O Itu Tho “Kun Fayakun”
Oh semut wahai kranggang. Oh cicak wahai kadal.
Kalau kita memilih hidup dengan ilmu tetapi menolak iman. Kalau kita menempuh perjalanan peradaban dengan narasi-narasi tetapi tanpa firman. Bagaimana menyusun regulasi pemahaman untuk menjalani hidup bersisihan dengan semut?
Melalui penelitian ilmiah kita mungkin pasti kagum kepada formasi dan sistem sosial masyarakat semut, yang jauh lebih valid, solid, dan tertata serta terkelola dibanding apa yang bisa dilakukan oleh komunitas manusia. Tetapi bagaimana ilmu kita akan mengakui bahwa semut adalah subjek juga sebagaimana manusia? Bahwa masyarakat semut adalah pelaku-pelaku yang sadar di dalam menyusun sistem sosialnya?
حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوۡاْ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةٞ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ
وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكٗا مِّن قَوۡلِهَا وَقَالَ
رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ
“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku.”
Bagaimana mungkin kita melegitimasi secara ilmiah kebenaran tentang silaturahmi semut di ayat itu? Bagaimana mungkin kita mengakuinya sebagai fakta bahwa Nabi Sulaiman tersenyum sesudah mendengar dialog semut?
Padahal itu ada ilmunya dan ada penjelasannya. Bukan adegan atau fragmen drama kecil antara kaum semut dengan Nabi Sulaiman beserta pasukannya. Melainkan tentang ragam pola komunikasi Allah kepada manusia untuk menyampaikan pengetahuan dan ilmu.
Itulah yang menyebabkan diperlukannya perjodohan atau kerjasama antara ilmu dengan iman.
Apa yang saya alami dengan Nuriman atau Gus Nur, teman kanak-kanak saya, tidak akan bisa dijelaskan dengan ilmu psikologi, sosiologi, antropo-sosiologi atau apapun. Bahkan saya sendiri baru bisa menemukan pemaknaannya lebih setengah abad sesudah ia dipanggil kembali ke Sorga.
Nuriman bukan teman saya ngarit dan menggembalakan kambing. Juga bukan teman jumpritan di Langgar Wetan desa Menturo saya. Pun tidak pernah nakal bersama saya membobol warung tahu-lontong-nya Wak Marsatun dan menjilati layah bekas ulegan bumbunya. Nuriman tidak terlibat juga rombongan mencuri krai atau ketimun, tradisi empok-empokan (menampung kentut dan dialihkan ke hidung teman).
Nuriman bukan anak kurang ajar seperti saya. Tempat tinggalnya juga di desa bagian tengah. Bapaknya seorang petani. Ia bersekolah di Madrasah “Mansyaul Ulum” yang didirikan oleh ayah saya. Sepulang dari sekolah ia selalu membantu bapaknya di sawah. Termasuk sering disuruh oleh Bapaknya pakai sepeda dan rèngkèk mengantarkan hasil buminya ke desa seberang.
Pada suatu hari ketika dari Menturo ke daerah Mojoagung, Nuriman dengan sepeda dan rengkeknya jatuh di jalan. Orang-orang di desa itu menolongnya. Dibawa masuk ke salah satu rumah. Dipekonah agar sehat kembali. Di tengah Nuriman dipijat-pijat badannya oleh tuan rumah, datang beberapa tamu. Ternyata mereka rombongan Santri. Mengaku diutus oleh Kiai Sahlan pengasuh sebuah Pesantren kecil di Krian, yang jaraknya dari desa itu sekitar 60 km.
Para Santri itu diperintah untuk membawa Nuriman ke Krian. Orang-orang desa itu melepas Nuriman, karena percaya dan memang tidak ada sesuatu yang layak dicurigai. Meskipun demikian mereka tidak paham bagaimana hitungannya sehingga Kiai Sahlan tahu Nuriman terjatuh, kemudian menyuruh santri-santrinya untuk mengambilnya. Seharusnya dibutuhkan waktu sekian jam. Didahului oleh adanya informasi dari Mojoagung ke Krian, baru Kiai mengutus Santri. Itu membutuhkan waktu mungkin sampai 5-6 jam karena para Santri itu hanya memakai sepeda.
Tetapi orang desa tidak mudah kagum atau heran. Mereka terbiasa mengalami hal-hal yang tidak semua harus dihadapi dengan rasionalitas dan perhitungan akal. Hidup mereka sendiri tidak masuk akal. Jadi Nuriman dilepaskan saja dengan sangka baik dan rasa syukur.
Walhasil Nuriman di Krian sekitar seminggu. Kemudian tiba-tiba para Santri mengantarkannya kembali ke desa saya. Tidak ke rumah keluarganya Nuriman, melainkan ke rumah Ayah dan Ibu saya. Kiai Sahlan berpesan agar Ibu dan Ayah saya menampung dan menghidupi Nuriman dan memfasilitasi tugas-tugasnya.
Ternyata kemudian kami semua pelan-pelan menjadi tahu bahwa Nuriman yang ini bukan Nuriman yang selama ini dikenal di Menturo. Wajah dan jasadnya tetap. Tetapi pengetahuan dan kemampuannya sangat tidak masuk akal. Ia hapal Quran. Pembicaraannya seperti orang dewasa yang sudah berpengalaman. Bahkan ia mengetahui banyak hal yang tidak wajar untuk diketahui oleh kebanyakan orang.
Ia tahu anaknya Pak Anu akan meninggal dunia dua bulan lagi. Ia mendatangi Pak Lurah dan memprotes kenapa bantuan desa dibelikan Sapi yang tidak untuk keperluan rakyat. Ia tahu banyak kebaikan dan keburukan di masyarakat Menturo. Pada saat shalat Isya Nuriman minta izin kepada Ayah saya untuk mengimami shalat. Sesudah shalat ia berceramah. Bicara panjang lebar yang kami semua tidak bisa mengidentifikasi dari mana Nuriman tahu begitu banyak hal, hapal ayat-ayat Qur`an, berkemampuan pidato yang melebihi siapa-siapapun yang selama ini kami kenal.
Seingat saya itulah momentum saya marasakan sayup-sayup kebenaran yang mendekam jauh di lubuk akal saya tentang yang dimaksud oleh firman Allah Swt:
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.”