CakNun.com
Kebon (157 dari 241)

Para Pemimpin Kita Penuh Tanggung Jawab

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Di antara bangsa-bangsa di dunia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling berdaulat dan paling rasional. Sampai-sampai hantu-hantu dan sebagian kalangan Jin juga terpengaruh untuk lebih berdaulat dan lebih rasional dibanding masyarakat hantu dan bangsa-bangsa Jin lainnya.

Kalau dunia Barat berdemokrasi misalnya ketika menyelenggarakan Pemilu secara relatif steril atau imbas-imbis terhadap dimensi keuangan, Indonesia punya kedaulatan sendiri dan tidak mau membebek Negara-Negara Barat. Indonesia tidak mau pakai demokrasi steril. Harus ada money-politic. Setiap penduduk yang mencalonkan diri dari tingkat terbawah hingga puncak, harus jelas modal keuangannya mencukupi atau tidak. Terserah mau pakai uangnya sendiri atau mengumpulkan pedagang-pedagang kakap untuk ikut membiayai, sehingga kelak kalau yang dibantu keuangan menjadi pejabat, tanggung jawabnya jelas.

Pejabat Indonesia adalah teladan dalam hal tanggung jawab. Kalau ia naik ke kursi jabatan dibiayai oleh umpamanya Taoke atau Cukong-cukong, maka nanti ketika menjabat pejabat Indonesia setia dan konsisten membuktikan tanggung jawabnya, terutama yang terkait dengan kekuasaannya untuk melancarkan jalan dan proyek para donaturnya.

Pejabat Indonesia paling mengerti bagaimana membayar budi. Mereka bukan tipe pengkhianat yang “habis manis sepah dibuang”. Pejabat Indonesia moralnya tinggi, akhlaknya bisa diandalkan. Rakyat juga memiliki rasio yang jelas dalam memilih pejabatnya. Kalau calon pejabat sudah menyelenggarakan “Serangan Fajar” membagi-bagi uang kepada penduduk, maka penduduk juga sangat bertanggung jawab terhadap calon pejabat yang memberinya uang.

Berkat keteladanan para pemimpinnya, rakyat Indonesia juga tidak punya budaya materialistis atau mata duitan. Rakyat Indonesia tidak rakus atau eksploitatif terhadap siapapun yang meminta bantuan mereka untuk dipilih menjadi pejabat. Rakyat tidak melihat jumlah banyaknya uang yang diserangkan di waktu fajar. Boleh hanya 100 ribu rupiah, atau bahkan maklum-maklum saja andaikan hanya 50 ribu rupiah. Itu sudah cukup untuk memilih calon pejabat sehingga menjadi pejabat. Rakyat Indonesia tidak rakus. Rakyat Indonesia sangat pandai bersyukur, dan canggih memanfaatkan uang meskipun hanya 50 ribu rupiah.

Pun rakyat Indonesia sangat rasional, sangat memperhitungkan dimensi historisitas suatu keadaan. Kalau Bapaknya jelas-jelas dipilih secara nasional menjadi Presiden, ya sudah selayaknya kalau anaknya atau dan menantunya menjadi Walikota atau Bupati, kalau perlu menjadi Gubernur pada tahap berikutnya. Jangan bodoh. Memang demikian hukum alamnya, logika sosialnya maupun keniscayaan politiknya. Rasional dan kausalitatif-dialektis juga kalau rakyat juga sudah berpikir jauh untuk mengorientasikan kelak anak dan menantu ini duduk di kursi yang sekarang diduduki oleh Bapak atau mertuanya.

Dulu terang benderang semua makhluk di bumi maupun langit tahu bahwa Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia adalah Bung Karno. Maka tidak ada yang nalar dan rasional melebihi kenyataan bahwa estafeta kepemimpinan berikutnya juga ada di tangan putri Bung Karno. Sangat masuk akal bahwa partai politik terbesar dan paling pegang kendali sejarah Negara dan bangsa Indonesia haruslah putri Proklamator.

Ini bukan masalah oligarki atau aplikasi feodalisme.

ليس الفتى من يقول كان أبي، ولكن الفتى ها أنا ذا

Kesatria bukan yang memamerkan “ini Bapak saya”. Satria adalah yang membusungkan dada “Ini lho saya”. Kata-kata Mutiara ini berlaku di seluruh dunia, tetapi tidak relevan untuk Indonesia. Bangsa Indonesia sudah sangat tua usia peradabannya. Mereka tidak membutuhkan slogan kosong dan jargon cengeng seperti itu. Kalau Kerbau terusnya ya Gudel. Kalau Sapi pemegang estafetnya ya Pedèt. Sangat rasional, sangat mendasar mempertimbangkan kontinuitas mutu sejarah. Regenerasi Kuda ya jangan Kadal, pewaris Buaya ya mosok Tokèk.

Prabu Brawijaya V yang terakhir bersedia “uzlah” menyepi dibikinkan Pesanggarahan oleh Sunan Kalijaga di Gunung Cetho, perut Lawu. Andaikan yang menjadi Sultan Demak bukan Raden Patah, putranya sendiri, mungkin beliau tidak tenang-tenang saja dan legowo bersemedi di Cetho.

Saya pernah mencoba melakukan rekonfirmasi tentang logika politik Nusantara ini dengan naik ke Cetho, bersama seorang sahabat dan beberapa tokoh bati. Kami menyelenggarakan “lelaku batin”, bersemedi, bertafakkur dan napak tilas uzlah Raja pamungkas Majapahit yang punya 117 anak itu. Dari tengah malam hingga menjelang Subuh kami bersemadi ditemani oleh angin yang luar biasa deras dan mobat-mobit berubah-ubah arah. Kedaan sangat dingin karena di ketinggian pegunungan. Teman-teman memakai jaket dan mantel serta pengikat kepala bak Ayatullah. Saya dimanjakan oleh Allah dengan memerintahkan hembusan angin berhenti di luar baju tipis saya, sementara di antara baju dan kulit tubuh saya tetap terbawa kehangatan dari Yogya tadi.

Tafakkur dan tadzakkur bersama itu saya akhiri sekitar pukul 03.15, karena sejak tadi mulai banyak teman-teman yang klesak-klesek capek dan tidak tahan tapi upacara tak kunjung selesai. Kemudian lampu teplok dinyalakan, dan saya bertanya tentang pengalaman batin mereka selama bertafakkur, siapa saja leluhur kita yang berkenan datang menemui keikhlasan kita untuk merenungi dan memprihatini keadaan bangsa. Utamanya apakah Prabu Brawijaya V berkenan menerima sowan kita.

Rata-rata para beliau mengatakan bahwa Mbah-Mbah kita banyak yang datang. Ada Mbah Sunan Bonang, Mbah Sahid Kalijaga, Mbah Sultan Agung, bahkan Mbah Ajisaka, tentu saja tanpa Buyut Dewata Cengkar. Sudah pasti saya tidak tahu apa-apa dan tidak berjumpa dengan siapa-siapa selain khayalan saya sendiri. Tetapi ada pertanyaan yang melempari wajah saya, mungkin dari batin saya sendiri: “Apakah bangsamu tahu persis Bung Karno kalian itu anak siapa, juga Soeharto, lahir di mana, Bu Mega dan Mbak Tutut itu putri siapa. Juga Bambang Susilo Yudhoyono, Jokowi dan Budi Gunawan. Yang saudara sedarah dengan Soeharto itu Probodutejo ataukah Sudwikatmono?”

Kemudian kami turun dan mencari warung bakmi godog. Sejumlah penduduk setempat menyapa: “Cak kok lama ndak ke sini?”. Padahal baru pertama kali malam itu saya ke sini. Ketika turun ke Solo, saya menerima SMS yang isinya menyatakan terimakasih atas pengajian saya, karena ia dan ribuan mssyarakat dari wilayahnya tadi ikut datang mendengarkan Maiyahan saya di Pesanggrahan Cetho. Padahal saya duduk berjam-jam sampai pegel-pegel kaki saya.

Lainnya

KiaiKanjeng dan Saya Adalah Barang Riba

KiaiKanjeng dan Saya Adalah Barang Riba

Salah satu yang membuat teman-teman KiaiKanjeng bergembira bahkan berbahagia adalah kalau pentas mereka atau forum Maiyahan dihadiri oleh orang yang khalayak menyebutnya sebagai “orang gila”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version