CakNun.com

Pasien dan 70000 Malaikat

Meta Sekar Puji Astuti, Ph.D
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Zoltan Tasi on Unsplash

Menjadi pasien di rumah sakit itu pastilah menyiksa. Tergolek lemah di tempat tidur yang kadang terasa tidak nyaman. Apalagi di musim pandemi ini. Banyak penyintas Covid-19 yang bercerita pasien sebelah kemudian dipanggil yang Maha Kuasa. Menjadi cerita pilu di antara cerita-cerita pilu lainnya. Kesehatan adalah rezeki yang luar biasa.

Bukan karena Covid-19, tetapi gara-gara batu-batu empedu yang kronis, saya punya berbagai pengalaman yang “kaya” menjadi pasien yang dirawat di rumah sakit. Hampir setiap tahun dari sejak penyakit ini parah, saya selalu masuk rumah sakit. Rumah sakit di dua negara berbeda. Kota yang berbeda pula. Wajar tho di setiap negara dan kota memiliki pelayanan dan fasilitas yang berbeda.

Di negara yang maju saya ngedumel, “Pelayanan dan fasilitas sih bagus, tapi kok ya nggrantes, sendirian dan sunyi sepi kalau sudah jam sembilan”. Ini ngedumelan saya di sebuah rumah sakit di Tokyo. Lha gimana, wong di sana itu pasien nggak boleh dijaga sama keluarga. Jam sembilan malam teng, lampu dimatikan dan sunyi senyap.

Eh, di Indonesia lain lagi ngedumelan saya, “Kenapa saya yang dipilih untuk sakit seperti ini ya Allah?“ “Kok rumah sakit ini, mbak susternya pada jutek sih?” Di kota lain ngedumel-nya pun semakin bervariasi, lah. “Eh,kenapa kali ini “rasa” pasca anestasinya begitu tidak nyaman, ya?” Dan tentu saja masih banyak ngedumel-ngedumel lainnya. Sesudah itu juga masih pula ada, ngedumel tambahan, tagihan rumah sakit. Masya Allah. Tapi ya sudahlah. Manusia memang ditakdirkan jarang yang “teteg” dan teguh jika ada cobaan dalam kehidupan. Ya, tho?

Setelah sekian lama tidak kambuh eh, kok ndilalah bulan Oktober 2019, penyakit saya kambuh lagi. Terserangnya juga unik. Dua hari full saya masih sibuk dengan berbagai kegiatan kampus satu dan lainnya. Saya koordinator, moderator, inisiator, entah apa lagi. Kalau orang Jawa sering nyebut Wong ra nduwe udel. Bergerak kesana kemari. Eh, kok ya ndilalah, pas setelah lokakarya, saya ambruk. Tidak kuat dengan sakit yang menyerang. Subuh saya diangkut ke ICU di sebuah rumah sakit terbesar di Makassar, masih dengan baju yang sama saat saya lokakarya. Dokter bahkan memesani saya, “Bu, Ibu tampaknya sangat sibuk. Ini kesempatan Ibu untuk istirahat”. Pesan kuat dari dokter adalah, “Ibu jangan ngeyel”. Baiklah. Akhirnya saya kembali menjadi pasien di rumah sakit setelah sekian kalinya.

Entah bagaimana, kali ini saya sedikit lebih tenang. Saya lebih menikmati rasa menjadi pasien. Sampai ketika saya buka sebuah video youtube Omar Suleiman yang menceritakan kisah, orang-orang sakit itu jika dibesuk dan didoakan akan diiringi oleh 70.000 malaikat. Waduh. Begini istimewanya seorang yang sakit? Saya pun juga masih ingat, sakit itu juga merupakan penggugur dosa manusia. Akhirnya, saya ubahlah cara berpikir saya menghadapi cobaan menjadi sakit ini. “Ya Allah, terima kasih atas sakit ini. Penjenguk saya akan banyak ditemani oleh malaikat. Dan terima kasih saya diberi kesempatan untuk merasakan menjadi manusia seutuhnya. Alhamdulillah,” kira-kira begitu bunyi doa saya.

Saya tidak tahu persis efek yang dihasilkan sesudah itu. Hanya saja, waktu suster mendorong saya dengan kursi roda untuk masuk di ruang tindakan memberi komentar, “Bu, Ibu ini beneran sakit? Kok dari tadi ibu ketawa-tawa dan becanda terus. Beneran nih, Bu? Ini tindakan medisnya lumayan lho, Bu?” Ya, saya hanya ketawa-tawa saja. Alhamdulillah, tindakan berhasil, pasca anestasi terasa nyaman. Tagihan rumah sakit tidak sebesar yang saya duga, karena ada perubahaan penyakit saya ditanggung BPJS. Dua minggu setelah saya keluar dari rumah sakit, saya sudah keluar kota, bahkan langsung ke luar negeri.

Beberapa waktu lalu ketika ada teman saya terbaring dan tergolek di rumah sakit Covid-19. Saya pun memberikan pesan lewat pesan teks, “Selalu merasa bersyukurlah, karena kamu diuji menjadi manusia seutuhnya”. “Siap. Aku padamu”. Teman saya pulang dengan kesembuhannya.

Pandemi memang belum selesai. Tetapi, apakah memang Tuhan sedang menerbangkan dan menurunkan berduyun-duyun malaikat-malaikat-Nya ke bumi? Sambil lebih memanusiakan manusia? Wallahu a’lam.

Lainnya

Exit mobile version