No Wedus Wala Bebek
Kabarnya hampir semua Nabi-Nabi dulu punya episode hidup di mana mereka menggembalakan kambing. Tidak ada penelitian yang menginformasikan tentang punya siapa kambing-kambing itu. Punya Nabi-Nabi itu sendiri, ataukah ada semacam juragannya dan para Nabi itu “mburuh angon” kepadanya. Juga tidak ada informasi tentang jenis kambingnya, apakah kambing pemakan rumput atau rambanan atau daun-daunan. Tetapi bisa kita hampir pastikan di zaman itu mestinya belum ada kambing guling, kambing geprek atau sate kambing.
Andaikan Tuhan juga menurunkan Nabi-Nabi di Pulau Jawa atau kepulauan Nusantara lainnya, mestinya beliau-beliau juga menggembalakan bebek dan menthog. Tapi Allah membatasi teritorial turunnya Nabi-Nabi hanya di seputar Timur Tengah, dan itu pasti atas pertimbangan alam, antropologi, dan kesejarahan yang matang dari Tuhan.
Sebagian dari bangsa Indonesia ini kabarnya adalah keturunan Nabi terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah, meskipun semua pasti keturunan Nabi pertama yakni Mbah Adam. Dan kalau kebanyakan Nabi-Nabi itu pernah angon kambing, saya berani memastikan bahwa bangsa Indonesia lebih cenderung merupakan keturunan para Nabi, dan mutlak bukan keturunan kambing-kambingnya.
Jadi mestinya secara genealogis bangsa Indonesia mestinya bukan kumpulan manusia yang mentalnya membebek atau mengkambing. Karena nenek moyang bangsa Indonesia adalah para Nabi, maka watak utama bangsa Indonesia, apalagi para pemimpinnya, mestinya adalah mental pelopor, perintis, pembaharu, inovator, bahkan inventor.
Bahwa faktanya selama hampir satu abad belakangan ini bangsa Indonesia malah mengindikasikan seolah-olah mereka bukan anak turun Nabi-Nabi melainkan cucu-cicit kambing dan bebek – pasti memang telah terjadi dan mungkin masih tetap berlangsung suatu kesalahan sejarah, kekhilafan prinsip hidup, kekeliruan manajemen dan kengawuran pengelolaan, dari level eksistensi hingga pelaksanaan pembangunan sejarah.
Bahwa dalam mendirikan kebersamaan dalam formula negara, cara memilih pemimpin, cara menjalani perilaku kebudayaan, cara menentukan cita-cita dan masa depan, sampai cara berpakaian, cara bernyanyi hingga makan minum dlsb sangat dipenuhi oleh “dimensi kambing” dan “nuansa bebek” — pasti karena dulu Bapak-Bapak merintis kemerdekaan dan pembangunan Bangsa dan Negara ini kurang berpikir panjang, kurang mempertimbangkan keutuhan, kelengkapan, keseimbangan masa depan. Sehingga hari ini bangsa Indonesia sudah bukan lagi bangsa Indonesia, kalau berkaca pada sejarahnya, antropologinya, nasab peradabannya, sanad kebudayaannya. Bahkan bangsa Indonesia tergolong bangsa yang bukan hanya mengingkari siapa diri-sejarah mereka, namun juga meremehkan, merendahkan dan memperolok-olok nenek moyang mereka.
Itu semua sangat mudah ditemukan cerminan atau indikatornya di dalam perilaku sehari-hari, dalam habitat politiknya, watak kebudayaannya, serta ketidakpedulian mereka terhadap nilai-nilai keberadabannya. Pemerintah Indonesia dari era ke era tidak apresiatif terhadap kepeloporan di bidang ilmu, terhadap keperintisan di bidang kreativitas budaya, terhadap inovasi dan invensi anak-anak bangsa sendiri yang sesungguhnya memiliki banyak fadlilah dan keistimewaan dibanding bangsa-bangsa lain di muka bumi.
Kalau Nabi-Nabi menggembalakan kambing atau bebek, para kambing dan bebek berjalan di depan, penggembalanya membawa cambuk atau tongkat menguntit di belakangnya. Tetapi fakta politik dan manajemennya tetap para Nabi dan penggembalalah yang memimpin perjalanan kambing-kambing dan bebek-bebek itu. Dengan demokrasi seakan-akan rakyat adalah garda depan derap perjalanan sejarah Indonesia, seolah-olah rakyat adalah pemegang kedaulatan utama.
Tetapi di alam praktik Pemilu, Pilpres, Pilgub, Pilbub hingga Pilkades — rakyat adalah kambing-kambing yang asalkan dikasih sejumput rumput, mereka ngikut mau dicambuk disuruh ke arah mana saja. Bebek-bebek itu asalkan dikasih sejumput dhedhak, mereka anut grubyug dibawa ke mana saja. Demokrasi Indonesia sampai hari ini masih demokrasi kambing dan bebek. Memang tidak ada money politic dalam demokrasi kambing dan bebek. Yang ada adalah rumput dan dhedhak politic. Bagi rakyat Indonesia, kedaulatan bernegara amat sangat murah.
Anak-anak muda yang saya bergabung dalam lingkarannya sejak di Gontor hingga Yogya hari ini, adalah anak-anak bangsa yang menolak jadi kambing dan bebek. Sejak komunitas Dipowinatan hingga KiaiKanjeng dan Maiyah, mereka sangat tekun menanamkan jiwa pelopor, perintis, dan pembaharu. Mereka tidak menjadi ekor dari binatang globalisasi apapun saja.
Misalnya, apa istimewanya kalau masyarakat teater bikin arisan? Kalau Anak-anak kampung Dipo secara alamiah berkumpul bikin pementasan drama? Kalau Kelompok Karawitan Dinasti bikin aransemen-aransemen musik-puisi? Kalau Gamelan KiaiKanjeng meracik segala macam jenis, negeri dan benua musik dan diminta untuk nonstop 30 tahun berkeliling desa-desa hutan-hutan gunung-gunung pantai-pantai lapangan-lapangan gedung-gedung sampai ke 26 kota-kota Dunia?
Manusia sepanjang zaman menjalani hidup dengan dua prinsip: patuh atau kreatif. Ngikut atau bikin sendiri. Menciptakan sendiri atau meniru-niru, menjiplak. Tajdid atau taqlid. Jadi perintis atau mbuntut. Jadi pelopor atau anut grubyug. Bikin kepala sendiri atau mengekor. Baik dalam urusan personal dirinya masing-masing, sampai berkeluarga, sekolah, berjamaah shalat, kumpulan-kumpulan, paguyuban, klub, partai politik, ormas, negara dan inter-negara.
Gunanya sekolah, pendidikan, pengajian, agama dlsb adalah agar manusia, masyarakat dan rakyat memiliki presisi pengetahuan untuk menempatkan kepatuhan dan kemerdekaannya di konteks yang tepat dan jangan sampai terbalik.