CakNun.com
Kebon (200 dari 241)

Mohon Saya Di-Blacklist

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 7 menit
Ilustrasi: Adin.

Saya sudah meniati untuk mengakhiri tulisan tentang kanibalisme atas saya dan Maiyah di Youtube serta aplikasi-aplikasi lain di Media Sosial. Saya sudah mengikhlaskan nasib saya, sudah menerima kebaikan dari semua keburukan itu. Sudah mendapatkan berkah dari segala kedhaliman itu. Serta sudah memperoleh “hartsud dunya wa hartsul akhirah” dari semua manipulasi, pencurian dan fitnah itu. Saya menjadi manusia yang sangat beruntung, dzu hadhdhin ‘adhim, oleh kotornya manusia dan kumuhnya dunia.

Saya tidak perlu memohon apa-apa kepada Allah karena hukum Allah sudah sangat jelas dan pasti. Balasan Allah sangat tegas dan mutlak. Tindakan Allah terang benderang dan absolut.

Selama lebih 30 tahun saya dulu adalah aktivis media massa. Saya menulis di banyak Koran Harian dan Majalah-majalah. Sesudah menulis tak sampai setahun, saya bekerja sebagai wartawan Harian Mertju Suar, kemudian Mercu Suar, sempat juga Berita Nasional. Kemudian menjadi Redaktur.

Saya memperoleh gaji dan makan hingga berumah tangga dari pekerjaan itu. Menjelang Reformasi 1998 saya keluar dan berhenti dari semua kegiatan jurnalistik maupun penulisan. Bahkan sesudah merintis “Gardu” yang mendasari semua bentuk talkshow sesudahnya, serta renungan-renungan “Cermin” dan menjadi acuan dari fragmen-fragmen ekspresi singkat, sampai kemudian berlanjut di media online sampai sekarang.

Berhenti dari kegiatan itu berarti saya berhenti memperoleh nafkah penghidupan bagi keluarga saya. Berikutnya sesudah saya ditipu oleh politik Reformasi, lantas melangkah ke “Gerakan Shalawat”, “Pengajian Tombo Ati”, rintisan Maiyahan Padhangmbulan di Menturo Jombang sejak sekitar 2001, bersama KiaiKanjeng saya keliling Nusantara dan Dunia sampai hampir 5.000 titik wilayah, saya didesak oleh hajat yang lain lagi. Yakni melihat-lihat apakah mungkin kegiatan saya dengan KiaiKanjeng tidak usah dimuat di koran, Majalaj atau media online yang saat-saat itu mulai muncul.

Bersamaan dengan itu semua saya mengalami pencekalan (banned), baik karya maupun kegiatan saya. Drama “Pak Kanjeng” dicekal di Yogya dan Surabaya. Saya dilarang atau dicekal di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Barat serta Lampung. Kalau baca puisi di Yogya, naskah puisi harus diserahkan dulu ke Polresta Kota Yogya untuk diperiksa dan dicoret-coret mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak boleh. Polisi Orde Baru tidak melihat kemungkinan bahwa saya bisa membaca puisi spontan, satu atau dua jam sesuai dengan ketepatan situasinya. Di IAIN Sunan Kalijaga saya membaca puisi spontan tanpa naskah sesudah Hamid Jabbar dan Sutardji Calzoum Bachri.

Pencekalan atau pelarangan mengekspresikan karya selama Orde Baru menjadi kendala kreativitas yang serius bagi para seniman. Tetapi saya sendiri tidak terlalu berkeberatan. Karena dunia dan kehidupan sangat luas. Manusia bahkan bisa berjalan di sela-sela air hujan deras. Maling Cluring di Menturo bisa memasuki rumah tanpa perlu nggangsir atau melubangi tanah di bawah tembok. Tidak perlu membuka pintu atau jendela dengan mencukitnya. Maling Cluring bisa masuk ke rumah asal ada cahaya memancar dari dalam rumah ke luar.

Jadi dalam beberapa hal, sesungguhnya saya mencekal diri saya sendiri. Saya menyimpan dan merahasiakan karya-karya tertentu karena pertimbangan kebijaksanaan sosial. Hanya sejumlah karya lain yang saya loloskan untuk disosialisasikan.

Di era Pangajian Tombo Ati kemudian Maiyah, saya bersama KiaiKanjeng ingin tidak diberitakan oleh media. Di dalam undang-undang jurnalisme ada pasal “off the record”, suatu peristiwa tidak boleh diberitakan Kami maunya bermuwajjahah langsung saja dengan masyarakat, tanpa harus diwakili oleh berita di media-media. Dengan kata lain, tak usah dicekal atau dilarang, kami sendiri sudah bekerja keras untuk melarang diri kami sendiri membawakan karya-karya tertentu. Tetapi saya dan Kiai Kanjeng tidak pernah berhasil mendapatkan klausul itu. Tetap saja muncul berita-berita tentang pementasan KiaiKanjeng atau Maiyahan. Pandangan umum kaum jurnalis menyebutkan bahwa mereka berhak meliput peristiwa yang saya lakukan dengan KiaiKanjeng, dengan alasan publik membutuhkannya. Masyarakat dinisbahkan sebagai subjek zaman dan sejarah yang memiliki hak penuh untuk mengetahui kegiatan apapun yang berlangsung di dalam kehidupan mereka.

Aslinya, saya, KiaiKanjeng dan bala-bala Kadipiro sangat menginginkan kami dianggap tidak ada. Kami mohon di-blacklist dan tidak diberitakan sama sekali. Kalau anak-anakku Maiyah ingin sesuatu dari kami, tinggal datang ke Maiyahan. Sebagaimana komunitas PKL yang punya GWA di antara mereka untuk mengetahui saya dan KiaiKanjang ada di mana pada tanggal berapa.

Sekarang sesudah dan ketika saya sedang dietrèk-ètrèk, disopbuntuti, dikanibali, diplekotho, dicuri, diedit-edit, dimanipulasi secara peristiwa, dipotong-potong, dipolitisir, di-frame dan digathuk-gathukke, dan disebarluaskan ke seluruh dunia melalui SuperMarket yang bernama Youtube, hajat di atas muncul lagi. Ialah cita-cita, harapan, idaman, semoga, mudeh-mudahan, apa ada kemungkinan Youtube mem-blacklist saya, KiaiKanjeng dan Maiyah. Bagaimana supaya semua dan setiap orang, di mana saja, kapan saja, membuka Youtube, jangan ada wajah saya, omongan saya, apapun yang menyangkut saya dan KiaiKanjeng serta Maiyah.

Ideologi manusia di era modern adalah “rich and famous”. Kaya dan terkenal. Jaya dan viral. Makmur dan popular. Bukannya saya, KiaiKanjeng dan Maiyah, menolak itu. Tetapi sejak puluhan tahun yang lalu kami menempuh jalan yang berbeda, dan peletakan “rich and famous” pada pemetaan nilai hidup kami sangat berbeda dengan hampir semua manusia di muka bumi. Saya bisa hadir, atau ada energi dan frekuensi lain yang menghadirkan saya di tempat-tempat yang memang “berjodoh” dengan saya tanpa melalui koran, majalan, web, aplikasi-aplikasi online, Twitter, Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube atau apapun.

Anak-anak kecil berusia di bawah lima tahun dari daerah yang jaraknya ratusan kilometer merepotkan Bapak Ibunya disuruh mencari Mbah Nun karena cucu-cucuku itu ingin saya gendong dan saya cium. Saya dan KiaiKanjeng diperjalankan oleh Allah dipertemukan dengan jutaan orang tidak melalui algoritma komunikasi modern, tidak melewati sistem perjumpaan materiil rasional.

Saya akan “rich and famous” atau tidak, tidak menjadi agenda utama hidup saya. Dan andaikan kekayaan dan kemasyhuran menimpa saya, sama sekali bukan karena saya mengejarnya. Cita-cita hidup saya tidak sama dengan kebanyakan manusia. Idaman masa depan saya mungkin malah banyak bertentangan dengan kebanyakan stake-holders peradaban abad ke-21 sekarang ini. Idola saya bukan idola mereka. Yang saya kangen dan rindu bukanlah yang mereka kangen dan rindu.

Youtube pasti adalah primadona media global dan digemari serta diakses oleh miliaran penduduk bumi. Dalam sebagian kecil di antara itu semua, Kadipiro juga mendayagunakannya melalui channel caknun.com. tetapi pada sebagian besarnya, yang saya alami dan rasakan setiap hari dari Youtube adalah kemudlaratan, meskipun saya punya cara untuk mengubahnya menjadi kemashlahatan. Tetapi fakta Youtube yang datang ke saya adalah sayyi`at wa mudlarat. Saya sungguh tidak paham dan tidak bisa membangun pengertian tentang pasar global yang bernama Youtube itu. Saya sedang makan Soto Boyolali di Cibubur ternyata saya juga ada di Youtube dan diberitakan “Cak Nun tidak tahan dengan kondisi NKRI”. Kemudian saya disebut berkata: “Inilah sosok yang mengendalikan Jokowi dan Megawati”. Dan “Akhirnya Pihak Istana Tidak Bisa Mengelak Lagi”. Sedang mengantarkan Rampak potong rambut di Barber Shop tiba-tiba saya nongol di Youtube dan berteriak; “Awas Trio Bebek Global. Amerika Serikat, Israel, Arab Saudi. Merek akan menguasai Mekah dan Madinah”. Saya enak-enak disetiri Mbak Via mau makan belut goreng, ternyata saya juga ada di Youtube mengurusi konflik Israel-Palestina, mereweli Sabdorodjo Sultan Hamengkubawono X Kraton Ngayogyakartahadiningrat. Bahkan saya sok tahu tentang Kanjeng Ratu Kidul, Nyi Roro Kidul dan Kiai Sapujagat.

Kok bisa itu semua masuk di Youtube. Kok bisa ada warung membuka pintunya lebar-lebar dan mempersilakan pasokan makanan-makanan beracun. Nanti orang yang keracunan marah kepada nama dan wajah yang ada di bungkus makanan beracun itu. Macam apa media yang Namanya Youtube itu? Iki cap gomèk ta merk taèk? Ataukah ini yang Namanya kemerdekaan ekspresi? Hak asasi manusia? Freedom of Speech?

A’udzu billahi minal-youtubir-rajiiiiiiim!!! Tapi apakah Allah akan melaknatnya? Emangnya siapa Allah itu bagi Youtube? Emang pentingkah yang namanya Allah itu di mata masyarakat milennial dunia? Sedangkan miliaran manusia di bumi disiksa, dihantui, dikepung, bahkan dibunuh oleh Covid-19, B 1617, B 117, B 1351, bahkan B 1525, ummat manusia tidak boleh menyelenggarakan ritual doa kepada Tuhannya. Padahal WHO dan Negara-negara sedunia tidak becus melindungi mereka. Penduduk Bumi dilarang memakai Iman. Harus memakai Ilmu. Padahal Ilmu manusia sejauh ini keok dan kalah total oleh Covid.

Saya tidak akan melawan semua yang sudah menjadi global mindset. Saya tidak akan berperang melawan mainstream dunia. Saya justru menawarkan opsi yang sangat ringan: ialah mohon saya ditiadakan. Saya di-blacklist. Saya minta diserung, dihalangi, distop, jangan sampai masuk Youtube. Youtube dan semua konsumennya bebas merdeka dari saya. Saya tidak minta dilindungi atau dibela oleh Youtube, WHO, Undang-undang IT, Negara yang saya menjadi warganya. Saya tidak minta ada atau dihormati. Saya justru minta agar dianggap tidak ada. Atau kalau memang cara untuk itu adalah mentiadakan saya, maka tiadakanlah. Toh kalian adalah kompetitornya Allah swt.

Ini Tuhan yang Allah Swt, yang bukan kalian, berfirman:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
وَقُل رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

Apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu semu ini untuk main-main saja, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan mempunyai ‘Arsy yang mulia. Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain yang bukan Allah, padahal tidak ada suatu argumentasipun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”

Dan katakanlah: “Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik”.

Firman ini maupun yang memfirmankan ayat ini tidak dianggep, tidak penting bagi pemerintahan global, bagi WHO, bagi Silicon Valley, bagi Youtube, Instagram, Facebook dll. Allah menyatakan: “barangsiapa menyembah tuhan yang lain yang bukan Allah”? Lho mayoritas penduduk dunia mentuhankan yang bukan Allah. Sudah berabad-abad lamanya, dan tetap sampai sekarang. Allah mengancam “maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya”? Lho tuhan-tuhan dunia ini malah bersikap EGP (emangnya gue pikirin) tentang Allah. Allah adalah Tuhan yang sebenarnya. Itu kan kata Allah. Tapi kata manusia global kan tidak begitu.

Ada seorang Baduwi berthawaf mengelilingi Ka‘bah sambil berdzikir. Ada lelaki di belakangnya yang juga berthawaf dan menirukan dzikirnya. Si Baduwi tersinggung sehingga mangancam: “Kalau kamu meniru-nirukan dzikir saya terus nanti saya laporkan ke Rasulullah lho!”!

Si peniru itu kaget. “Apakah kamu hendak bertemu Rasulullah Muhammad Saw?”

“Ya”, jawabnya.

“Sudah ketemu?”

“Belum. Saya lama-lamakan thawaf saya tapi belum juga ketemu”.

Si penguntit itu ternyata adalah Rasulullah Muhammad Saw. Tidak tahan hati beliau melihat ummatnya tidak ketemu-ketemu mencarinya. Maka Nabi mengaku: “Ketahuilah, aku ini Nabimu Muhammad Saw”.

Betapa kagetnya si Baduwi. Ia langsung memeluk Kanjeng Nabi. Tapi tiba-tiba muncul Malaikat Jibril, yang menyatakan bahwa ia diutus oleh Allah. Untuk menyampaikan kepada si Baduwi: “Apakah kau pikir kalau kau berthawaf dengan mendzikirkan nama-nama-Ku maka kelak aku tidak menghitung dosa-dosamu?”

Tak disangka, si Baduwi menjawab: “Kalau Allah berani-berani mengadakan perhitungan kepadaku, maka aku juga akan mengadakan perhitungan dengan-Nya”.

Allah bertanya, “Apa yang kau perhitungkan dari-Ku?”

Baduwi menjawab: “Kalau Engkau wahai Allah menghitung dosa-dosaku, aku juga akan menghitung kemurahan dan ampunan-Mu”.

Tetapi ini sama sekali bukan bandingan dengan posisi manusia milenial sekarang ini kepada Tuhan. Baduwi itu bukan paralel Youtube atau aplikasi media Internet apapun”.

Lainnya

Berkah Allah Buat Para Penggiat Online

Berkah Allah Buat Para Penggiat Online

Saya pernah cerita tentang Wali Tiban, di tahun 1963-an. Teman Menturo saya Nuriman sakit di perjalanan di sekitar Kedungpapar menuju Betek.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version