CakNun.com
Kebon (149 dari 241)

Ngodot Batang Padi

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Anak-anakku Maiyah ada yang cemas tentang apa mungkin mensosialisasikan atau “memasarkan” Maiyah sebagaimana para pengusaha atau politisi memasarkan produk dan ideologi? Menjadikannya konglomerasi dan partai-partai politik untuk menguasai negara dan rakyat. Maiyah tidak punya modal dan ketersediaan prasyarat dan syarat-syarat untuk menyebarkannya, mengindonesiakan, dan menduniakan Maiyah.

Padahal kelengkapan nilai, metodologi, dan manajemen Maiyah mengandung semua yang diperlukan untuk restart peradaban manusia dan dunia. Maiyah adalah produk proses peradaban yang menyediakan jawaban-jawaban untuk mempertahankan keselamatan peradaban. Dari ranah keluarga, budaya masyarakat, sistem negara hingga teori-teori “Wahid”, “Muwahhid”, “Tauhid”, “Kaffah” sistemik untuk seluruh benua-benua “rahmatan lil’alamin”.

Tetapi dengan modal apa dan bagaimana caranya agar Maiyah memaiyahi dunia, kemudian memaiyahkan ummat manusia, sebagaimana kapitalisme, komunisme, sosialisme, demokrasi, dan globalisasi mendominasi kehidupan manusia di seluruh dunia. Apalagi Maiyah bukanlah agama sebagaimana yang dititipkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, diteruskan oleh para Rasul berikutnya hingga sempurna pada era Muhammad?

Gelombang Maiyah dengan penuh kesadaran tidak akan mengagamakan diri. Dengan perhitungan ilmu Maiyah tidak akan mem-perusahaan-kan diri, meng-konglomerat-kan diri, meng-adikuasa-kan diri. Bahkan Maiyah “tidak kasat mata” di hadapan formalisme struktur masyarakat modern. Di antara rak-rak identitas administratif keilmuan modern. Bahkan di Masjid-masjid Islam dan di rumah-rumah ibadat agama apapun Maiyah tidak tertempel di dindingnya yang sebelah manapun.

Di “Sinau Bareng” Maiyah sangat sederhana cara dan proses memahami kehidupan, peran Allah, dan tugas manusia.

“Kita nggejik tanah untuk menaruh biji jagung. Nyingkal, mbanyoni dan nggaru tanah sawah, tandur, njidhar. Jidar itu bahasa Arab: garis. Menanam (tandur) padi dengan pedoman garis yang diulur dari titik-titik ke titik-titik dalam kedokan sawah.

Disiplin jarak yang dipandu oleh jidar mambuat tanaman padi akan optimal pembuahannya. Jidar itulah syari’at yang harus dijalankan dalam menanam kehidupan, yang harus dipahami haqiqat-nya, yang harus di-disiplin-i thariqat-nya, sehingga diperkenankan memperoleh ma’rifat-nya.

Kemudian Allah, entah mempekerjakan siapa staf (Malaikat)-Nya untuk dari biji padi itu mengeluarkan helai batang pohonnya, kemudian ngodot. Sambil kita dhadhak, membersihkan lahan padi dengan mencabuti rumput-rumput sekitar batang-batang padi.

Sementara para Malaikat meneruskan tugasnya sampai tanaman padi lengkap dan berbuah. Para Malaikat setia dan telatèn memproses evolusi kemakhlukan padi, sampai tahap setiap batang pada melengkung bagian atasnya. Setelah berabad-abad ummat manusia menenam dan memanèn padi, yang dicatat oleh ilmu dan negara-negara mereka adalah bahwa manusia adalah penanam padi, kemudian manusia pulalah pemanèn padi itu. Tidak ada pelajaran Sekolah yang menyebut Allah adalah penumbuh padi, dengan mungkin para Malaikat ditugasi menjadi pengodot batang padi. Tetapi tidak ada halaman buku-buku mereka yang mencatat peran atau fungsi Allah dan para Malaikat.

Meskipun demikian agak lumayan juga manusia melihat dan mengamati lengkung atas batang padi itu menjadikan mereka terilhami filosofi dan moralnya. Lengkung bagian atas batang padi adalah simbol kerendahan hati, mata pelajaran tawadldlu’.

Betapa tawadldlu’ padi itu menarasikan teknologi nilai intrinsik dan batiniyah menuju keselamatan hidup manusia dan kebersamaan dengan sesamanya. Kemudian manusia peradaban modern meromantisirnya dengan menyebut “kearifan lokal”. Dan mereka sama sekali tidak bermaksud untuk mempelajari atau belajar darinya. Modernisme tidak mewacanakan kerendahan hati dan tawadldlu’ sepadan dengan derajatnya sebagai nilai. Sedemikian rupa sehingga kita semua di era milenial ini menjadi contoh utama dan teladan primer dalam hal kesombongan mental, keabaian moral, kesembronoan intelektual dan serabutan rohaniyah. Seluruh muatan peradaban ultra-modern di abad milenial didominasi oleh wacana dan klaim-klaim fir’aunistik di mana tuhan de facto-nya adalah manusia sendiri, dan sama sekali bukan Allah.

Peradaban modern hingga milenial tidak belajar kepada, tidak mempelajari, sehingga juga tidak mendapatkan ilmu, hikmah dan berkah apapun dari segala kenikmatan dan kenyamanan yang sesungguhnya sangat dijanjikan oleh Allah. Paradaban milenial tidak memprimerkan “ideologi sujud”. “Ruku’”pun tidak. Tidak pula menikmati “ilmu kesehatan tahiyat”, “metode sosial politik iftirasy”. Karena memang “takbiratul ihram”nya tidak menghadap dan bermuwajjahah dengan Allah Swt, melainkan dengan “ananiyah” egosentris subjektif kemanusiaannya sendiri. Meskipun mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila.

Kemudian, meneruskan “tandur” di atas, akhirnya di pesawahan padi kehidupan itu tugas kita seterusnya adalah (tinggal) mengetam, panèn, atau sebagian ngasak. Panen adalah ma’rifat bercocok tanam. Seintens, sedisiplin, setertib, dan seistiqamah itu syari’at dan thariqat dijalankan, akan sepadan dengan kualitas dan derajat ma’rifat panèn yang Allah memperkenankannya.

Bahkan Maiyah melalui KiaiKanjeng sudah lama memperjodohkan secara etsetik-musikal “Lir ilir, tandur-e wus sumilir” dengan Shalawat Badar. Dengan “…atau sampai aku dan Maiyah binasa”. Sampai “in lam yakun biKa ‘alayya ghodlobun fala ubali…”

Maka kecemasan dan pertanyaan di awal tulisan ini tentang bagaimana mungkin memaiyahkan Indonesia dan dunia, itu bukanlah “job deskripsi”-nya manusia. Kita hanya menanam, Allah yang menumbuhkan sampai “innallaha Balighu amriHi” perkenan panen. Bahkan anak-anakku Maiyah sudah lama terlatih bukan untuk mentargetkan, menyusun konsep dan strategi, atau memimpikan panen. Sebab segala hal yang menyangkut panen raya itu “job dekripsi”nya Allah Swt. Allah “menugasi” Diri-Nya Sendiri. Okeylah kita ulangi membaca “lagu favorit” dan viral Maiyah ini:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا
وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.

Jadi, tugas anak-anakku Maiyah sebatas taqwa dan tawakkal, yang diterapkan melalui menikmati istiqamah kerja keras dan kesetiaan. Allah “menugasi” Diri-Nya Sendiri untuk menghamparkan ketersediaan solusi-solusi, rezeki tak terduga, menata manajemen dan strategi, serta memproses pencapaian.

Bahkan rentang tanggung jawab Allah sampai merambah ke penghapusan atas kesalahan-kesalahanmu:

فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰۖ
بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ
وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّ‍َٔاتِهِمۡ
وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ
وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ

Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka (kalian) dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”.

لِّيُدۡخِلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا
وَيُكَفِّرَ عَنۡهُمۡ سَيِّ‍َٔاتِهِمۡۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عِندَ ٱللَّهِ فَوۡزًا عَظِيمٗا

“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah”.

Lainnya

Berat Hatiku Kepada Indonesia

Berat Hatiku Kepada Indonesia

Saya tidak berkeberatan dan tidak kecil hati melihat Indonesia dengan pemerintahnya, kaum intelektualnya, lembaga-lembaga penyangganya, para stakeholders-nya, semakin ke sini, semakin ke era-era mutakhir, semakin bergerak ke ujung waktu, semakin meremehkan Islam.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik