CakNun.com

Narasumber, Adakah?

Moh. Husen
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Sinau Bareng Cak Nun, berbeda dengan Sinau dengan Narasumber Cak Nun. Di berbagai forum Maiyahan Cak Nun sering mengatakan: “Jangan lupa, acara ini Sinau Bareng Cak Nun lho, Rek! Artinya kabeh bareng-bareng sinau termasuk Cak Nun. Aku dudhuk sopo-sopo, maka ayok sinau bareng. Sumber kita Allah dan Rasulullah….”

Kalau kita membaca kisah Cak Nun sejak era Patangpuluhan, terlihat jelas bahwa konsep sinau bareng ini sudah digagas dan diterapkan oleh beliau sejak di Patangpuluhan. Dalam forum Yasinan di rumah kontrakan beliau itu, tidak ada yang menjadi narasumber. Semua yang hadir adalah sumber yang perlu digali pemikirannya. Tak peduli mahasiswa, sopir angkot, atau Markesot. Semuanya penting.

Saya sendiri secara pribadi, meskipun tidak anti, tidak pernah sepakat dengan istilah ‘narasumber’ semenjak awal saya mendengar kata itu. Entahlah saya kok tidak setuju. Bahasa maiyahnya: masak semua masakan harus kita telan dan kita setujui begitu saja. Termasuk masakan atau istilah itu bernama kata narasumber.

Masih mending kata pembicara, karena kata pembicara tidak serta merta indikatif menyebut dirinya sebagai seorang sumber. Terhadap kata narasumber, hati ini selalu protes: “Emang Ente siapa kok berani-beraninya disebut atau menyebut diri sebagai sumber. Ilmu Ente seberapa kok berani-beraninya menjadi sumber…”

Entah siapa yang awal mulanya dulu bikin istilah narasumber. Akan tetapi saya juga tidak anti atau menolak jika suatu acara tertulis kata narasumber. Saya tidak menolak jika sebuah kampus dengan alasan “administratif praktis” menulis poster besar: “Diskusi Kebangsaan dengan Narasumber…”

Akan terasa sok kakehan gaya serta golek perkoro, jika lantaran tak setuju kata narasumber, saya serta merta ingin meniadakan kata narasumber dari muka bumi ini. Yang mau pakai kata narasumber silakan pakai, yang tidak pakai ya tidak apa-apa.

Sekali lagi, tidak haram jika seorang moderator menyebut: “Selanjutnya giliran narasumber berikutnya untuk menyampaikan ide dan gagasannya…”

Zaman kecil dulu, kalau pas hari libur sekolah, kadangkala kita bilang kepada rekan-rekan kita: “Bagaimana kalau minggu besok, mumpung libur sekolah, kita rujak-an di rumahku?”

“Oke, setuju!!!” Jawab mereka kompak.

“Kalau gitu,” kata si pengajak sambil menunjuk teman-temannya, “kamu bawa timun, kamu bawa pepaya, kamu bawa mangga, kamu bawa nanas, kamu bawa tahu, dan kamu bawa bumbu rujaknya ya… Pokoknya yang pedas bumbunya… Setuju ya…?”

“Setuju !!!”

Itulah gambaran kecil konsep sinau bareng. Cukup dengan menentukan tema, misalnya Rujak Gulo, maka secara otomatis siapa saja yang akan datang membawa bekal apa saja yang ia miliki untuk memperlancar jalannya tema Rujak Gulo.

Hal ini justru sangat diperlukan agar masing-masing yang akan datang menyiapkan bahan-bahannya sendiri-sendiri sesuai tema yang ditentukan. Kalau tidak punya bahan, ya ikhlas datang saja. Keikhlasan justru adalah bahan yang paling primer dalam konsep sinau bareng.

Dengan tema Rujak Gulo tersebut, yang datang akan dengan sendirinya ada yang membawa dan menyodorkan pemikiran gula merah, lombok, buah mangga, nanas, pepaya, timun, tahu, dan lain-lain yang diperlukan untuk tema Rujak Gulo.

Mereka tidak pasrah bongkokan kepada Chief Rujak Gulo karena pelaku tema Rujak Gulo adalah mereka semua. Karena tidak ada Chief Rujak Gulo, maka mereka masing-masing akan aktif membawa bekal dari rumah untuk meramu agar acara Rujak Gulo berjalan lancar menjadi Rujak Gulo.

Konsep sinau bareng tanpa “chief” atau tanpa narasumber ini bukan berarti tanpa guru atau meniadakan dan menolak kehadiran guru. Melainkan semua yang hadir adalah guru dan partisipan yang perlu kita gali dan kita dengarkan dari setiap buah pemikiran yang mereka suguhkan kepada kita semua. Ikhlasnya mereka datang saja sudah merupakan ilmu tak terkira bagi kita.

Konsep sinau bareng ini melatih dan menumbuhkan agar setiap orang senantiasa belajar menjadi subjek (bukan objek dari kekuasaan orang lain) yang mandiri, berdaulat, percaya diri dalam menyampaikan ide dan gagasannya, namun tetap dengan kesadaran sinau bareng. Bukan rebutan benarnya sendiri.

Kalau memakai istilah yang populer dalam dunia tulis-menulis, sebuah tulisan apapun saja akan menemukan pembacanya sendiri. Begitulah dengan ide, konsep, dan karya kita dalam bentuk apa saja. Tentu ada yang setuju dan ada yang kontra. Yang terpenting adalah evaluasi dan belajar terus.

Sehingga, ide dan gagasan kita tersebut, bila sering kita asah dalam setiap acara sinau bareng dalam bentuk apapun, maka lama-lama insyaAllah akan meningkat. Sebagaimana tumbuhan yang akan semakin tumbuh jika sering disirami gagasan, ide, dan saran dari kanan kiri serta hidayah Tuhan.

Akhirul kalam, masih ada kata lain selain narasumber. Misalnya: “Sarasehan Ngopi Pagi bersama Profesor Doktor Moh. Husen Banyuwangi, hehehehehe…”

Banyuwangi, 21 Juni 2021.

Lainnya

Membaca Membaca

Membaca Membaca

Suatu ketika di tongkrongan, dalam obrolan yang serius, ketika saya memberikan argumen dalam menanggapi pemberlakuan undang-undang omnibus law yang masih sangat hangat untuk dibahas — tetapi saya tidak akan membahas hal tersebut — waktu itu saya menanggapi argumen yang salah seorang teman saya kemukakan, menurutnya jika bangsa tidak boleh dipisahkan oleh komponen terkecil seperti rakyat jelata.

Fatkhul Amril Azim
F. Amril A.