Ngelmu mBathang
Meskipun masyarakat Dipo, Dinasti, KiaiKanjeng dan Maiyah rata-rata tinggal di daerah perkotaan, tetapi racikan kemanusiaan mereka masih lebih alamiah dibanding teknologis. Dan mereka memang disebari wacana untuk memelihara alam, mengawetkan hutan belantara dan samudera di dalam jiwa mereka, menjunjung langit di budaya mereka, serta tidak mau kehilangan “kahyangan” dalam bebrayan mereka — meskipun secara formal dan administratif mereka tidak tampak seperti santri religius atau manusia-manusia alim dan spiritual.
Sementara seluruh dunia, termasuk Indonesia yang sangat rajin menjadi pengikut kapitalisme global dan tidak tersinggung atau malu melainkan malah bangga diberi gelar sebagai “Negara Dunia Ketiga” — berjalan ke arah yang sebaliknya. Dunia dengan dinamika sejarahnya melangkah gagah dengan yang mereka sangka demokrasi, hak asasi manusia, tetap menyebut-nyebut Tuhan tapi berdasarkan parameter dan cara pandang mereka, sehingga Tuhan, Malaikat dan Nabi-nabi hanya diposisikan sekunder dan sekadar menjadi torehan di buku-buku sekolah mereka. Tetapi Tuhan tidak mereka temukan secara nyata dalam kesadaran ilmu dan keseharian mereka.
Di tengah situasi semacam itu saya dapat email dari seorang Habib, yang tampaknya beliau sudah lama merasa cemas atas keadaan kaum Muslimin dan perkembangan dunia:
“Cak, Inggris menciptakan Ahmadiyah di tengah-tengah Sunni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah. dan Inggris pula yg mensuport paham Wahabi… Di kalangan Syiah Inggris menciptakan/mengembangkan aliran Baha`iyah… dan menciptakan Syiah Takfiri yg tinggal di Inggris dan Amerika”.
Emailnya ternyata disambung dan bermunculan:
“Cak ana sudah lama menyimpulkan mana bangsa dan negara-negara yang menjadi eksekutor missi Dajjal. Mereka yang memusnahkan bangsa Indian kemudian bikin Negara adidaya dan adikuasa. Mereka memusnahkan bangsa Inka Maya bikin Amerika Latin. Kemudian menghancurkan Ottoman dan bikin Arab dalam kendali Israel. Negeri-negeri Asia juga disandera disekap ratusan tahun, dan khusus untuk Indonesia di samping menjajah mereka juga menyebarkan racun dan asap yang bikin mabuk. Bangsa Indonesia tèlèr sampai hari ini. Akal sehatnya pingsan, mentalnya runtuh, moralnya ikut rusak, semua tatanan sejarahnya luluh lantak”.
Ternyata itu memang email sangat serius:
“Kenapa untuk Indonesia diperlukan racun, rayuan gombal dan tipudaya modernism? Sebab kalau pakai militer saja bangsa Indonesia jagoan dan tahan gerilya, kalau pakai ilmu Indonesia punya klenik, dan kalau penjajahan ekonomi terbukti bangsa Indonesia tahan lapar dan mudah lupa.
Teknologi kejiwaan internal bangsa Jawa bahkan berikhtiar mengubah neraka jadi sorga di dalam diri mereka. Jadi tidak masalah Presidennya Jokowi atau Jengish Khan atau Abu Jahal. Pejabatnya Hamman atau Sengkuni monggo saja. Orang Jawa asyik dengan Jailangkungnya sendiri. Makanya Bangsa Jawa banyak senyum dan tertawa, ramah pada tamu2 jenis makhluk apa saja.
Indonesia ini didominasi Jawa. Dominasi nya tidak berupa kekuasaan tapi ketahanan untuk dijajah dan dikibulin. Karena bangsa Jawa sendiri memang pandai ngibulin kehidupan”.
Kalau melihat gambar besar Indonesia dan dunia, isi email si Habib ini memang banyak benarnya. Tetapi saya, juga teman-teman Dipowinatan, Dinasti, KiaiKanjeng dan Maiyah, bukanlah bagian dari gambar besar itu. Alih-alih menjadi faktor di tengah Indonesia dan dunia. Indonesia dan dunia tidak melihat bahwa kami ini ada, jangan menjadi tokoh, bahkan mungkin memang benar-benar tidak ada.
Daripada hidup rendah diri terhadap Indonesia yang hebat dan dunia yang meriah, mending pakai konsep bahwa kami memang tidak ada. Gampang saja: yang sejati dan benar-benar ada kan hanya Allah. Kalau kami seakan-akan ada, menurut teman-teman KiaiKanjeng itu hanyalah “asra bi’abdihi lailan”. Kami sekadar diperjalankan, diada-adakan, dibikin seakan-akan ada, dibuat merasa ada, diletakkan di dunia yang gelap karena malam hari. “Lailan”, tidak “Naharan”.
Dulu Syekh Siti Jenar pakai siasat diri semacam ini juga ketika “ditimbali” oleh para Wali Sepuh untuk mempertanggungjawabkan ajaran dan perilakunya. Siti Jenar menjawab: “Siti Jenar tidak ada. Yang ada hanya Allah”. Kemudian surat panggilan dimodifikasi, memanggil Allah. Dijawab: “Allah tidak ada, yang ada Siti Jenar”. Panggilan dikembangkan lagi kepada Allah dan Siti Jenar. Dijawab: “Allah dan Siti Jenar tidak ada, yang ada Siti Jenar dan Allah. Dua bukan satu. Pertama bukan kedua”. Sampai akhirnya “Allah dan Siti Jenar sekaligus Siti Jenar dan Allah” ditangkap paksa.
Sehubungan dengan ada atau tiada ini, di tengah kesibukan dengan Dinasti akhir paruh kedua dekade 1980-an, saya menyempatkan diri mengunjungi anak-cucu saya di Mandar Sulawesi Selatan waktu itu, sekarang Sulawesi Barat. Tepatnya di Tinambung, Polewali, lokasi 7 Kerajaan Mandar, yang 7 lainnya di pegunungan Mamassa. Saya ikut guyub mandi di Sungai Mandar demi ajur-ajer menghibur mereka, ikut lomba menyelam meskipun saya (sekeluarga) tidak bisa berenang. Tapi setelah melewati beberapa babak, di final ternyata saya dibikin menang oleh Allah. Saya menyelam paling lama, dan keluar ke permukaan air sesudah saya hitung satu menit sesudah para peserta lainnya tidak tahan.
Kalau saya ada, tak mungkin tahan menyelam lama. Tapi karena saya tidak ada, maka saya merdeka dari waktu, sehingga bisa menyelam tanpa bernapas lebih lama dari mereka semua. Saya menyebut itu Ngelmu mBathang. Ilmu menjadi bangkai. Sebagaimana bagi Indonesia dan dunia: saya, Dipo, Dinasti, KiaiKanjeng dan Maiyah hanyalah “bathang”. Kami hanya bangkai yang tanpa arti dan fungsi.