Pejuang Sejati
Pertengahan 2014 saya izin ke Bapak untuk “sementara” meninggalkan Pondok dengan tujuan untuk belajar Kepesantrenan kepada seorang Kyai di Yogja yang saya temui selepas Mocopat Syafaat. Meski sebenarnya hanya ingin pergi meninggalkan hiruk-pikuk yang kemudian menyebabkan Bapak saya kemudian hari sakit, bukan sekadar karena ingin belajar kitab kuning dan hal-hal lain tentang bagaimana menjaga nilai perjuangan Islam di Nusantara. Tapi begitulah bila Allah Punya Rencana.
Meski sebagai jamaah Maiyah protolan, persinggungan dengan Maiyah diawali dari sebelum kata Maiyah dinisbatkan bagi mereka yang setia belajar kepada Mbah Nun, mudah-mudahan cukup bagi saya untuk menilai secara pribadi bahwa tak mudah berposisi tandem dengan Mbah Nun di panggung, apalagi ketika didaulat sebagai marja atau referensi ilmu “keislaman.” Sederhananya, berposisi sebagai kyai dalam lingkup Maiyah.
Lumayan silih berganti posisi ini di panggung Maiyah, dan dapat dipastikan bagaimana “panas”-nya. Bukan karena menyediakan popularitas atau kemewahan di hadapan ribuan manusia, tapi siapa yang kuat membayangi keikhlasan dan ketotalan Mbah Nun.
Maka ketika pertama saya melihat ada Kyai muda yang menemani Mbah Nun di panggung Maiyah, hati saya berkata bahwa inilah jawaban dari doa panjang. Lekas saya berangkat ke Yogya untuk menemui dan memohon agar diangkat menjadi santrinya. Mulailah lembar hidup saya di Pondok Rohmatul Umam, Kretek.
Meski terbilang sebentar, tapi dalam 6 bulan syukur saya di kemudian hari makin menjadi. Tak satu pun kitab kuning yang ditamatkan, bahkan Jurumiah yang mukhtashar jiddan pun hanya sampai 4 halaman, padahal diaji setiap pagi khusus antara saya dengan Beliau. Hingga 2019 ketika kami umrah bersama pun, kitab tersebut tak juga ditamatkan meski diaji di Haramain.
Bukan karena ketidakmampuan, tapi karena kedalaman dan keluasan ilmu beliau. Satu kalimat dalam kitab itu baru selesai beberapa hari, karena kemudian kita diajak mengembarai jaring ilmu dan lautan hikmahnya.
Kerjaan saya yang lainnya adalah menjadi sopir pribadi beliau. Dari mulai Maiyahan, mendatangi majelis-majelis ilmu, silaturahim, hingga ziarah. Di masa itulah saya banyak bertemu dengan Kyai-kyai besar, Habaib, hingga Awliya Allah yang sembunyi. Begitu luas pergaulan beliau. Begitu kuat daya silaturahimnya.
Selama menyopiri beliau pula saya punya banyak kesempatan menikmati Mbah Nun dari dekat, dan mendapatkan berkah kemahsyuran Nahdlatul Ulama. Karena beliau adalah murid langsung KHR. Asad Syamsul Arifin, Asembagus. Dan dari beliau pula saya mendapatkan banyak cerita tentang keutamaan Ulama-ulama dahulu juga sekarang.
Aneh memang, ini perasaan yang mirip dengan ketika Bapak dan Sahabat saya Cussy meninggal. Nyaris tak ada rasa sedih. Yang ada justru iri dan bangga. Di mata saya, baik Bapak — Allah yarham. Cussy dan kini Kyai Ahmad Muzammil adalah manusia yang hidupnya penuh. Sepertinya tak ada kesempatan bagi pikiran dan rasa buruk untuk dibiarkan singgah dalam hidupnya.
Pribadi yang sudah disedekahkan bagi kemaslahatan Ummat. Ummat adalah prioritas. Maka ketika Allah memanggilnya, rasa sedih muncul justru karena malu diri. Dan syukur karena Alhamdulillah Allah berkenan mempertemukan saya dengan manusia-manusia yang dijaga oleh Allah dalam urusan niat, akhlak, dan keutamaan ilmu.
Tidak berhenti sampai di Yogya saja kisah kami. Ketika pada 2019 Bapak saya berkunjung ke Pondoknya untuk terakhir kali, beliau berpesan kepada saya sambil memandangi kamarnya yang belum jadi, “A, kalau nanti ki Muzammil ke sini, ini kamarnya.” Padahal sepanjang Pondok berdiri, Bapak belum pernah punya rumah sendiri. Padahal Bapak dan kyai Muzammil belum pernah bertatap muka selama hidup. Hanya karena dua anak Bapak saya pernah dititpkan Allah kepada ki Muzammil. Namun entah di alam yang lain. Mungkin mereka saling berkomunikasi melalui doa. Dan pas 7 hari peringatan meninggalnya Bapak, kyai Muzammil “diutus” oleh Allah hadir di Jampang dan menempati kamar yang Bapak sendiri belum sempat menggunakannya. Beliau, ratusan kilometer dari Yogyakarta, bersedia hadir di mana pun demi menuntaskan tugas dari Allah. Melayani Ummat.
Semenjak itulah beliau rutin setiap bulan datang ke Pondok kami menggantikan posisi Muaddib Bapak. Hingga November 2019.
Maka setiap di Jampang, seperti biasa beliau tak pernah diam, selalu minta diajak silaturahim dan ziarah. Ini yang membuat beliau menempati posisi khusus di hati kami, warga maiyah di Jampang. Kami menjadi saksi betapa beliau mujahid sejati. Kelembutan akhlak, kedalaman ilmu, dan semangat yang luar biasa.
Dan tetap, saya menuliskan ini dengan rasa bangga di dada. Karena sesungguhnya jasa beliau bagi ketersambungan antara masa lalu dengan masa depan begitu besar dan nyata. Juga Timur dan Barat. Sebagaimana fungsi Maiyah, membersamai dan mempersatukan. Kami yang di Barat, begitu merasakan peran beliau, dari mulai Kampung Adat Badui di Banten hingga Padepokan Maung Bodas di Ciamis. Hingga beliau pula yang turut memprakarsai pertemuan agung antara Mbah Nun dengan Keluarga utama Buntet Pesantren.
Berkali-kali beliau bercerita tentang tugas khusus yang diberikan oleh Mbah Nun, juga tugas pribadinya sebagai tanggung jawab atas bagian dari Ummat dan Rakyat. Bagaimana beliau mengakomodir Teman-teman hingga lahir Gerbang. Bagaimana beliau membuat komunitas Semut Khittah NU, sebagai upaya “menyelamatkan” NU dengan mengumpulkan kyai-kyai muda hampir se-Nusantara.
Siapa Kyai khas yang tak kenal beliau, karena kelugasannya, keberaniannya, keberpihakannya, dan kecerdasannya. Tapi siapa Kyai kampung yang tak dikenali oleh beliau.
Geriliya beliau, menyambangi banyak dareah, bukan sekedar muhibbah, tapi memotret kondisi secara langsung, sambil mencari informasi langit, untuk diramu menjadi penawar zaman yang penuh racun.
Hari ini, tepat dihari lahir Maulana Muhammad Ainum Najib, Allah memanggil beliau.
Saya yakin, haqqul yaqin. Bahwa Allah memanggilnya dengan sapaan cinta. Karena beliau adalah manusia yang selalu ridha dengan apa pun, maka ridha Allah pun selalu memenuhi nafas beliau.
Kehilangan? Pasti. Tapi menjaga kesadaran bahwa tak ada yang kurang dari Ketetapan Allah, itu yang beliau katakan ketika saya, keluarga dan teman-teman harus terlempar dari sasana perjuangan di Jampang. Dan nyatanya sampai hari ini, betapa luar biasa hikmah yang kami dapatkan. Pun saya yakin, tak lama lagi, kami Jamaah Maiyah akan menyadari betapa luar biasa hikmah dari hari ini.
Pa Kyai, jangankan hidupmu, wafatmu pun memberikan manfaat bagi kami semua.
Allahuakbar, wa lillahilhamdu.
Hamaduu wastarjauu.
Peluk-cium kami
27 Mei 2021