Paradoks Momentum dalam Hidup
Giorgio Chiellini menarik kaos Bukayo Saka pada injury time babak kedua Final Piala Eropa. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai salah satu momentum bagaimana kesebelasan Italia menjatuhkan mental kesebelasan Inggris dalam pertandingan final EURO 2020 tersebut. Chiellini adalah pemain veteran kesebelasan Italia, usianya 36 tahun 331 hari saat ia melakoni laga Final di Wembley beberapa hari lalu. Ia dinobatkan sebagai pemain sepakbola tertua yang bermain di final Piala Eropa sepanjang masa.
Bukayo Saka, seorang pemuda 19 tahun. Secara usia, ia unggul kecepatan dari Chiellini. Pada masa injury time babak kedua itu, ia unggul sepersekian detik dari Chiellini saat menggiring bola. Namun, Chiellini adalah pemain veteran yang memiliki jam terbang tinggi. Pengalamannya bertanding dalam laga-laga krusial sudah cukup banyak. Jose Mourinho pun memberikan pujian atas apa yang dilakukan Chiellini dalam laga tersebut.
Tentu saja aksi menarik kaos yang dilakukan Chiellini merupakan sebuah pelanggaran. Ia pun diganjar kartu kuning oleh wasit Björn Kuipers. Dalam khasanah sepakbola Italia, pelanggaran profesional yang dilakukan Chiellini disebut sebagai furbizia. Secara harfiah, frubizia bermakna licik. Namun, pada praktiknya dalam sepakbola, furbizia hanya mampu dilakukan oleh pemain yang memiliki kecerdasan yang tinggi dan juga pengalaman yang mumpuni. Dalam sebuah pertandingan final turnamen sekelas EURO, tekanan yang dirasakan para pemain tentu sangat besar.
Tidak banyak pemain yang mampu melakukan furbizia di tengah lapangan, namun ada banyak contoh yang sudah terjadi dalam beberapa pertandingan. Bagaimana Marco Materazzi memprovokasi Zinedine Zidane pada Final Piala Dunia 2006 adalah bukti sahih bagaimana kesebelasan Italia merupakan ahlinya melakukan furbizia. Evan Dimas dalam Semifinal Sea Games 2019, dibuat cedera kakinya oleh pemain Vietnam; Doan van Hau. Pelanggarannya terhadap Evan Dimas yang cukup berbahaya bahkan tidak diganjar kartu kuning oleh wasit. Memang sangat tipis perbedaan antara licik dan cerdik.
Hal terpenting lain yang dibutuhkan seorang pemain sepakbola untuk melakukan furbizia adalah momentum. Selihai apapun ia bermain sepakbola, meskipun memiliki jam terbang tinggi dan mentalitas yang kuat, ditopang dengan kecerdasan yang baik, namun jika tidak tepat momentumnya tentu teknik furbizia tidak akan berjalan mulus. Alih-alih mencari keuntungan bagi kesebelasan sendiri justru menjadi petaka.
Mbah Nun saat menceritakan duel-duel Tinju atau UFC yang ditonton, sering kali menyampaikan; “kekuatan kalah oleh kecepatan, dan kecepatan kalah oleh momentum”. Dalam laga final Piala Eropa 2020 kemarin, masing-masing kesebelasan Inggris dan Italia dalam 90 menit durasi normal telah mengeluarkan semua daya dan upaya yang mereka miliki. Tetapi, Italia mampu memanfaatkan momentum furbizia yang muncul di menit-menit injury time babak kedua itu untuk meruntuhkan mental Bukayo Saka yang akhirnya gagal mengeksekusi tendangan pinalti terakhir bagi Inggris. Footbal is not coming home, but comes to Rome.
Beberapa jam sebelum pertandingan Final EURO 2020 itu dihelat, pertandingan UFC seri ke 264 di T-Arena Las Vegas digelar. Pada duel utama tersebut, ada momentum yang membuat McGregor coklek kaki kirinya. Dustin Poirier dinyatakan menang TKO karena McGregor tidak bisa melanjutkan duel. McGregor mencoba menduplikasi teknik yang digunakan Poirier saat pertemuan kedua di bulan Januari lalu, sayang momentum yang ia miliki lebih dikuasai oleh nafsu karena dendam terhadap Poirier. Tendangan kaki kiri bertubi-tubi dilancarakan oleh McGregor justru mencederai dirinya sendiri, bahkan saat menonton langsung tidak banyak yang menyadari kaki McGregor terlipat pergelangannya. Baru kemudian diketahui secara jelas saat tayangan ulang diputar beberapa saat kemudian.
McGregor tetaplah McGregor, meskipun coklek kakiknya, mulutnya tetap saja sesumbar dan mengatakan bahwa duel tersebut belum usai, ia memberi sinyal ingin berduel kembali dengan Dustin Poirier. Sayangnya, kita harus menunda dulu melihat duel keduanya, setidaknya sampai tahun depan, itu pun dengan catatan pemulihan kaki McGregor berlangsung lancar selama satu tahun ke depan. Dana White pun harus mencari baby boy yang baru untuk ia jadikan umpan menarik pundi-pundi uang melalui UFC.
Dalam hidup, kita mungkin pernah mengalami masa-masa krusial seperti yang dialami Chiellini, Saka, Poirier maupun McGregor. Kita acapkali memiliki perhitungan yang matang, dan mampu mengeksekusi rencana yang sudah disusun lalu menghasilkan hasil yang gemilang. Namun, ada juga saat-saat di mana kita dibutakan nafsu dan ego dalam diri kita, sehingga apa yang kita harapkan terjadi, pupus begitu saja. Dan mungkin, itulah yang kita alami sepanjang tahun 2020 lalu hingga hari ini. Ada banyak rencana yang sudah kita susun, apa daya, pandemi Covid-19 memaksa kita untuk menggagalkan rencana-rencana itu.
Dalam terjemahan bebas, momentum memiliki makna; waktu yang tepat. Jika kita mentadabburi ayat-ayat di Al-Qur`an, Allah memberikan banyak amsal mengenai momentum atau waktu yang tepat; wa-l-‘ashri, wa-dh-dhuha, wa-l-laili tetapi juga jangan lupa, ada ayat min haitsu laa yahtasib. Artinya, momentum itu memang bisa saja datang pada saat-saat yang tidak terduga.
Saya kembali teringat ketika Mbah Nun mengutip salah satu Hadits Qudsi yang memberi kita peringatan bahwa Allah melarang kita menghardik waktu. Kita semua patuh dan tunduk pada ketetapan Allah, bahkan dalam kondisi seperti saat ini pun, kita jangan sampai menghardik waktu. Seperti yang disampaikan Mbah Nun dalam Tetes: Tiga Lapis Langit Doa, tugas kita yakin saja atas apa yang kita harapkan kepada Allah. Kita saat ini sedang menjalani masa-masa sulit. Di tengah masa pandemi ini banyak dari kita harus kehilangan orang-orang terdekat, tidak sedikit pula yang semakin terhimpit beban ekonomi. Tapi, yakinlah, seperti juga pernah disampaikan Mbah Nun, bahwa di antara sela-sela air hujan yang turun dengan begitu derasnya masih ada ruang-ruang yang lebih luas.
Setiap hari, di grup-grup WhatsApp, di media sosial kita membaca kabar duka, seolah-olah sudah menjadi asupan informasi wajib setiap pagi mengenai kabar duka. Sementara di jalanan, raungan sirine mobil ambulance selalu terdengar. Belum lagi konflik horizontal yang muncul akhir-akhir ini bagaimana aparat pemerintah sangat represif di beberapa daerah kepada rakyat. Sementara, sampai detik ini kita belum mendengar sekalipun permohonan maaf dari pemerintah Indonesia.
Pada masa pandemi ini, saya berkesempatan bertemu dengan Mbah Nun dan duduk dalam beberapa forum diskusi internal. Mbah Nun menyampaikan bahwa yang harus kita perkuat utamanya adalah iman kita. Kita harus yakin dan percaya kepada Allah atas apa yang sedang kita alami saat ini. Tidak ada sandaran lain kecuali Allah. Setelah kita beriman, saat iman dalam diri kita sudah loading terus-menerus, otomatis ikhtiar kita mengenai imun tubuh akan berjalan sendirinya, tanpa harus dipaksa melalui informasi dari luar diri kita. Mengenai kesehatan tubuh, Mbah Nun sudah sejak lama menyampaikan agar kita mengenali diri kita, titen dengan diri kita sendiri. Karena sejatinya setiap tubuh kita memiliki alarm masing-masing.
Kita hidup di sebuah Negara yang menganut sistem: rakyat harus tutup mulut dan cari makan sendiri-sendiri. Pelik memang, namun inilah faktanya. Saya kemudian teringat salah satu tulisan Mbah Nun di tahun 2017 dalam Seri Pancasila; Jab Swing Hook Pancasila bahwa ternyata, Indonesia secara Negara dimana Pemerintahnya dalam mengelola Negara benar-benar menganut sistem min haitsu laa yahtasib. Tidak terduga-duga arah kebijakannya. Kelihatannya Hook, ternyata Uppercut. Katanya terkendali, namun fakta di lapangan, amburadul.
Mas Sabrang pernah juga menyampaikan bahwa salah satu modal utama Jamaah Maiyah adalah satu komunalitas yang sudah terbentuk secara alami. Sinau Bareng yang sudah pernah kita jalani sebelum masa pandemi adalah benih-benih yang sudah kita tanam bersama. Dari Mbah Nun dan juga Marja’ Maiyah lainnya, kita mendapatkan bekal untuk kita bawa dalam hidup kita agar kita mampu beradaptasi dalam situasi dan kondisi apapun. Yaa, aneh juga kalau kita tidak sambat, tidak ngresulo dengan keadaan kita hari ini. Sesekali mengaduh atau sambat ya tidak syubhat juga kok. Asal jangan sampai berhenti untuk berbuat baik. Kurang lebih seperti itulah pesan Mbah Nun dalam rubrik TETES terakhir..
Beberapa jam sebelum McGregor di-TKO oleh Dustin Poirier, di belahan bumi lain Final Copa America dihelat. Sebuah pertandingan pertaruhan karier seorang Lionel Messi, The Greatest Of All Time, pemain langganan peraih FIFA Ballon D’Or yang sebelum Final Copa America lalu belum pernah membawa Argentina meraih trofi bergengsi internasional. Adalah Angel Di Maria yang kemudian membawa Argentina memenangkan pertandingan atas Brasil dalam laga final tersebut. Momentum di laga final itu dimiliki oleh Angel Di Maria, namun pada akhirnya semua mata tertuju pada Lionel Messi. Semua membicarakan Messi, di lapangan pun, saat peluit panjang dibunyikan wasit, seluruh pemain Argentina berkerumun memeluk Messi, bukan Di Maria.
Di hari itu, saya tersenyum menyaksikan kemenangan Argentina, Poirier, dan Italia.
Siapa yang tidak ingin menjadi seperti Lionel Messi? Seorang superstar yang selalu menjadi pusat perhatian. Semua orang ingin menjadi seperti Lionel Messi; terkenal, bertalenta, disegani kawan maupun lawan. Tapi, kita tidak tahu, mungkin saja takdir kita menjadi seperti Di Maria. Bukankah Allah juga maha paradoks?