CakNun.com

Mi’raj Sang Guru Tadabbur

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Di awal malam kami para sastrawan Yogya dalam acara “SastraLiman” yang diselenggarakan bulanan rutin oleh Majalah “Sabana” mengaji Surat Al-Hasyr dan berdoa memohon kepada Allah agar meneguhkan apa yang terbaik untuk satu-satunya orang di muka bumi yang saya sebut dan resmi saya akui sebagai Guru saya. Umbu Landu Paranggi.

Menjelang penghujung malam sebelum pukul 03.00 fajar hari, Allah Swt mengambilnya di RS Bali Mandara, sesudah tiga hari sebelumnya ia tidak makan apapun sampai dua hari kemudian harus di-ICU-kan di Rumah Sakit. Umbu menghadap Allah dalam keadaan berpuasa dari dunia, sebagaimana hampir seluruh usianya ia jalani dengan lelaku puasa atas berbagai tipuan kemewahan keduniaan, dengan kadar dan bentuk yang saya belum pernah menyaksikannya pada siapapun lainnya.

Innahu lillahi wa innahu ilaihi roji’un. Kalimat itu saya tambahi akhiran “hu” karena saya memerlukan catatan setandas-tandasnya tentang kepergian hamba Allah yang amat sangat berjasa memproses pematangan hidup saya di usia remaja pada era 1970-an. Juga untuk mempersaksikan bahwa yang pulang kembali ke haribaan Allah Swt adalah insyaallah yang dulu demikian juga Allah menghadirkannya ke dunia.

Rasulullah Muhammad Saw menyebarkan pernyataan:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Setiap hamba dilahirkan dalam fithrahnya”.

Ada anak kalimat berikutnya yang saya ragu-ragau apakah Rasulullah Saw benar mengucapkannya. Sebab agak sukar saya nalar bahwa Rasulullah yang diutus untuk seluruh ummat manusia itu bisa “berpikir administratif” dan memfokuskan pandangannya atas manusia berdasarkan identitas formalnya, bukan esensi rohaniahnya atau substansi akhlaknya. Meskipun saya tidak menafikan atau menegasikan bahwa syahadatain menisbahkan identitas formal keagamaan seseorang.

فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

“Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Tentu tulisan takziyah ini bukan bermaksud membuka diskusi atau perdebatan tentang hal itu. Tetapi karena yang saya takziyahi adalah kepulangan Umbu, maka saya juga wajib menjaga “kemurnian” menurut kadar berpikir saya.

Sedemikian “fithriyah”nya Umbu sehingga tidak seserpih pun saya pernah mengenal kecenderungan institusionalnya. Bahkan ketika seluruh seniman Indonesia menyebutnya “berprofesi” Penyair, saya sendiri tidak melihatnya demikian. Ya Allah ya Rahman Ya Rahim, penyair kok profesi: sedemikian sembrononya manusia modern dengan yang mereka sangka ilmu dalam jiwa mereka. Bahkan Umbu tidak pernah menerbitkan satu buku pun kumpulan puisi. Andaikanpun kita mengakuinya sebagai penyair, semua tahu ia bukan penyair sebagaimana Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri atau Taufiq Ismail.

Narasi utama Umbu kepada saya dan ratusan muridnya di Yogya maupun di Bali adalah “kehidupan puisi”. Bukan “puisi kehidupan”, di mana kehidupan memuat nuansa-nuansa puisi. Melainkan kehidupan ini sendiri adalah puisi. Semua ciptaan Allah adalah puisi. Adalah poetika. Adalah inti keindahan. Bahkan seluruh isi Kitab Suci adalah puisi.

Apakah seseorang harus mengetahui, mengenali, mendalami, dan mengalami apa itu puisi, supaya ia merasakan bahwa ayat-ayat Allah adalah puisi? Itulah yang dirasukkan Umbu ke dalam jiwa saya. Kehidupan ini sendiri adalah puisi. Agama justru adalah alat atau metode agar dilatihkan oleh hati dan jiwa manusia untuk mengenali “kehidupan puisi”. Apa yang tidak indah dari segala sesuatu mengenai Allah? Yang mana yang bukan puisi dari apa saja pun yang ditakdirkan, dilakukan, dikehendaki, diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya?

Itu problem besar bagi semua pemeluk Agama di seluruh muka bumi. Karena yang diinformasikan dan dibelajarkan kepada mereka tentang Agama adalah kebenaran dan kebaikan, tetapi tanpa keindahan. Kebenaran dan kebaikan yang ditanamkan di akal manusia, tanpa ditemani atau diperjodohkan atau diakarkan dengan atau oleh keindahan, akan cenderung menjadi bahan konflik, pertentangan, permusuhan dan perang, sebagaimana kita alami berabad-abad lamanya.

Rendra bikin pentas drama puitis atau teater mini kata yang berjudul “Bib Bop”, “Rambate Rate Rata”. Dan semua orang mendramatisasikannya sedemikian rupa, tanpa ingat bahwa Allah sudah merintisnya dengan firman “Alif Lam Mim”, “Alif Lam Ro`”, “Kaf Ha Ya ‘Ain Shad” atau bahkan hanya satu huruf: “Nun”.

Semua ahli tafsir mengatakan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”. Tanpa mereka menginformasikan manthiqKalau memang hanya Allah yang paham, kalau memang manusia tidak mungkin mengerti maknanya, kenapa huruf-huruf itu difirmankan kepada manusia?”

Jawabannya adalah: puisi. Dan untuk sampai ke situ, tidak ada jalan tafsir. Yang ada adalah jalan “tadabbur” sebagaimana yang dirintiskan di masyarakat Maiyah. Di Qur`an hanya ada anjuran atau perintah Allah untuk memikirkan ayat-Nya, “afala tatafakkarun”, “afala tatadzakkarun”. Tetapi tidak ada perintah langsung untuk menafsirkan, meskipun memikirkan bisa diasosiasikan sebagai menafsirkan.

Sedangkan secara sangat jelas Allah menagih manusia:

افلا يتدبرون القران ام على قلوب اقفالها

“Apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an, atau hati mereka terkunci”

Umbu adalah Guru Tadabbur saya. Umbu adalah pemegang cambuk yang mencambuki punggung kehidupan saya sampai saya menemukan puisi sebagai ujung dari tadabbur kehidupan, sehingga narasi utamanya adalah “kehidupan puisi”. Umbu adalah manusia hati, bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana orang-orang sekolahan di abad ini.

Apakah Umbu mengenal atau bahkan mengerti kosakata “tadabbur”? Apakah Umbu di Malioboro Yogya dan Lembah Pujian Denpasar pernah membuka Kelas Tadabbur dan mengajari murid-muridnya mentadabburi kehidupan?

Itu adalah pertanyaan akademis. Puisi memprihatini, meskipun tidak sampai mentertawakan pertanyaan itu. Mereka menyangka Umbu pernah memberikan kursus penulisan puisi, karena faktanya dia mengasuh rubrik puisi di “Pelopor Yogya” dan “Bali Post”. Tetapi tidak. Sama sekali tidak. Ia hanya setia menemani anak-anaknya sebagai manusia.

Ia tekun mendalami proses kejiwaan murid-muridnya. Ia jeli dan teliti melakukan “nahi munkar” ketika ada di antara anak-anak asuhnya mengalami kesesatan jiwa terutama kesombongan mental dan kekaburan proses rohaniahnya. Sebab Umbu menemani murid-muridnya itu di tengah peradaban manusia modern yang penuh kesesatan jiwa. Yang sok, keminter dan kemlinthi. Umbu bisa berjalan kaki puluhan kilometer dari Malioboro ke rumah anaknya di suatu kampung pelosok, kalau menjumpai satu kata atau koordinat poetika yang sesat atau pilihan koordinat poetika yang menurut dia dialami oleh anaknya itu.

Kalau Umbu adalah guru tadabbur, apakah ia seorang Muslim? Saya kemukakan dua hal. Pertama, model pendidikan Umbu kepada remaja dan masa muda saya itulah yang menghembuskan angin energi batin ke dalam mesin jiwa saya untuk membangun tradisi tadabbur. Kedua, apakah pertanyaan “apa dia Muslim” itu Anda ajukan juga kepada Abu Thalib, paman Rasulullah Muhammad?

Abu Thalib diprotes oleh para pembesar Mekah dan didesak agar mempengaruhi Nabi Muhammad untuk menghentikan gerakan dakwahnya. Bahkan menawarkan kepada Muhammad, melalui pamannya itu, sejumlah harta benda untuk “menyogok” Muhammad. Dan Kanjeng Nabi menjawab:

وَاللَّهِ يَا عَمِّ ، لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِي يَمِينِي ، وَالْقَمَرَ فِي شِمَالِي
عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الأَمْرَ مَا تَرَكْتُهُ ، حَتَّى يُظْهِرَهُ اللَّهُ ، أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ

“Wahai Pamanku, Demi Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perintah Allah ini, takkan sesaat pun aku meninggalkannya. Sampai kelak Allah memenangkannya atau aku binasa”.

Abu Thalib pasang badan sepenuh-penuhnya untuk membentengi keponakannya dari ancaman para penguasa Mekah. Abu Thalib mempertaruhkan hidup dan nyawanya untuk melindungi Muhammad. Abu Thalib mateg aji “tohpati” untuk menjamin kelancaran perjuangan Kanjeng Nabi, dan itu melebihi jumlah perjuangan kita semua di dalam menegakkan Islam. Lantas kita dengan pongah dan “gemmedhe” menuduh Abu Thalib bukan seorang Muslim. Hanya karena tidak ada “berita acara” bahwa beliau pernah mengucapkan Syahadatain. Seakan-akan kita punya pasukan Jin dan Malaikat sebagaimana Nabi Sulaiman yang kita bawai Smartphone untuk meneliti dan merekam syahadatnya Abu Thalib dan Umbu Landu Paranggi.

Sampai usia hampir 68 tahun sekarang ini, belum pernah saya menjumpai manusia yang sangat menikmati setiap kata dan segala narasi saya tentang Islam, iman, taqwa, tawakkal, sabar dan shalat, melebihi Umbu menikmatinya dengan sumringah pancaran cahaya wajahnya. Tolong jangan siapapun masih menuntut Umbu aktif sebagai anggota Takmir Masjid, menjadi anggota Muhammadiyah atau NU Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Apalagi meminta pembuktian keIslamannya dengan menguji apakah dia bisa memimpin Yasinan atau Tahlilan.

Yogyakarta, 6 April 2021

Lainnya

Menuju Bangsa Tanpa Sastra?

Yogyakarta sebagai ibukota kebudayaan kembali “melahirkan anaknya”, yakni Majalah Sastra Sabana.

Redaksi
Redaksi

Topik