CakNun.com

Musik Menghubungkan Jiwa Manusia kepada Tuhan

Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi Maret 2021
Amin Ungsaka
Waktu baca ± 8 menit
Dok. Bangbang Wetan.

Majelis Ilmu Bangbang Wetan (21/3) mencoba konsep forum sinau daring lebih interaktif. Pada bulan-bulan sebelumnya selama pandemi diskusi majelis Bangbang Wetan berlangsung: dari moderator ke narasumber, dan jamaah yang hadir terbatas di MI Tarbiyatus Syarifah, Pekarungan, Sukodono, Sidoarjo, sesekali bertanya dan merespons pemaparan narasumber.

Maka untuk bulan ini dengan tema “Merawat Musim, Menjaga Iklim”, Bangbang Wetan berusaha melibatkan seoptimal mungkin jamaah yang bersedia bergabung dalam Sinau Bareng melalui link Zoom Meetings yang telah disediakan. Harapannya jamaah yang bergabung menjadi subjek, aktif bertanya dan merespons pembahasan, seperti selama ini berlangsung di Maiyahan sebelum pandemi.

Jamaah yang telah bergabung sekitar 77-84 orang dari berbagai daerah, secara antusias menyimak jalannya acara. Mas Amin ditemani Mas Hari menyapa jamaah dengan pertanyaan apakah di tempatnya masing-masing sudah tersedia wedang kopi, sebagaimana menjadi kebiasaan kita ketika Maiyahan, dan menurut Mas Amin hal itu yang kita kangeni saat ini.

Menyapa Kondisi Terkini Jamaah di Wilayah Masing-masing

Pertama, Mas Amin menyapa Mas Wahyu dari Perth, Australia. Mas Wahyu merespons dengan menyampaikan kondisi di Australia yang kondisinya agak panas. Di Australia yang seharusnya sudah musim gugur, tetapi kondisi saat ini masih terasa panas. Mungkin ini bagian dari global worming, perubahan cuaca. Mas Wahyu menyampaikan iklim kebijakan di sana bahwa pemerintah Australia memberlakukan lockdown sangat ketat.

Masyarakat di sana juga merespons baik kebijakan pemerintah untuk tinggal di rumah. Masyarakat yang terdampak kehilangan pekerjaan mendapat support gaji dari pemerintah, termasuk mahasiswa yang kuliah di sana. Secara sosial agak menurun kondisi masyarakat Australia karena keenakan dimanja dan support dari pemerintah. Menurutnya, ini sedikit banyak membuat masyarakat di sana seakan kurang berkembang, sedangkan berdasarkan cerita teman-teman Mas Wahyu di Indonesia, di sini masyarakatnya harus survive sendiri: memutar otak dan berpikir berkali-kali untuk bisa melalui masa pandemi ini dangan ikhtiar dan doa.

Mas Ali Fahmi dari Jakarta menyampaikan dampak yang dirasakan dari PPKM. Mas Ali Fahmi merasakan dampak dari PPKM biasa-biasa saja karena telah dibiasakan oleh keadaan. Menurutnya, yang penting adalah tetap berkonsentrasi bekerja dan mematuhi protokol kesehatan.

Menemukan Hikmah di Masa Pandemi

Tak lupa Mas Amin juga menyapa Pakdhe Ari Blothong, Mas Patub, dan Bang Beben Jazz, yang turut membersamai kita tadi malam. Pakdhe Ari membagikan kiat-kiat menjalani iklim kehidupan kita selama pandemi. Dianjurkan oleh beliau agar kita mencari-cari celah, mencari sesuatu yang bisa dikerjakan sesuai skill dan bidang masing-masing. “Kalau kita berpikir kondisi saat ini susah, ya memang susah. Tetapi jika kita hanya berpangku tangan tanpa berbuat apa-apa apa boleh buat. Yang penting sehat,” ungkapnya.

Pada konteks kangen Maiyahan, Mas Patub melontarkan pertanyaan segar apakah kangen penghasilan juga? Merespons tema tentang menjaga iklim, sejak bulan ke-4 pandemi Mas Patub mulai menyadari bahwa ini kebiasaan baru yang harus kita jalani. Baru-baru ini bersama EO Jawa Timur, teman-teman band, beberapa sponsor sedang menggagas format baru tentang pementasan cara baru. Jadi kalau dulu konvensional itu orang beli tiket nonton di stadion, kafe, atau di lapangan, dengan band dibayari oleh sponsor yang diselenggarakan oleh EO. Sekarang direset, semuanya dibalik.

Sekarang yang ingin menonton band ‘kan penggemar, jadi sekarang penonton ‘ditagih’ apakah benar mau nonton band yang digemari. Kalau mau nonton, nanti saya akan tunjukkan manajemennya.” Mas Patub tidak bisa cerita banyak karena menurutnya konsepnya belum matang.

Hikmah yang didapatkan Mas Patub selama pandemi adalah percepatan teknologi yang pesat. Orang dipaksa bisa Zoom, mengerti internet dan mengerti beli data internet. Guru-guru dulu yang hanya menerima kurikulum dari Dinas Pendidikan, sekarang dipaksa untuk mengerti Zoom, audio, dan kamera bagus, untuk melakukan pembelajaran daring. Terlepas dari itu semua, menurut pengalaman Mas Patub yang sulit adalah mendidik anak.

Bang Beben, yang turut membersamai tadi malam, berbagi hikmah dan pengalaman dalam menjaga iklim dirinya. Ada modulasi yang kita lakukan dalam menghadapi pandemi, salah satunya safetyed. Pertama kita diuji ekonomi, semua aspek kena dampak ekonomi. Kedua ujian secara mental, bagaimana mental kita ketika perekonomian diuji. Ketiga adalah ujian spiritual, jangan sampai karena kita tidak siap diuji ekonomi kita, yang membuat mental kita stres dan jiwa kita tidak tenang. Nah, langkah yang dapat kita lakukan paling tidak adalah bagaimana agar tetap tenang.

Dok. Bangbang Wetan.

Salah satu cara untuk mengaplikasikan modulasi safetyed adalah dalam setiap keadaan yang penting kita lakukan adalah menerima. Dari safetyed timbul kekuatan dan mulai mensyukuri apa saja yang ada. Setelah itu timbul antusiasme, kita menilai cuci piring adalah dzikir, mengajar adalah dzikir, bersyukur karena air dan listrik masih hidup dst. Di satu sisi kita menilai pandemi ini sebagai musibah, di sisi yang lain kita bersyukur karena menjadikan kita sebagai generasi yang merasakan zaman yang luar biasa ini. “Mengaku cinta jangan seenaknya saja. Jadi sebenarnya kalau memang cinta harus siap. Nah sekarang ini adalah ujian cinta. Apakah setelah datang ujian ini membuat kita tidak mencintai-Nya ataukah tidak?,” tegas Bang Beben.

Selama pandemi, aktivitas Bang Beben, Mas Patub, dan Pakdhe Ari lebih sibuk bekerja di rumah masing-masing. Dari mendidik anak, mengkreatifi keahliannya di bidang musik, seperti Bang Beben dan Pakdhe Ari sampai mengisi seminar dan kuliah dari rumah. Bahkan Pakdhe Ari sendiri mengungkapkan bahwa waktu 24 jam kurang untuk nuruti aktivitas olah kreatif beliau selama pandemi.

Musik Menembus Alam Bawah Sadar Manusia

Mewakili rasa kangen jamaah, Mas Hari menanyakan ke Pakdhe Ari kabar Pakdhe-Budhe KiaiKanjeng selama pandemi. Pakdhe mengabarkan bahwa empat bulan terakhir KiaiKanjeng setiap Jumat malam mengadakan pertemuan, bermain keroncongan bersama. “Dalam pertemuan itu yang penting bertemu, melepas kangen, dan bisa ngudoroso. Seng penting atine ayem disek”, ungkap Pakdhe Ari.

Dalam hal musik, Mas Amin menanyakan kembali pernyataan Pakdhe Ari tentang musikalitas Jawa, dalam hal ini Gamelan Jawa, yang menurut beliau di dalamnya tercermin tingginya peradaban Jawa. Pakdhe Ari mengawali pemaparannya dengan mengungkapkan bahwa ilmu musik beliau itu terkadang berbenturan dengan ilmu musik yang diajarkan oleh dunia akademis. Sesuatu yang diajarkan oleh teori musik terkadang tidak pas untuk beliau praktikkan.

Misalnya pada Gamelan. Sebenarnya grade pencapaian musik Gamelan itu sudah pada puncaknya. Baik secara aransemen, bentuk musik, cara memperlakukan Gamelan, cara memukul dan duduk bagi para niyogo juga diatur. Zaman digital seperti sekarang ini yang menjadikan orang bisa mandiri memainkan alat musiknya sendiri, sedangkan Gamelan tidak mungkin dimainkan satu orang, sebab Gamelan harus dimainkan katakanlah 20 orang secara orkestra dan harus menyatu.

Pertanyaan selanjutnya dari Mas Amin, mengapa Gamelan jika dimainkan bisa menyentuh hati, menjadi instrument of healing bagi kita? Menurut Pakdhe Ari sebenarnya musik Gamelan itu dibuat berdasarkan nilai rasa. Sebab seorang Mpu Gamelan sebelum membuat alat musik Gamelan itu melakukan ritual, ngelakoni puasa, mungkin dikasih sesuatu yang sifatnya manembah supaya Gamelan itu mberkahi. Sehingga, jika musik Gemelan dimainkan bisa menembus frekuensi alam bawah sadar manusia.

Sebenarnya bukan hanya Gamelan saja yang bisa seperti itu. Alat musik lain jika dimainkan dengan nilai rasa, kesungguhan hati, dan ikhlas itu akan juga menghasilkan frekuensi yang dapat menembus alam bawah sadar manusia. “Berbeda jika kita memainkan alat musik dengan emosi, rasa ingin bersaing akan menghasilkan frekuensi yang sama sekali berbeda,” jelas Pakdhe Ari.

Jenis Musik yang Mendekatkan Kita Kepada Tuhan

Pembahasan semakin mendalam ketika Mbak Fitri dari Banjarmasin yang menanyakan tentang bagaimana pengalaman bermusik sebagai sarana mendekatkan kita pada Tuhan. Terhadap pertanyaan ini, Pakdhe Ari berangkat dari teori praktis hubungan antara musik dengan Tuhan. Teori praktis adalah praktik bermusik atau melakukan sesuatu jika tidak bisa menjadi perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, ya tinggalkan. Salah satu kunci pengalaman bermusik untuk mendekatkan diri pada Tuhan adalah ikhlas.

Ada jenis-jenis musik yang dapat mengantarkan kepada nuansa ketenangan. Misalnya kalau dalam sejarah musik itu ada musik Gregorian. Mereka kaum Nasrani melakukan pendekatan dengan Tuhan di Gereja dengan menggunakan pendekatan bunyi. Ketika Pakdhe Ari berada di Itali, Belanda maupun Jerman, begitu masuk Gereja mendengarkan musik Ave Maria hawanya menjadi adem.

Nuansa adem itu terbentuk dari nuansa musik spiritual itu berada pada frekuensi Delta.

Jadi musik Delta itu bergerak di frekuensi yang warna sinarnya biru. Ini sama halnya seperti orang ketika membaca shalawat, tilawatil Al-Qur’an, atau membaca sesuatu yang sifatnya seperti tak lelo lelo lelo le dung itu kalau niatnya bersungguh-sungguh dan ikhlas akan menimbulkan gelombang Delta. Makanya basic nada orang Arab, Irlandia, dan nada-nada yang bersifat spiritual itu pasti di nada D.

Ibaratnya pada orang berjalan, gelombang Delta itu seperti rel. Jika kita tetap berjalan pada gelombang Delta ini maka kita akan terjaga dari gangguan atas maupun bawah. Pakdhe Ari sebagai pelaku musik, mau memainkan Jazz ataupun Dangdut, berusaha tetap berjalan di gelombang Delta supaya tidak goyah.

Sejarah Musik dan Kaitannya dengan Filsafat

Bang Beben mencoba menguraikan hubungan musik dengan Tuhan. Di zaman Yunani Kuno maupun Mesir Kuno, yang boleh main musik hanya orang-orang pilihan dan suci. Kita tahu Plato, filosof yang punya universitas pertama di dunia, bernama Akademia. Dulu, jika seseorang ingin belajar musik harus melewati empat hal, pertama tes fisik, tes mental, tes logika, dan tes matematika. Sebab jangan lupa di dalam filsafat ada filsafat praktis dan teoretis.

Dok. Bangbang Wetan.

Musik masuk kategori filsafat teoretis bersama fisika, ilmu alam, aljabar dst. Jika kita belajar musik atau Jazz lebih dalam, kita akan bertemu matematika musik. Karena musik adalah bagian dari filsafat teoritis, tidak tepat kiranya jika orang tidak suka matematika, lantas memilih yang lebih gampang yaitu bermain musik.

Bagi pembelajar serius, ternyata musik tidak hanya soal rasa, melainkan ada kaidah-kaidahnya. Sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, musik lahir dari seorang yang jenius. Sebab orang-orang pilihan akan membawa musik pada kebaikan. Kalau menurut Bang Beben, orang-orang kuno menilai bahwa musik itu datangnya dari surga, tidak boleh ditangani oleh orang sembarangan. Karenanya bila kita bicara soal hakikat musik, penjelasan Bang Beben tersebut bisa ikut menyumbangkan jawaban tentang pertanyaan apakah musik itu halal atau haram. “Para Jamaah Maiyah sendiri yang dapat menentukan, musik itu halal atau haram. Yang pasti musik itu bukan sesuatu yang sembarangan. Musik di lingkungan filsafat dan sufi merupakan sesuatu yang sakral”, tegas Bang Beben.

Warna Musik dan Kaitannya dengan Kehidupan Manusia

Seturut pembahasan Pakdhe Ari tentang gelombang Delta, Bang Beben menyampaikan bahwa musik-musik di zaman Yunani Kuno dulu, yang menjadi favorit Plato adalah memulai musik dengan modus Dorian, di nada D. Pilihan ini akan menjadikan musik sebagai sesuatu yang menenangkan dan bernuansa spiritual. Musik punya tujuh warna yaitu Ionian, Dorian, Phrygian, Lydian, Mixolydian, Aeolian, dan Locrian. “Dan anehnya selalu tujuh dan kenapa harus tujuh?”, tanya Bang Beben

Ditemukan oleh Pythagoras soal Major Scale dengan tujuh warnanya ini, yang diambil dari nama-nama desa di Yunani, merupakan bukti bahwa musik bagian dari filsafat teoretis. Bukti matematisnya misalnya jika c mayor 7 ditambah c minor 7 jawabannya sama dengan c mayor 9. Bisa terjadi demikian karena yang membagi satu oktaf menjadi delapan oktaf itu Pythagoras.

Orang dulu menentukan jumlah senar dan not itu tidak sembarangan. Awal mula ketika Pythagoras pergi ke Mesir Kuno, Ia hanya menemukan empat nada keramat. Empat adalah angka keramat bagi orang Mesir karena melambangkan unsur bumi, air, api, dan udara. Tidak mengherankan jika Lira, seperti ada pada gambar-gambar dinding Piramida, adalah alat musik petik yang senarnya empat. Pada abad 3000 SM dibuat tujuh nada, tapi nyanyian wanita tidak boleh diiringi musik. Menurut Bang Beben, Pythagoras menyempurnakan dari empat nada menjadi tujuh itu suatu tanda diturunkannya Pythagoras bersamaan musik akan diturunkan ke dunia.

Menurut Bang Beben, sosok seperti Pythagoras terbilang langka dan sudah dianggap seperti ‘nabi’. Karena dia adalah filsuf, ahli matematika, suka musik, dan mengerti kosmologi. Penting dicatat, nada tujuh berasal dari alam pikiran dirinya tentang hubungan musik dengan alam semesta, sehingga tujuh nada itu menggambarkan lapisan bumi dan planet-planet di Antariksa.

Sempat hilang pada zaman filsafat Yunani, para filsuf dan cendikiawan Muslim menghidupkan Kembali musik itu. Ketika Barat mengalami abad Dark Ages, Islam berada pada masa kejayaannya dengan mengadakan gerakan menerjemahkan semua hal yang ada di Yunani, termasuk musik. Masa penyempurnaan ilmu itu kalau dalam hal musik disempurnakan oleh Al-Farabi, Al-Kindi, dan Ikhawanus Safa. Di dalam filsafat Islam, musik dibagi menjadi dua aliran: aliran dari Al-Farabi dan aliran dari Al-Kindi. Yang satu aliran bagaimana menciptakan musik dengan komposisi yang sederhana tapi indah. Yang satu menciptakan musik yang berhubungan dengan kejiwaan.

Saking sakralnya musik , masyarakat di India sampai menyadari bahwa musik erat kaitannya dengan syaraf-syaraf manusia. Lengkapnya, musik ada kaitannya dengan warna, syaraf manusia, dan kosmologi. Bahkan Bang Beben pernah ngobrol dengan Mas Sabrang tentang musik yang ada hubungannya dengan fisika bahwa untuk menentukan tune in A440 itu ditentukan dari detak bumi. Menurut ahli fisika, bumi itu punya detak yang sama dengan urat nadi kita. Dan semua itu berpengaruh bagi kesehatan kita.

Musik seperti Gamelan punya tune in-nya masing-masing. Serunya di Gamelan KiaiKanjeng karena punya role sendiri sehingga bisa berkolaborasi dengan apapun. Menurut Bang Beben itu merupakan sikap Jazz pada KiaiKanjeng. “Mengutip dari Pythagoras bahwa tujuan utama dalam bermusik itu bukan hiburan, melainkan menghubungkan jiwa manusia kepada realitas tertinggi,” pungkasnya.

Merespons sharing Pakdhe Ari dan Bang Beben, Mas Amin meminta Pakdhe Ari dengan biolanya untuk mengiringi kita bershalawat. Shalawat Maulan Siwallah dan Tibbil Qulub dengan iringan biola Pakdhe Ari mampu mengantarkan kita kepada nuansa dan frekuensi dekat dengan Tuhan. Di tengah bershalawat itu terdengar tangis sesenggukan di antara jamaah yang hadir. Dalam suasana khusyu’ itu, Mas Amin menutup majelis dengan doa keselamatan.

Surabaya, 22 Maret 2021

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik