Ngancani lan Nggedek’ke Ati
Dari sisi usia saya ini “tidak masuk kategori anak-cucu” Maiyah, karena saya sudah menjelang 60 tahun, tetapi dari sisi lelaku hidup saya adalah anak-cucu pembelajar.
“Perkenalan” saya dengan Cak Nun adalah sekitar tahun 1981 di Yogyakarta ketika saya ngangsu kaweruh di sebuah perguruan tinggi swasta.
Saya indekost di Iromejan, dan kebetulan tetangga saya adalah salah seorang dosen di UGM dan saya dekat dengan anaknya yang juga kuliah di UGM. Dalam suatu hajatan, beliau mengundang Cak Nun untuk mengisi acara.
Saya “Islamnya abangan” ingin “Islam putihan”, tetapi yang saya jumpai dan rasakan adalah rumit dan susah amat berislam. Dan wedaran Cak Nun membersamai hati saya, ngancani, nentremke, dan nggedek’ke ati untuk menjelani hidup ini.
Istiqamah
Sejak “perkenalan” itu, saya mulai mencari dan membaca tulisan-tulisan Cak Nun, seolah saya menemukan pemahaman-pemahaman Islam yang “lain”. Kesan pertama yang selalu saya ingat sampai sekarang adalah, salah satu ungkapan (yang saya pahami): “Berislam koq seperti polisi prat-prit, ini salah itu salah”, Cak Nun menjembarkan pemahaman Islam yang lebih jangkep, kalau Islam hanya berwajah fiqih ya jadinya seperti polisi tadi prat-prit (itu bid’ah, itu sesat, itu syirik dst.dst) kesana kemari.
Apa yang saya pahami dan rasakan lebih dari 40 tahun yang lalu, sampai sekarang ini di mana “sinau bareng” Maiyah di berbagai tempat, bahwa apa yang diwedar dalam sinau bareng tetap Istiqamah sharing tentang Kebenaran, Kebaikan, dan Kearifan.