggapainya.
Kedua, ketika otak saya tidak sampai, masyarakat mainstream justru sebaliknya. Terbukti istilah pegiat media sosial saat ini sudah sedemikian masif mewarnai arus informasi publik. Bukan sekadar dalam lalu-lalang ruang pemberitaan atau obrolan sehari-hari, dalam narasi resmi bernegara pun istilah tersebut semakin menemukan eksistensinya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pegiat” diartikan sebagai nomina (kata benda) yang giat melakukan (bekerja, bertindak, dan sebagainya). “Pegiat” sejajar dengan “aktivis” yang merupakan serapan dari bahasa Inggris. Pegiat merupakan pelaku yang me-giat-kan sesuatu. Struktur kata kerja me-giat-kan mencakup deretan kerja riil mulai dari menghidupkan, menekuni, sampai terus istiqomah menumbuhkembangkan. Pertanyaannya, menggiatkan apa? Media sosial? Apa maksud menggiatkan media sosial dalam konteks ini? Karena ternyata pihak-pihak yang membangun dan mengembangkan sistem teknologi suatu platform media sosial justru tidak disebut sebagai pegiat media sosial.
Sebagai perbandingan, “pegiat seni tradisi” misalnya, mudah untuk diuraikan. Maksudnya tentu bahwa pegiat seni tradisi adalah orang atau kelompok yang nguri-uri: menghidupkan, menekuni, dan menumbuhkembangkan salah satu atau beberapa cabang seni tradisi. Ada sesuatu yang jelas-jelas dikerjakan. Ada totalitas di dalamnya.
Kalau pegiat media sosial?
Saya tidak berani menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pegiat media sosial sebenarnya adalah orang-orang yang kerjaannya medsos-an melulu. Tuat-tuit, fesbukan, instagraman, atau mungkin tik-tokan. Saya tidak akan berani. Sedangkan mereka, dengan latar identitas sebagai pegiat media sosial kemudian ditahbiskan sebagai influencer, pemberi pengaruh.
Betapa luar biasa. Influencer. Pemberi pengaruh. Dan karena skala luas pengaruh mereka, maka merekalah sesungguhnya pemberi pengaruh bangsa. Merekalah penyampai pesan, pemberi kabar dalam masyarakat. Mereka adalah pembentuk dan penggiring opini. Mereka adalah bocah angon di bukit-bukit algoritma pada era Revolusi Industri 4.0. Maqom yang tak main-main. Maqom yang teramat mulia. Kekaguman saya pada pegiat media sosial naik kelas menjadi ketakjuban.
Saya memiliki krenteg untuk menulis artikel ini setelah membaca ulang dan memaknai kembali esai Mbah Nun “Plonga-plongo Dunia Akhirat” dalam rubrik Kebon nomor 232. Di dalam esai tersebut Mbah Nun di antaranya menceritakan tentang W.S. Rendra yang oleh Mbah Nun dan Bu Novia ditemani sampai saat-saat terakhir hayat beliau. Yang ingin saya sampaikan, saya bersyukur pernah mengalami zaman yang memungkinkan saya tumbuh (kalaupun) dengan influence, maka influence itu berasal dari orang-orang yang memang layak memberi pengaruh, seperti – salah satunya – W.S. Rendra. Saya bersyukur pernah hidup di zaman sebelum orde media sosial. Sebuah zaman yang mengalir lamban, tetapi cenderung lebih mampu membentuk kemurnian dan kesejatian.
Sosok besar seperti W.S. Rendra memberi pengaruh kepada bangsa dengan karya dan awu-nya. Dengan pendapat maupun diamnya. Dengan kehadiran juga ketiadaan. Saya tidak tahu padanan dalam Bahasa Indonesia untuk istilah awu. Sepemahaman saya, awu adalah kharisma yang lebih inti dan transenden. Kulit terluar dari awu adalah pesona. Pesona berbeda dengan citra. Citra bisa diskenariokan, bisa dipoles, bisa di-dempul sana-sini. Sedangkan pesona sebagai kulit terluar dari awu lahir secara ilahiah, kemudian tumbuh alami dengan ongkos perjuangan dan duka derita.
Tetapi, semua itu sekarang tak perlu. Zaman telah berubah. Peradaban kini tak lagi mengenal apa itu awu. Dan figur-figur influencer, pemberi pengaruh bangsa, saat ini adalah pegiat media sosial yang kerjaannya cuma tuat-tuit saja.